, ,

Soal Penyediaan Lahan, Tiga Menteri Ini Teken Nota Kesepahaman, Seperti Apa?

Pola transmigrasi akan menerapkan konsep baru, tak hanya beri lahan dan uang tetapi penyiapan beragam kegiatan termasuk pembangunan infrastruktur. Transmigrasi era ini harus menghargai hak-hak masyarakat adat/lokal.  Siti Nurbaya, mengingatkan, ekosistem transmigrasi yang baru ini harus memperhatikan ekologi dan kohesi sosial.

Tiga menteri jajaran kabinet Joko Widodo, menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding) soal penyediaan lahan bagi percepatan pembangunan desa tertinggal, dan transmigrasi melalui pencadangan dan perubahan peruntukan kawasan hutan, sinkronisasi tata ruang, distribusi lahan serta sertifikasi tanah pada Jumat (8/5/15) di Jakarta. Kegiatan ini terkait pencanangan distribusi lahan sembilan juta hektar oleh Presiden akhir Februari 2015.

Para menteri itu, yakni, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Marwan Jafar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri  Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan.

“Penandatanganan nota kesepahaman antara kementerian ini mendukung program transmigrasi terutama wilayah perbatasan,”  kata Marwan Jafar.

Dia mengatakan, setidaknya, ada 144 kawasan transmigrasi di seluruh Indonesia. Namun, saat ini, fokus perbatasan karena sesuai Nawa Cita ketiga, menyebutkan, membangun Indonesia dari pinggiran, yakni, perbatasan dan kampung-kampung. “Maka relevan dengan kerja bersama-sama ini. Karena pelepasan hutan dan penyediaan sertifikasi tanah itu bagian utuh program transmigrasi yang komprehensif.”

Transmigran, katanya, akan disiapkan lahan perkebunan dan pertanian. “Untuk tanaman, bisa sawit, jagung, padi dan tanaman perkebunan lain sesuai dengan kondisi tanah,” ujar dia.

Selama lima tahun ini, kata Marwan, ada penempatan sekitar empat juta transmigran. “Seminimal-minimalpun satu sampai dua juta orang. Pada dasarnya sudah siap, tinggal bagaimana menempatkan para transmigran itu di tempat-tempat yang akan dituju,” katanya, usai penandatanganan MoU.

Tahap pertama ini,  katanya, sudah siap kurang lebih 345 keluarga dari berbagai daerah di Jawa. “Rata-rata ke Kalimantan. Seluruh Kalimantan di daerah-daerah perbatasan, terutama di Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat.”

Untuk merealisasikan transmigrasi ini, katanya, Kementerian PDTT tak bisa berjalan sendiri tetapi harus melibatkan dua kementerian lain sebagai penyedia lahan.

Kementerian PDTT, katanya, sudah memiliki lahan siap penempatan sekitar 600 hektar ditambah dari KLHK dan Kementerian ATR sekitar 3,5 juta hektar. “Itu yang sudah teridentifikasi, akan kita lihat detilnya.”

Pola transmigrasi kali ini, katanya, akan menggunakan konsep baru, tak hanya memberi lahan dua hektar, dan jatah uang bulanan tetapi ada program-program terpadu lain yang akan dikembangkan, baik dari pemerintah maupun swasta.

“Ada harapan baru, mendapatkan program transmigrasi terpadu. Ini terobosan. Terpadu artinya, ada program menjanjikan baik dari swasta atau kerja sama instansi lain. Ini jadi penghasilan baru bagi transmigran. Mudah-mudahan mereka dapat penghasilan lebih.”

Marwan mengatakan, dalam penempatan transmigran nanti, tentu akan memperhatikan ekologi  dan sosial.

Sedangkan Siti Nurbaya mengatakan, 980.000 hektar siap pelepasan. “Kalau kita lihat sebarannya juga di berbagai provinsi sekitar 4,38 juta hektar termasuk di perbatasan.” Jumlah itu, sudah mengeluarkan hutan lindung dan konservasi.

