,

Seperti Apa Komitmen Kota di Dunia Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca?

Pertumbuhan ekonomi, telah melahirkan kawasan perkotaan baru. Disertai dengan laju urbanisasi yang mencapai 1,84% per tahun, diperkirakan pada 2050, populasi manusia yang akan tinggal di perkotaan mencapai jumlah 6 miliar jiwa dari jumlah penduduk dunia yang saat itu diperkirakan mencapai angka 9,6 miliar jiwa.

Dampak dari kondisi tersebut, wilayah perkotaan akan menjadi pusat kegiatan sosial-ekonomi yang pastinya akan menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang tidak sedikit. Penelitian yang dilakukan ICLEI – Local Governance for Sustainability pada 24 kota di Indonesia, serta di India, Brazil dan Afrika Selatan, menunjukkan bahwa kawasan perkotaan berkontribusi sebesar sebagai penyumbang emisi GRK antara 40-70% yang menjadi pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Emisi tersebut, rata-rata berasal dari energi yang bersumber dari bahan bakar fosil yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, listrik, hingga transportasi.

Di sisi lain, kebutuhan energi di wilayah perkotaan, terutama negara berkembang seperti Indonesia, dipastikan akan meningkat. Tahun 2030, diprediksi sekitar 80 persen peningkatan permintaan energi akan muncul dari kota-kota di negara yang dikategorikan sebagai emerging economy ini yaitu Indonesia, India, Brazil, dan Afrika Selatan.

Bagaimana kota-kota tersebut menghadapi tantangan pertumbuhan pembangunan tanpa harus menghasilkan emisi GRK yang notabene berdampak besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim?

Bima Arya, Wali Kota Bogor, menuturkan bahwa tidak dipungkiri sektor transportasi memberikan andil besar dalam hal penyumbang emisi di Kota Hujan ini. Menurut Bima, Pemerintah Bogor tengah melakukan kebijakan terhadap kendaraan angkutan kota (angkot) yang bila selama ini operasinya berdasarkan kepemilikan, maka mulai September 2015 harus berbadan hukum. “Secara bertahap pula, angkot ini nantinya akan diganti dengan bis (Bus Rapid Transportation), yang diperkirakan akan ada sekitar 300 bis (Transpakuan) yang bakal beroperasi.”

Bima juga menuturkan bahwa saat ini transformasi penggunaan bahan bakar fosil ke bahan bakar gas mulai dilakukan mengingat sifatnya yang lebih ramah lingkungan. Mesin konverter telah disediakan tanpa pungutan biaya. “Bayangkan saja, dalam seminggu ada 1.000 kendaraan baru, 800 unit sepeda motor dan 200 unit mobil. Ini juga harus diatur selain angkot tadi,” tuturnya pad Urban LEDS International Networking Event, di Bogor, Kamis (7/05/2015).

Hal lain yang dikembangkan untuk menekan emisi adalah Pemerintah Bogor terus menambah ruang terbuka hijau dan mengupayakan masyarakat menggunakan transportasi bebas polusi. Caranya, dengan membuat jalur sepeda dan fasilitas pedestrian, serta merancang pembangunan skywalk agar jumlah pejalan kaki bertambah.

Patut diingat, Pemerintah Kota Bogor bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) tengah mengembangkan alat pendeteksi emisi dan polusi. Selain itu, sedang dikembangkan pula alat deteksi penggunaan energi untuk perumahan maupun perkantoran. “Ini komitmen Kota Bogor guna menekan emisi GRK,” papar Bima.

Pembangunan kawasan perkotaan rendah emisi juga terlihat di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Rizal Effendi, sang wali kota, menjelaskan bahwa dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) nya sekitar 52 persen wilayah Balikpapan merupakan kawasan lindung yang hanya digunakan sebagai hutan konservasi dan mangrove.

Solar Panel yang memanfaatkan energi matahari untuk pembangkit listrik. Foto: Tommy Apriando

Komitmen

Sebagaimana Bogor dan Balikpapan, Shikumbuzo Hlongwane dari Kwadukuza Municipal Area, Afrika Selatan mengatakan bahwa pemerintahnya telah berkomitmen melakukan pembangunan rendah emisi yang telah dituangkan dalam rencana pembangunan kota. Bahkan, Pemerintah Kwadukuza selalu mengingatkan para pelaku usaha agar berperan aktif dalam melakukan audit energi sukarela (voluntary free energy audits). Selain itu juga, pemerintah setempat mengidentifikasi energi terbarukan yang sesuai untuk wilayahnya yang berdaya guna bagi pelaku usaha kecil dan menengah agar tidak boros energi dan membengkaknya biaya produksi.

Apa yang membuat pihak swasta mau bekerja sama? Menurut Shikumbuzo, karena dampak perubahan iklim itu akan dialami semua pihak, tanpa pandang bulu. Termasuk juga kegiatan bisnis, sehingga semua pihak harus peduli.

