,

Dua Tahun Usiamu, Putusan MK-35 Masih jadi Macan Ompong

Bahtiar bin Sabang, tertunduk lesu. Setelah proses persidangan panjang dan melelahkan, Senin (11/5/15) Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Sinjai Sulawesi Selatan, menghukum Bahtiar satu tahun satu bulan denda Rp500 juta subsider tiga bulan penjara.

Bahtiar,  adalah warga adat Turungan, di Desa Turungan Baji, Sinjai Barat, Sinjai. Dia dituduh merusak hutan klaiman Dinas Kehutanan Sinjai sebagai hutan produksi terbatas awal 2014.

Dia bersikeras tak bersalah karena lokasi itu kebun sendiri, termasuk hutan adat Bonto Baru,  wilayah adat Turungan.

“Itu masih kawasan hutan adat Bonto Baru, Adat Turungan dan Karampuang harus bersepakat sebelum mengambil kayu sebatang,” katanya setelah putusan.

Bahtiar merasa, ada politisasi kasus oleh Dinas Kehutanan  karena dia salah satu penggerak komunitas adat yang melakukan pemetaan dan penataan ruang.

“Ini tidak adil, kasus dipolitisasi. Tanah itu kami kelola turun temurun sejak nenek moyang, kenapa tiba-tiba menjadi hutan negara tanpa kami tahu?”

Kasus Bahtiar hanyalah salah satu dari sejumlah kasus menimpa masyarakat adat di tanah air pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 35 pada 16 Mei 2013, soal hutan adat bukan hutan negara. Putusan hukum ini sudah berusia dua tahun, tetapi belum banyak  membantu pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Putusan MK-35 ini bak macan ompong. Putusan hukum tinggi, tetapi tak bergigi. Masyarakat adat tetap tak berdaya.

Begitu banyak warga adat/lokal menjadi korban UU di negara ini, terutama dengan tambahan satu UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) pada 2013, jeratan pada masyarakat makin kuat. Selama ada, UU P3H ini, terus menyasar masyarakat lokal/adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.

Untuk itu, pada September 2014, Koalisi Masyarakat Sipil bersama beberapa komunitas dan warga adat mengajukan judicial review UU P3H ke Mahkamah Konstitusi. Kini, masih menunggu putusan MK.

Armansyah Dore, Ketua Biro Advokasi dan Infokom, Aliansi Masyarakat Adat nusantara (AMAN) Sulsel, Kamis (14/5/15) mengatakan,  seperti nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur, Bahtiar korban UU P3H. Konon, UU ini digadang-gadang pemerintah sebagai aturan penjerat korporasi perusak hutan. Sayangnya, dalam pelaksanaan  justru rakyat kecil jadi ‘makanan’. Hingga kini, putusan MK-35 kerab diabaikan majelis hakim.

“Dua tahun putusan MK yang menegaskan hutan adat bukanlah hutan negara. Kenyataan tidak diperhatikan pemerintah khusus pemerintah daerah.”

Menurut dia, ada beberapa hal menyebabkan kondisi ini, antara lain belum ada payung hukum UU. “Beberapa pemda menyatakan simpati terhadap masyarakat adat, namun untuk membuat perda pengakuan maka mereka berdalih belum ada regulasi sebagai cantolan.”

Penyebab lain, keinginan pemda dan DPRD melah untuk eksistensi masyarakat adat. Tak banyak daerah memiliki komitmen. Di Sulsel, baru dua kabupaten serius mendorong perda perlindungan adat, yaitu Bulukumba dan Enrekang.

“Di Bulukumba sudah dibahas DPRD, di Enrekang masuk Prolegda 2015 setelah diusulkan DPRD.”

Armansyah menilai, syarat pengakuan dalam putusan MK-35 ini juga berat dilaksanakan. Dalam putusan MK-35, dimaksud masyarakat adat haruslah diakui negara melalui regulasi perda.

“Dalam pembuatan perda memerlukan keinginan kuat sokongan finansial, rumit dan tidak semudah membalikkan telapak tangan.”

Menurut dia, pemberian syarat berat ini menunjukkan pengakuan negara atas keberadaan masyarakat adat,  masih setengah hati.

