, ,

Meringis di Negeri Agraris

Selama ini kita begitu bangga dengan sebutan negeri agraris. Negeri yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian dan negeri yang memiliki potensi sumber alam yang dapat memenuhi kebutuhan pokok pangan nasional untuk rakyatnya.

Namun, perlahan nan pasti, kita pun mulai ragu dengan predikat tersebut. Impor pangan yang merangkat naik hingga 346 persen dalam 10 tahun terakhir, ditambah dengan kebijakan impor gandum yang pada 2015 ini diprediksi sebesar 7,5 juta ton membuat kita terperangah, kemana dan bagaimana pengelolaan pertanian kita saat ini?

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), memberikan gambaran nyata mengenai kondisi “kronis” pertanian Indonesia. Terlebih nasib petani yang didaulat sebagai “Pahlawan Pangan” namun kehidupannya jauh dari sejahtera.

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) ini, di Bogor, Jumat (8/05/2015).

Mongabay: Bagaimana kondisi nyata pertanian Indonesia saat ini?

Andreas: Ada tiga kenyataan pahit yang harus kita rasakan terkait pertanian Indonesia saat ini. Pertama, ketergantungan kita terhadap impor produk pertanian makin tinggi. Ini catatan kelam untuk perkembangan pertanian Indonesia.

Kedua, budaya pertanian dan pangan kita makin lama makin tersingkirkan. Ada data menarik. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk lokal seperti telur ayam kampung atau bebek menurun tajam hingga 9-10 persen per tahun. Produk ini tergantikan oleh produk yang dari hulu hingga ke hilirnya tidak kita kuasai, dalam hal ini ayam negeri yang dikuasai perusahaan multinasional.

Untuk pangan jelas nyatanya. Saat ini kita tidak lagi mengenal ganyong, gembili, berbagai umbi, yang dulunya dipergunakan sebagai produk cadangan pangan nasional. Nama pangan lokal ini hampir tidak terdengar lagi akibat politik beras yang begitu masif.

Ketiga, integrasi sistem pangan Indonesi ke dunia, menyebabkan kita berkenalan dengan pangan yang saat ini justru merupakan konsumsi masyarakat negara maju. Produk gandum yang kita tidak kuasai cara menanam dan teknologinya justru kita impor hingga 18,9 persen untuk pangan nasional. Posisi ini menobatkan Indonesia sebagai importir yang sukses, urutan kedua setelah Mesir.

Mongabay: Tanaman padi kita, apa kabarnya?

Andreas: Akibat kegemaran impor itu, perubahan budaya pertanian atau pangan juga terjadi. Dulu, petani kecil turut mengembangkan varietas padi, yang dikenal dengan sebutan padi bulu, padi khas yang berbeda dengan padi utama.

Di dunia ini, hanya ada dua varietas padi yaitu Oryza sativa Japonica yang cocok untuk iklim sedang dan Oryza sativa Indica yang cocok untuk wilayah tropis. Petani Indonesia mengembangkan varietas baru yang disebut Javanica, ini yang dikenal sebagai padi bulu. Padi ini menjadi andalan petani saat Indonesia hingga akhir 1960-an.

Penggantinya, program panca usaha tani atau program revolusi hijau digulirkan. Di sini, dikenalkan pupuk kimia dan racun hama yang menyebabkan sistem pertanian kita berubah total. Dari awalnya sarat budaya dan knowledge (seperti mengusir hama dengan menggunakan asap, dan mengendalikan tikus dengan semut), berubah menjadi sekadar komoditas.

Memang dari perubahan ini terjadi lonjakan beras yang sangat tinggi. Namun, harus diingat lompatan tersebut harus dibayar mahal dengan hilangnya pangan lokal, budaya menanam, penanganan hama secara alami, hingga hilangnya varietas lokal. Ini kerugian terbesar.

Budaya masyarakat memakan umbi-umbian, jagung, dan sagu pun hilang. Padahal, umbi-umbian di negara maju merupakan makanan pokok yang diwujudkan dalam kentang. Ganyong, uwi, dan gembili, kualitasnya lebih lengkap dari kentang.

Dwi Andreas Santosa menunjukkan koleksi bank benih padi. Dari 10 ribu varietas padi, saat ini tersisa hanya 125 varietas saja. Foto: Rahmadi Rahmad

Dwi Andreas Santosa menunjukkan koleksi bank benih padi. Dari 10 ribu varietas padi, saat ini hanya tersisa 125 varietas. Foto: Rahmadi Rahmad

Mongabay: Berapa jumlah varietas padi yang kita miliki?

Andreas: Sebelum politik beras dijalankan, keragaman padi kita sungguh kaya hingga 10 ribu varietas. Sekarang, yang kami selamatkan hanya tersisa 125 varietas. Ini semua lenyap akibat monokultur dan monovarietas tadi. Padi bulu, yang dikelola petani kecil selama ratusan tahun kini lenyap.

