, ,

Presiden Perpanjang Moratorium Izin Hutan, Apa Kata Mereka?

Bertepatan dengan masa akhir Inpres No 6 Tahun 2013, soal moratorium izin hutan dan lahan gambut, Presiden Joko Widodo, sudah menandatangani perpanjangan kebijakan ini pada Rabu (13/5/15). “Presiden sudah tanda tangan perpanjangan moratorium pagi ini,” katanya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Rabu di Jakarta.

Pagi ini, Siti Nurbaya baru bertemu Presiden membicarakan soal moratorium izin hutan dan lahan gambut ini. Lewat siaran pers kementerian ini, Siti mengatakan, sampai pembahasan terakhir masih banyak usulan perubahan penguatan. Untuk pembahasan penguatan ini, katanya, dilakukan dengan penyesuaian dalam proses perpanjangan. “Saat ini sudah bisa mulai dilakukan lintas kementerian secara mendetail bersama elemen pengusul.”

Usul penguatan datang dari Walhi, Greenpeace, Kemitraan, Sawit Watch, World Resources Institute (WRI), dan lain-lain. Menurut Siti, pemerintah sangat menghargai usulan ini yang akan dirangkum KLHK dan ada tindak lanjut.

Dijumpai terpisah, Arief Yuwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, KLHK dalam dalam acara “Singapore Dialogue on Sustainable World Resource” menjelaskan, moratorium bertujuan menghindari kehilangan lebih jauh dari keragaman hayati dan mencegah konflik lahan.

“Seperti lahan yang saat ini tumpang tindih (overlapping) antarpemangku kepentingan, termasuk masyarakat dengan perusahaan.”

Mengatasi hal ini, katanya, pemerintah serius membangun satu peta lahan (one map policy) dengan menggunakan peta skala 1:50.000 hingga lebih operasional dipakai di seluruh wilayah Indonesia.

Untuk memperkuat moratorium dan perlindungan lingkungan, katanya, pemerintah akan menggunakan berbagai instrumen, termasuk berbagai UU dan peraturan, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan UU Penanggulangan Bencana. Lalu, UU Penataan Ruang UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta PP No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Dia menjelaskan, penguatan moratorium akan dilakukan untuk mencegah lebih lanjut kebakaran lahan dan hutan, termasuk melalui pencegahan (preventive measure) dengan melibatkan masyarakat dan individu, terutama di lahan gambut. 

“Diharapkan tidak saja pemerintah maupun perusahaan dilibatkan dalam kebakaran hutan, juga masyarakat dan individu. Kami yakin ini akan berdampak efektif. Kami tidak akan menghapus inisiatif pemerintah sebelumnya yang telah baik, kami akan memperkuatnya.”

Apa kata mereka soal perpanjangan kebijakan  ini? “Tentu saja, kita kecewa dengan Presiden hanya perpanjangan tanpa memberikan perubahan berarti dari kebijakan sebelumnya,” kata Teguh Surya dari Greenpeace kepada Mongabay di Jakarta.

Dengan perpanjangan tanpa penguatan ini mengesankan Presiden belum menaruh perhatian serius  pada perbaikan tata kelola hutan dan kehilangan fokus pada penyelesaian berbagai tunggakan persoalan kehutanan.

Dia menilai, Presiden, sudah kehilangan kesempatan menyelamatkan hutan secara menyeluruh. “Komitmen menindaklanjuti penguatan setelah Inpres masih tidak jelas bagaimana koordinasi akan dibangun dan dimana cantolan hukum atau kebijakan terkait nanti.”

Menurut dia,   meskipun ada komitmen tindaklanjut oleh KLHK, mengingat isu lintas kementerian,  jadi kecil kemungkinan akan terjadi. “Kecuali Presiden memimpin sendiri pembahasan perubahan penguatan ini,” katanya.

Analisa Greenpeace terhadap Inpres baru ini, luas hutan dilindungi 63,8 juta hektar, yang seharusnya bisa diselamatkan 93,6 juta hektar. Perpanjangan ini, kata Teguh, tidak menyelesaikan tumpang tindih izin di hutan moratorium mencapai 5,7 juta hektar.  Jadi, 48,5 juta hektar hutan hujan Indonesia masih terancam.

Kebijakan baru ini,  juga tidak memberi ruang penyelesaian konflik lahan antara masyarakat adat, lokal dengan pemerintah dan perusahaan. Sebab, tidak ada perlindungan, pengukuhan dan penguatan atas hak dan ruang kelola mereka.

Kebijakan ini juga tidak menjamin terbitnya peta tunggal dan tidak akan membantu penegakan hukum kasus-kasus lingkungan termasuk kebakaran hutan.