Tantangan lain, katanya, terkait pemahaman pemda tentang masyarakat adat, kadang masih keliru. “Pemerintah masih mengidentikkan masyarakat adat dengan masyarakat tradisional terisolasi. Yang tidak memakai sendal, tidak mengenal teknologi modern, tinggal di hutan dan beberapa elemen mengerikan lain.”

Pemahaman salah tentang masyarakat adat ini menyebabkan banyak pemda berpandangan sinis pada komunitas adat, dan menganggap mengada-ada.

Bagi masyarakat sendiri, putusan MK-35 diartikan keliru. Dampaknya,  muncul feodalisme kerajaan yang mengklaim masyarakat adat sebagai bagian mereka.

“Ada upaya menggunakan putusan MK-35 sebagai peluang menancapkan kembali cakar feodalisme dengan menjadikan komunitas adat sebagai penyangga perekonomian suatu kerajaan.”

Penyebab lain,  MK-35 belum jadi bahan pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan hutan dan sumber daya atau agraria.

“Ini masih minim. Padahal putusan ini menjadi penting jadi pertimbangan dalam RTRW, renstra SKPD dan pihak lain agar tidak tumpang-tindih dan bisa meminimalisir konflik.”

Bahtiar menanggung nasib divonis satu 1,1 tahun dan denda Rp500 juta hanya karena tuduhan menebang pohon di kebun sendiri yang diklaim masuk hutan negara. Dia dijerat hukum setelah MK-35 lahir. Apa fungsi MK-35? Foto: Wahyu Chandra

Dorong  implementasi

Bata Manurung, Ketua BPH Aman Tana Luwu, menilai, implementasi MK-35 belum nyata. Aman Tana Luwu pun mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah guna mempercepat implementasi putusan itu.

Pertama, mendesak pemerintah se-Tana luwu segera melaksanakan puutusan MK 35, misal, melalui penyelesaian konflik-konflik terkait hutan adat dan sumber daya alam di wilayah-wilayah adat Tana Luwu.

Kedua, bersama pemerintah, DPRD se Tana Luwu mendukung percepatan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang tertunda pada era pemerintahan lalu.

Ketiga, mendesak pemerintah se Tana Luwu meninjau ulang izin-izin konsesi pertambangan, perkebunan dan hutan lindung di wilayah adat.

Keempat, meminta eksekutif dan legislatif di Luwu, Luwu Timur dan Palopo mempercepat pembuatan perda pengakuan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Pemerintah gagap 

Ungkapan senada juga dikatakan AMAN Bengkulu. Deftri Hamdi, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Bengkulu mengatakan, pergantian rezim pemerintah tidak memberikan perubahan berarti bagi masyarakat adat. Salah satu indikator, katanya, terlihat dari pemerintah pusat dan daerah gagap dalam menjalankan perintah konstitusi. Dua tahun sejak putusan MK-35,  pemerintah gagal menjalankan perintah kostitusi dalam menyelesaikan pengembalian hak hutan adat kepada masyarakat.

Pemerintah pusat dan daerah, kata Defri,  hanya bermulut manis ingin menghormati masyarakat adat. Masyarakat adat sebagai pemilik sah republik tidak pernah terimplementasi dalam tindakan dan kebijakan.

Menurut dia, masyarakat adat Bengkulu berniat baik membantu pemerintah menjalankan konstitusi dengan melakukan dan pemberitahuan wilayah (hutan) adat tetapi respon negatif.  Dia mencontohkan, wilayah adat Semende Banding Agung, sampai hari ini–pasca vonis empat warga adat– masih dirudung masalah.  Pemerintah Kabupaten Kaur, katanya,  gagap dalam merespon tuntutan warga adat, dan menyerahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Tanpa melakukan apa-apa.”

Contoh lain, di pulau terluar Bengkulu, masyarakat adat Enggano berjuang menyelamatkan hutan adat dari perusakan malah dibenturkan dengan legalitas hukum negara berupa pengakuan dari Mahkamah Agung.