Di AB2TI ini kami mengembangkan kembali 125 varietas tersebut dengan penyilangan agar keragaman bertambah dan sekarang sudah menjadi 314 varietas. Pengembangan padi ke depan harus sesuai daerahnya (spesifik), karena semakin beragam pengembangan varietas akan semakin besar pula padi spesifik suatu daerah didapatkan. Misal, padi yang akan dikembangkan di Indramayu berbeda dengan yang dikembangkan di Bojonegoro.  Tidak akan ada lagi “single variety” yang harus ditanam di seluruh Indonesia. Konsep ini, dari sisi agronomi salah besar dan keliru.

Kami juga mengembangkan beras merah putih, beras yang bulir atasnya merah dan bawahnya putih. Di dunia ini hanya ada di Indonesia. Ini baru ditemukan sekitar 2006 makanya belum begitu populer. Padi ini, sedang kami murnikan lagi agar merah dan putihnya lebih tajam.

Kami di AB2TI dan seluruh jaringan di Indonesia menerapkan sifat independen dan mandiri. Kami tidak pernah bergantung pada pemerintah maupun lembaga manapun.  Justru, apa yang kami lakukan sebenarnya sangat membantu program pemerintah. Bayangkan, petani yang tergabung di AB2TI tingkat produksinya di atas 9 ton per hektar setiap 3 bulannya. Bandingkan dengan petani nasional yang rata-rata hanya menghasilkan 6 ton per hektar.

Mongabay:  Bagaimana dengan nasib petani, mengapa tak kunjung sejahtera. Adakah yang salah?

Andreas: Kemiskinan yang terjadi ini dikarenakan struktural yang memang diciptakan pemerintah. Program pemerintah terhadap pertanian dan pangan tidak pernah menyentuh petani, hanya sebatas program saja.

Kesalahan terbesar adalah menganggap petani sebagai objek pembangunan yaitu bagian dari sistem untuk memproduksi pangan. Sehingga, tidak ada program yang diorientasikan untuk membuat petani mulia dan sejahtera.

Akibatnya, kesejahteraan petani menurun, bahkan ada yang harus menjual lahannya untuk bertahan hidup. Dari 28,5 juta jiwa penduduk miskin, sekitar 62,8 persen adalah petani. Sisanya? Ya petani juga yang terpaksa menjual lahannya dan menjadi penghuni masyarakat miskin kota.

Bayangkan, lahan pertanian sawah yang menghidupi 92 juta jiwa ini hanya bertambah 2,96 persen selama 25 tahun. Sementara, lahan perkebunan yang hanya menghidupi segelintir orang naik hingga 144 persen. Jadi, kebijakan struktural ini memang tidak membela petani.

Berapa pendapatan petani saat ini? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun lalu, pendapatan petani Indonesia per keluarga hanya Rp 1.030.000 per bulan. Ini lebih rendah dari upah minimum provinsi di Nusa Tenggara Timur yaitu Rp 1.150.000.

Nasib apes petani makin lengkap kala harga panen yang selalu jatuh. Hingga detik ini, belum ada perhatian sama sekali dari pemerintah. Saat ini, ketika harga beras naik di pasaran, justru harga gabah di petani jatuh di kisaran Rp 3.000 hingga Rp 3.600. Padahal, di tingkat tengkulak sudah Rp 4.000. Bahkan, Bulog kesulitan untuk mendapatkan gabah dan beras sementara stok di di petani tidak ada lagi.

Begitu juga dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) yang nuansanya tidak membela petani. HPP hanya naik 10-12 persen saja, padahal inflasi sudah lebih dari 21 persen dalam 3 tahun terakhir. Artinya, petani diminta untuk bersabar dalam kemiskinan dan menderita agar bisa menyelamatkan yang non-petani.

Jadi, memang tidak ada konsep atau kebijakan yang orientasinya untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Lalu, bagaimana dengan program subsidi benih, pupuk, dan bagi-bagi traktor? Sebenarnya, ini menyumbang siapa? Semua itu justru untuk membesarkan para produsen tadi. Mereka dapat proyek, jualannya laku tanpa harus susah payah. Apa artinya 60 ribu traktor dibandingkan dengan 26,1 juta keluarga petani atau 91 juta jiwa?

Saat ini, penebusan pupuk juga sulit, karena petani malah ditanyakan sertifikat girik tanah dan lainnya. Jadi, saat ini mereka memupuk seadanya saja, ada kompos ya pakai kompos.

Kondisi petani Indonesia yang terpuruk. Sumber: Presentasi Dwi Andreas Santosa
Kondisi petani Indonesia yang terpuruk. Sumber: Presentasi Dwi Andreas Santosa

Mongabay: Awal 2016 ini, kita akan menghadapi  MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Bagaimana kesiapan pertanian kita?

Andreas: Harapan masih ada, asalkan kita kembalikan lagi pada orientasi pembangunan pertanian yang tujuan terbesarnya adalah meningkatkan kesejahteraan petani. Upaya harus yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan petani.