Bukti kebijakan moratorium perlu penguatan. Kebakaran hutan gambut ini terjadi di wilayah moratorium di Siak, Bengkalis, Riau. Foto: Greenpeace
Bukti kebijakan moratorium perlu penguatan. Kebakaran hutan gambut ini terjadi di wilayah moratorium di Siak, Bengkalis, Riau. Foto: Greenpeace

Sedangkan Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyambut baik perpanjangan kebijakan ini. Menurut dia, perpanjangan moratorium sejalan kajian Komnas HAM. Ketika peraturan perundang-undangan belum harmonis dan hak masyarakat hukum adat belum diakui, memang sebaiknya moratorium dilanjutkan. Namun, Sandra menggarisbawahi perlu ada penguatan dalam kebijakan ini.

“Penguatan perlu dalam perpanjangan moratorium. Harus dipastikan perspektif kelestarian dan pemenuhan HAM diutamakan. Harus ada satu proses identifikasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan,” katanya.

Andiko Sutan Mancayo, Ketua Dewan Kehutanan Nasional (DKN) mengatakan, moratorium hanya satu prasyarat perbaikan tata kelola kehutanan. Kebijakan perpanjangan moratorium tak akan berarti apa-apa jika pemerintah tidak mereview perizinan, penegakan hukum, penataan penguasaan hutan serta perbaikan peraturan.

“Perpanjangan moratorium tak boleh lepas dari empat hal itu. Kalau lepas, moratorium terjebak pada pencitraan,” kata pria juga senior lawyer di AsM Law Office ini.

Menurut dia, keempat hal ini sebenarnya sudah dijalankan pemerintah. Hanya, tidak terkonsolidasi dan kadar beda-beda.

“Perlu provinsi contoh untuk mengukur itu. Misal, Riau atau Jambi. Hingga semua aspek bisa dilihat. Pemerintah bisa moratorium semua izin dulu. Lalu review izin dan komposisi ulang penguasaan skala besar dengan penguasaan rakyat dan lingkungan.”

Setelah itu, katanya, buat peraturan yang memungkinkan terjadi dan cabut yang bertentangan. “Baru mulai pengelolaan baru.”

Andiko menekankan, pemerintah perlu membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis  (KLHS) sebagai panduan awal. Hingga kegiatan tidak tersendat dan terpisah-pisah.”Inisiatif harus terkonsolidasi Dallas lokasi contoh dengan waktu terukur skala Pelu ada tim khusus kerjakan itu.”

Manajer Pengkampanye Walhi Nasional Zenzi Suhadi juga mengapresiasi kebijakan ini. “Kita patut mengapresiasi komitmen diperpanjang dan terbuka pembahasan sejumlah penguatan. Karena ada jeda waktu dari berakhirnya waktu SK nomor 6 tahun 2013 dengan pengeluaran lembar komitmen baru, patut menjadi catatan dalam surat keputusan perpanjangan nanti untuk mengatur mekanisme evaluasi terhadap izin, dan sanksi serta pembatalan SK diterbitkan pada masa jeda ini.”

Sebab, sangat mungkin pemerintah daerah atau pejabat berwenang menerbitkan izin pada masa jeda. “Paling mendasar, perpanjangan moratorium harus ada perubahan paradigma dari hibernasi  menjadi recovery,” katanya.

Paradigma moratorium menuju recovery dapat dicapai dengan memperpanjang waktu kepada alam untuk pemulihan. Selain itu, juga memberi waktu pemerintah memperbaiki tata kelola, mengembalikan daya dukung dan mereview perizinan.

“Wilayah moratorium seharusya diperluas. Tidak saja dari hutan primer dan gambut dalam juga menjangkau wilayah kritis. Peraturan juga harus diperkuat untuk menjamin kepatuhan pemerintah daerah dan korporasi dengan membentuk sistem dan mekanisme evaluasi dan sanksi terhadap pelanggaran. Penyelesaian konflik juga harus lebih diperhatikan.”

Citra Hartati, peneliti Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) juga menyambut baik. Meski ada beberapa hal masih mengganjal.

“Pertanyannya apakah draf masih sama dengan yang sebelumnya? Kalo copy paste sama saja. Jangan sampai ada moratorium dengan kompromi,” katanya.

Menurut dia, moratorium itu sejatinya kebijakan yang memberikan waktu kepada pemerintah untuk membenahi tata kelola kehutanan yang carut marut. Jadi, perlu evaluasi kebijakan moratorium yang berjalan selama ini.

“Ada beberapa upaya pemerintah mewujudkan perbaikan tata kelola kehutanan selama periode moratorium sebelumnya. Seperti review perizinan, percepatan pengukuhan kawasan hutan, juga peningkatan pelibatan masyarakat sipil. Upaya ini belum maksimal karena tidak didukung kebijakan sektoral.”

Citra mengatakan, dahulu pengawasan dan evaluasi dijalankan UKP4. Namun tanggungjawab pengawasan saat ini dipertanyakan setelah lembaga itu dibubarkan.

“Seharusnya perbaikan tata kelola hutan menjadi tanggungjawab kolektif semua kementerian, bukan hanya satu sektor. Itu perlu dipastikan pada kebijakan moratorium sekarang.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,