Defri mengatakan, Gubernur Bengkulu, dalam beberapa kesempatan menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat adat. Sayangnya, sikap itu berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. “Inventarisasi masyarakat adat Bengkulu sebagai lanjutan surat edaran Menteri Dalam Negeri, misal, tidak berarti apa-apa bagi pemerintah daerah. Ini menjadi hal kronis mengingat persoalan hukum dialami masyarakat adat Bengkulu makin menumpuk.”

Padahal, ujar Defri, putusan MK tentang hutan adat keluar dari hutan negara seharusnya berjalan sesuai penghormatan terhadap masyarakat adat.  Untuk itu, dalam membuat kebijakan, pemerintah seharusnya  memperhatikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Tanpa pengakuan dan perlindungan baik pemerintah pusat maupun daerah, keputusan MK akan menemui jalan buntu.

“Masyarakat adat akan tetap dihadapkan persoalan hukum dan ancaman kriminalisasi dalam mempertahankan hutan sebagai bagian utuh dari masyarakat adat. Tanpa pengembalian hutan adat kepada masyarakat, penghormatan terhadap hak-hak dasar hanya menjadi bualan.”

Dalam kebijakan mempertimbangkan masyarakat adat, katanya, pemerintah pusat membuat beberapa aturan, seperti UU Desa, Surat Edaran Mendagri.  “Untuk penilaian, dari range 1-10, saya memberi respon lima, tetapi untuk implementasi baik pusat ataupun daerah saya tak bisa memberi nilai. Memang tak patut dinilai karena tidak melakukan apa-apa dalam implementasi putusan MK- 35 .”

Pandangan tak jauh beda dengan Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara. Pemerintah, katanya,  tidak sungguh-sungguh menjalankan MK-35. Terbukti, dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo, hak-hak adat terus terabaikan.

Sejak era SBY, pasca putusan MK-35, masyarakat adat mendesak asa instruksi Presiden guna mempercepat pengakuan. Hingga era Jokowi, tuntutan itu tak keluar. “Jujur, saya masih meragukan komitmen pemerintah sekarang melaksanakan putusan ini sebagaimana dalam Nawa Cita,” katanya.

Bagi Munadi,  keraguan itu berdasar, karena RUU Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Adat (PPHMA) tak masuk Prolegnas 2015. “Itu bukti masyarakat adat tak mendapat perhatian Jokowi.”

Dia mengatakan, di Maluku, mereka sering bertemu dengan Dinas Kehutanan. “Yang saya dengar mereka memiliki semangat melaksanakan putusan ini. Namun kewenangan terbatas, membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Apalagi kalau kepala daerah tak berpihak pada masyarakat adat. Akan makin sulit mendorong pengakuan hak-hak mereka. “

Untuk itu, katanya, pemerintah pusat harus menginstruksikan kepala daerah segera menjalankan putusan ini.

Saat ini, kata putusan MK-35 terabaikan, konflik tak selesai-selesai. Di Maluku Utara, masyarakat adat terusir dari hutan bahkan ditangkap gara-gara mengelola hutan mereka sendiri.

Bahkan, katanya,  Gubernur Maluku Utara, membuat pernyataan melarang masyarakat adat masuk hutan karena dianggap hutan negara. “Ini kan aneh. Menurut saya dengan tak dilaksanakan putusan MK-35, kedepan konflik tenurial di Maluku Utara terus meningkat.”

Dia memperkirakan, potensi konflik masih besar karena perlakuan kepada masyarakat adat tidak adil. Mereka yang bergantung hidup pada hutan diusir sedang perusahaan-perusahaan tambang, sawit, HPH maupun HTI mendapatkan izin membongkar hutan dengan membabi buta. Bahkan pulau-pulau kecil yang dalam aturan dilarang pun, malah banyak izin.

“Kami akan terus menuntut MK-35 segera berjalan. Di AMAN Malut terus mendesak pemkab dan DPRD segera membuat perda.”

Tahun ini, kata Munadi,  ada satu Perda PPHMA masuk Prolegda di Halmahera Tengah. “Saya berharap upaya baik ini bisa dilaksanakan di kabupaten/kota lain.”