Yang selama ini terjadi adalah justru upaya peningkatan pertanian pada lingkaran produksi dan gagal. Dalam 10 tahun terakhir anggaran pangan dan pertanian ditingkatkan hingga 611 persen. Apa yang terjadi, apakah kebutuhan pangan tertutupi? Nol besar. Impor pangan kita malah menanjak 346 persen.

Pada 2014 lalu juga dicanangkan kita surplus beras sekitar 10 juta ton. Kenyataannya adalah kita malah impor beras sebesar 1.225 juta ton. Ini tidak nyambung antara upaya peningkatan produksi dan hasilnya.

Sekarang, pemerintah juga menggunakan cara yang sama dalam upaya besar-besaran meningkatkan produksi pertanian. Hasilnya sudah bisa ditebak.

Kenapa ini terjadi? Sekali lagi karena orientasi pembangunan bukan pada pelaku, dalam hal ini petani. Bila pemerintah berusaha keras meningkatkan kesejahteraan petani dan menjamin harga panen yang menguntungkan di level petani, maka produksi pertanian akan membaik.

Karena, dengan meningkatkan kesejahteraan petani maka gairah bertani akan meningkat karena berusaha di bidang pertanian itu menguntungkan. Bulog pun harus mengambil beras langsung dari petani.

Mongabay:  Terkait distribusi sembilan juta hekta lahan yang digulirkan pemerintah, bagaimana menurut pandangan Anda?

Andreas: Ini harus kita ingatkan bersama, sembilan juta hektar lahan ini harsu jelas alokasinya. Perkiraan saya, ini akan masuk kembali ke para pemodal dan pengusaha besar. Untuk apa? Ya kembali lagi untuk sawit.

Saat ini, dua petani yang nilai kesejahteraannya rendah adalah petani perkebunan dan petani pangan. Saya ingat betul saat krisis 2008, petani di jaringan AB2TI sekitar tiga orang bunuh diri gara-gara tidak kuat menanggung beban hidup.

Sekarang ini, bisa jadi akan terjadi lagi karena harga sawit demikian rendah dan petani tidak memiliki kapasitas untuk merawat terutama untuk membeli pupuk dan sebagainya. Bila produksi sawit drop maka habislah riwayat petani.

Bisa jadi pula, sebagian kecil lahan tersebut untuk pertanian, tapi sebagian besarnya bakalan untuk sawit. Harapan besar kami adalah lahan tersebut memang akan dibagikan untuk petani, namun kenyataannya akan bisa jadi sangat berbeda. Sebagai catatan, dalam sepuluh tahun terakhir saja pemerintah baru berhasil membagikan lahan untuk petani seluas 715 ribu hektar. Tunggu saja.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia merupakan negara importir beras yang jumlahnya sudah mencapai 346 persen. Foto: Rahmadi Rahmad
Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia merupakan negara importir pangan yang sukses dengan jumlah 346 persen. Foto: Rahmadi Rahmad

Mongabay: Bagaimana harusnya pengelolaan pertanian di masa mendatang?

Andreas: Kita harus kembali ke konsep awal, bahwa penghasil pangan itu adalah petani. Muliakan lah petani. Pemerintah harus merubah sistem pertanian dan pangan nasional yang saat ini bagaikan segitiga yang puncaknya dikuasai pemodal maupun BUMN. Sementara sisi bawahnya adalah petani.

Harusnya, piramida tersebut dibalik. Petani harus berada di puncak dan disejahterakan. Negara lain seperti Jepang dan Amerika telah melakukannya.

Jepang telah meningkatkan kesejahteraan petani dengan memberi fasilitas yang memang dibutuhkan petani. Sementara para pedagang dan pengusahanya di bawah dominasi petani. Amerika juga melakukannya. Ketika pembangunan awal negaranya, untuk merangsang perpindahan penduduknya dari pantai timur ke pantai barat, para petani tersebut ditawarkan lahan untuk setiap keluarganya seluas 1.200 hektar. Dukungan penuh ini langsung diberikan oleh pemerintahnya. Bisakah Indonesia?

Mongabay: Dengan kondisi nyata sebagaimana yang Anda paparkan ini, satu pertanyaan mendasar, masih pantaskah Indonesia disebut sebagai negara agraris?

Andreas:  Kalau dari sisi kewilayahan, Indonesia merupakan negara agraris. Apapun itu, Indonesia memiliki potensi besar di segi agraris.

Namun, dari sisi ketergantungan pangan dan konsep kita sebagai negara agraris, kondisi kita terus tergerus. Selama petani tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan kebijakan pertanian di segala level, mulai pusat hingga daerah, selama itu pula pertanian kita tak akan kunjung membaik. Kita terus meringis di negeri agraris!

Petani, hingga kini nasibnya terpinggirkan. Program maupun kebijakan pemerintah tidak pernah menyentuh nasib "Pahlawan Pangan" ini. Foto: Rahmadi Rahmad
Petani, hingga kini nasibnya terpinggirkan. Program maupun kebijakan pemerintah tidak pernah menyentuh nasib “Pahlawan Pangan” ini. Foto: Rahmadi Rahmad
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,