Begitu juga yang dilakukan oleh Kota Recife, kota pesisir di Brazil, yang terus menjaga kotanya dengan melakukan penanaman sekitar 100.000 pohon. Kota Recife pun menegaskan komitmennya melindungi hutan kota yang luasan awalnya hanya 7.211 hektar menjadi 8.618 hektar. Carlos Mauricio da Fonseca Guerra, Sekretaris Eksekutif Recife, menuturkan bahwa kita memang harus meningkatkan perekonomian masyarakat, akat tetapi penekanan laju emisi GRK juga harus diperhatikan. “Kebijakan menjaga Recife dengan terus menambah luasan ruang terbuka hijau merupakan agenda yang terus digulirkan,” ujarnya.

Kota Rajkot, India, pun tak mau kalah dalam hal pembangunan energi terbarukan. Bangunan publik seperti sekolah dan perkantoran, dipasang instalasi pembangkit listrik tenaga surya guna memasok kebutuhan energinya. Langkah konkrit ini tentunya sangat menggembirakan ditengah dominasi batubara sebagai penyedia energi yang hingga kini masih mendominasi. Rakshaben Raghubhai Boliya, Wali Kota Rajkot, menuturkan bahwa untuk menyelamatkan bumi akibat dampak dari perubahan iklim, sudah semestinya kita bersatu. “Menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan sepatutnya kita perhitungkan,” ujarnya.

Komitmen bersama kota-kota di dunia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di Bogor, Kamis (7/05/2015). Foto: Rahmadi Rahmad
Komitmen bersama kota-kota di dunia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, Bogor, Kamis (7/05/2015). Foto: Rahmadi Rahmad

Mengapa kota?

Zaenal Arifin, Deputy Director of Urban Affairs Bappenas, menuturkan bahwa pada 2015 nanti, sekitar 60 persen penduduk Indonesia akan bermukim di perkotaan. Untuk itu, di masa urban ini, pembangunan kawasan perkotaan harus segera dilakukan. Target yang dicanangkan Bappenas periode 2015-2019 ini adalah akan dibangun 7 kota metropolitan baru di luar Jawa, 10 kota baru, dan 39 kota sedang yang difungsikan sebagai penyangga kawasan kota dan desa.

Menurut Zaenal, 7 kota metropolitan baru tersebut berada di Sumatera (Medan, Palembang, dan Padang), Kalimantan (Banjarmasin), Sulawesi (Makasar, Manado), dan Nusa Tenggara Barat (Mataram), yang melengkapi 5 kota di Jawa sebelumnya (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Denpasar).

Untuk kota baru, lokasinya akan dibuat dekat dengan kota metropolitan yang difungsikan menampung penduduk yang terdesak. Kota baru ini akan dirancang untuk penduduk menengah ke bawah, bukan seperti yang sudah-sudah seperti Bumi Serpong Damai yang hanya dinikmati ekonomi kelas atas. “Untuk pembangunan infrastruktur itu semua dibutuhkan dana 20 triliun rupiah, sementara yang tersedia saat ini sekitar 3 triliun rupiah.”

Zaenal menuturkan bahwa pertumbuhan ekonomi ini patut diapresiasi namun begitu dampak pembangunan terhadap lingkungan harus diperhatikan pula. Terlebih, emisi karbon yang dihasilkan dari wilayah perkotaan. “Transportasi maupun listrik sudah pasti meningkat,” ujarnya.

Irvan Pulungan, Country Manager ICLEI Indonesia, menegaskan dengan melibatkan kota dalam hal penurunan emisi GRK, diharapkan akan mendorong kebijakan nasional terkait perubahan iklim yang selama ini masih terfokus pada hutan. Pastinya, dalam 30 tahun ke depan, pertumbuhan penduduk di kota akan meningkat tajam. Jika infrastruktur perkotaan ramah lingkungan tidak dipersiapkan dari sekarang akan sulit nantinya emisi GRK ditekan. “Saat ini sudah ada 60 kota di dunia yang berkomitmen menurunkan emisi GRK. Di Indonesia, Bogor telah menginisiasi 22 kota untuk komit terhadap penurunan emisi ini,” tegasnya.

“Pentingnya peranan kota terhadap penurunan emisi GRK selama ini sering diabaikan,” jelas Yunus Arikan, Kepala Advokasi Kebijakan Global ICLEI World Secretariat. Akibatnya, terobosan baru yang dilakukan kota menghadapi perubahan iklim sering tidak didengar sehingga akses kota untuk mendapatan dukungan teknis dan pendanaan pembangunan rendah emisi begitu terbatas.

Menurut Yunus, ICLEI memfasilitasi terbentuknya aliansi kota-kota dari seluruh dunia melalui Compact of Mayors, yaitu komitmen kota dalam pembangunan rendah emisi. Melalui aliansi ini kota-kota di dunia dapat menunjukan komitmennya dalam menurunkan emisi rumah kaca dengan melakukan pelaporan melalui Carbonn Climate Registry yang telah mendapatkan pengakuan dari UNFCCC. “Pastinya, kota akan memiliki posisi tawar lebih besar dalam pertemuan global terkait perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah kaca.”

ICLEI – Local Governance for Sustainability telah menginisiasi Program Urban-LEDS (Urban Low Emission Development Strategy) yang merupakan gerakan membangun komitmen penurunan emisi gas rumah kaca di kota-kota empat negara yang terletak di bumi bagian selatan yaitu Indonesia, India, Brazil dan Afrika Selatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,