Dia berharap, segera ada perubahan mendasar menjawab tuntutan masyarakat adat ini. “Negara harus adil kepada masyarakat adat, jangan dianaktirikan karena itu akan memunculkan ketidakpercayaan lagi masyarakat adat pada negara.”

Jasardi Gunawan, Ketua BPH Sumbawa, NTB,  mengatakan, putusan MK-35 sudah dua tahun, namun pemerintah tidak dapat menempatkan posisi masyarakat adat (hutan adat).  “Masih tak terakomodir, dan pemerintah sangat lamban sekali, seharusnya mengambil langkah kongkrit hingga terkesan pemerintah mengabaikan putusan MK ini.”

Tak pelak, situasi masyarakat adat di lapangan masih  memprihatinkan. “Dimana-mana konflik berkepanjangan.”

Dia mencontohkan, masyarakat adat Cek Bocek dengan PT. Newmont, Komunitas Pekasa versus Dinas Kehutanan, dan masyarakat adat Talonang dengan PT. Perkebunan Sisal. “Mereka berhadap-hadapan dengan hukum atas tuduhan pemerintah karena  memanfaatkan hutan yang dalam status pemerintah dikatakan hutan lindung.”

Dia mendesak, pemerintah melanjutkan pembahasan RUU PPHMA dan segera pembentukan unit khusus yang mengurus soal masyarakat adat langsung di bawah Presiden.

“Harusnya pemerintah  memfasilitasi pemetaan tata batas hutan adat dan hutan negara, dengan Presiden memberikan instruksi kepada kepala daerah.”

Rumah-rumah warga Pekasa di Sumbawa, satu per satu, mulai dibangun setelah pada 2011 dibakar aparat gabungan. Ketua Adat mereka, Datuk Pekasa, belum lama terbebas dari penjara. Mereka terus berjuang mempertahankan wilayah dan hutan adat yang sudah ditinggali turun menurun. Mereka hidup dari hutan, bukan merusak hutan. Hutan di sekeliling kampung mereka rimbun, terjaga. Di sungai-sungai sekitar, air mengalir jernih. Mereka membangun rumah di tempat dulu sekitar 60 bangun hangus dibakar massal. Foto: Sapariah Saturi

Desak pembentukan satgas

Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan menilai, pemerintahan baru memberikan harapan dengan kepedulian dan komitmen terhadap hak-hak masyarakat adat. Komitmen itu, katanya, tertuang dalam Nawa Cita Joko Widodo-Jusuf Kalla. “Kami optimistis dan tetap meminta pemerintah secepat mungkin menghilangkan kasus-kasus kriminalisasi masyarakat adat,” katanya.

Untuk itu,  perlu langkah cepat pemerintah  menghentikan kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat. Beberapa langkah itu, kata Abdon, antara lain segera bentuk Satgas Masyarakat Adat dan menjadikan putusan MK-35 sebagai pertimbangan mendasar dalam proses-proses penyusunan regulasi dan kebijakan pemerintah.

“Satgas masyarakakat adat penting direalisasikan segera agar mempercepat proses-proses pengakuan hukum mereka termasuk percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPHMA dan mempersiapkan pembentukan Komisi Masyarakat Adat.”

Dia mengatakan, pembentukan satgas, juga berfungsi penting dalam mempercepat proses-proses pengampunan dan pembebasan warga adat yang dikriminalisasi.

MK, katanya,  telah menempatkan konteks hutan adat dengan benar. Dengan pertimbangan hukum, MK menyatakan, hutan adat merupakan satu kesatuan dengan wilayah adat. “Pengembalian hak masyarakat adat mengelola wilayah sendiri dua tahun lalu merupakan tonggak pengembalian hak-hak masyarakat adat yang lebih luas,” ujar dia.

Sayangnya, ucap Abdon,  belum semua aparat pemerintah memahami hak-hak masyarakat adat harus kembali dan dilindungi. AMAN mencatat, ada 25 kriminalisasi masyarakat adat yang menjerat 33 orang mengunakan UU P3H yang dikeluarkan setelah MK-35.