Lingkungan dan sosial 

Menurut Siti, ketika lingkungan berada dalam konteks transmigrasi, sebetulnya sedang membangun ekosistem baru.  “Transmigrasi baru itu ekosistem baru, di situ ada sistem ekologis, dan sistem sosial yang dibangun. Jadi itu ekosistem” ucap Siti.

Jangan terulang seperti ini. Ini adalah kanal-kanal kebun sawit di Desa Nusantara,  OKI, Sumsel.Dulu, ini kawasan transmigrasi dengan lahan pertanian nan subur. Sayangnya, izin perusahaan sawit malah diberikan oleh pemerintah daerah. Warga yang ingin bertahan di lahan mereka pun terancam tersingkir. Padahal, warga transmigran ini susah payah membangun lahan pertanian mereka. Foto: Walhi

Untuk itu, ekosistem transmigrasi ideal yang disiapkan negara,  dengan ciri-ciri utama kesejahteraan warga ini, menurut dia,  harus ada akses keluar, alias tak terisolasi hingga perlu pembangunan infrastruktur.  Hal penting lagi, katanya, ekosistem transmigrasi ini harus menyiapkan sistem kohesi sosial.

“Apakah di dalam satuan pemukiman itu sendiri atau antar satuan pemukiman. Jadi jangan lupa,  kita ada sistem sosial terutama ada sistem kohesi sosial yang harus dibangun. Saya terima kasih transmigrasi menggarisbawahi mainstream lingkungan.”

Hak adat

Dalam penempatan transimigran di lokasi, kata Siti, mesti berhati-hati dengan melihat berbagai hal, termasuk soal wilayah adat. “Ini mungkin sambil berjalan, kami, saya, Pak Marwan,  dan Pak Ferry, tidak bisa hanya mengandalkan format biasa. Memang kita mesti hati-hati betul menerapkan ini,  sambil evaluasi dan lihat lagi perkembangan-perkembangan menurut kebutuhan publik,” katanya.

Dalam pemberian sertifikasipun, dia dan Menteri ATR akan melihat, hak privat atau hak komunal. “Itu model-model kita harus putuskan. Itu sebabnya gak bisa seperti (transmigran) biasa.”

Senada dikatakan Ferry Murysidan Baldan. Dalam penetapan wilayah transmigrasi, tentu memperhatikan masyarakat adat/lokal.  Dia mencontohkan,  di perbatasan, Kementerian ATR sudah tanda tangan MoU tata ruang wilayah perbatasan di Kalimantan. “Di sana kita identifikasi. Ada langkah terlebih dahulu kita ambil, kala ada masyarakat adat di perbatasan, kita berikan hak komunal. Jadi kita ientifikasi dulu, baru masuk dengan program Pak Marwan (transmigrasi),” katanya.

Dengan dalam penempatan transmigran, seperti disebutkan Menteri LHK,  harus terbangun kohesi sosial. “Bukan dalam konteks wilayah perbatasan semata-mata, hanya orang datang yang boleh mendapatkan. Mereka (masyarakat adat) dulu diakui baru ruang kosong diisi transmigrasi.”

Dengan begitu, katanya,  masyarakat adat/lokal mempunyai kesempatan sama karena mereka memang yang lama tinggal dan memanfaatkan potensi di sana.

“Apalagi, Presiden tegaskan, kawasan perbatasan teras depan Indonesia. Jadi itu kita lakukan, penegasan  sangat jelas, mulai dengan tata ruang oke, kohesi sosial dibangun, Masyarakat adat yang sejak dulu ada kita keluarkan hak komunal.  Jadi mereka tak harus merasa terancam dengan ada program. Jadi benar-benar dibangun semangat ke Indonesian di wilayah perbatasan.”

Menteri LHK Siti Nurbaya (paling kiri), Menteri PDTT Marwan Jafar dan Menteri ATR Ferry M Baldan, memperlihatkan MoU usai ditandatangani di Jakarta, Jumat (8/5/15). Foto: Sapariah Saturi
Menteri LHK Siti Nurbaya (paling kiri), Menteri PDTT Marwan Jafar dan Menteri ATR Ferry M Baldan, memperlihatkan MoU usai ditandatangani di Jakarta, Jumat (8/5/15). Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,