“MK-35 sudah dua tahun berlalu. Kita memiliki orang-orang lebih berkomitmen di pemerintah dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat. Ini momentum tepat menjalin rekonsiliasi negara dan masyarakat adat dengan segera membentuk Satgas Masyarakat Adat dan menghentikan berbagai kekerasan dan kriminalisasi,” katanya, dalam rilis kepada media.

Dukungan kuat telah disuarakan Komnas HAM. Lembaga ini menjadikan MK-35 sebagai dasar Inkuiri Nasional yang merupakan proses penyelidikan menyeluruh dan sistematis terhadap peristiwa-peristiwa yang diduga kuat pelanggaran HAM terhadap  masyarakat adat.

Ada sinyal positif

Yance Arizona, Manager Hukum dan Masyarakat Epistema Institute mengatakan, pasca putusan MK-35 reaksi muncul dari beberapa kementerian. “Ada reaksi negatif, meski ada juga positif,” katanya Jumat (15/5/15).

Reaksi negatif antara lain dari Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK). Selang beberapa bulan sejak putusan MK-35, kementerian itu mengeluarkan UU P3H. “Dengan UU P3H diskriminasi dan kriminalisasi masyarakat adat dan orang kecil justru makin banyak. Meski semangat awal dari UU ini untuk menjerat korporasi.”

Kebijakan lain Kemenhut dalam merespon MK-35 dengan Permenhut 62 tahun 2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam permenhut ini, hutan adat keluar dari kawasan kehutanan.

“Ini berbeda makna jika ditulis keluar dari hutan negara. Ini menunjukan Kemenhut tak mau mengurus hutan adat. Dia lepas tangan. Melempar bola panas ke pemda untuk membuat pengakuan terhadap masyarakat dan hutan adat melalui perda. Padahal tanggung jawab kementerian ini memastikan hutan adat.”

Padahal, dalam UU Kehutanan ada mandat membuat peraturan mengenai masyarakat adat tetapi hingga kini tak ada.

Ritual adat napoq. Napoq bagi masyarakat adat Long Isun di Kalimantan Timur merupakan komunikasi dengan para leluhur yang berada di dalam alam nirwana. Warga adat protes karena hutan adat mereka masuk konsesi HPH. Foto: Tekla Tirah Liah

Dalam MK-35 itu, katanya, ada pernyataan selama ini telah terjadi pengabaian terhadap masyarakat adat. “Ini koreksi terhadap perilaku dan peraturan kehutanan yang diskriminatif dan melegalkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.” Hal itu, katanya, memperkuat pengakuan dan kedudukan masyarakat adat sebagai penyandang hak. Masyarakat adat sebagai subyek hukum tersendiri.

Yance mengatakan, putusan MK-35 menyatakan ada prinsip vertikal. Pelekatan yang mengikatkan keterkaitan hutan dengan status adat. “Jika tanah hak ulayat, otomatis di atasnya hutan adat. Namun ini belum dijalankan.”

Sedangkan respon Kemendagri terhadap MK-35, dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 552  tahun 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Adat. Ini hasil desakan dari UKP4. “Ini respon postif. “Hanya secara konseptual, surat edaran itu keliru dalam memaknai masyarakat adat. Disitu disebut yang masuk masyarakat adat adalah suku-suku, kelompok marga, keraton, kerajaan hingga kesultanan. Padahal kerajaan, keraton dan kesultanan bukan masyarakat adat,” katanya.

Surat Edaran Kemendagri itu, katanya,  menimbulkan risiko besar. Banyak kerajaan di negeri ini yang sedang mengupayakan pemulihan hak mereka. Padahal sudah dihapuskan UU Pokok Agraria.

“Kemudian ada Permendagri Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Mereka diidentifikasi oleh camat disampaikan kepada panitia masyarakat hukum adat terdiri dari Sekda, SKPD  bagian hukum dan camat. Untuk ada verifikasi dan penetapan melalui perda. Ini respon positif bagi pengakuan masyarakat adat.”

Hingga kini,  ada 10 provinsi dan 14 kabupaten kota sudah pemetaan sosial masyarakat hukum adat.

“Memang masih sangat sedikit. Respon pemda rendah. Paling tidak, menunjukan sudah ada. Di Jayapura, sudah dikeluarkan SK bupati pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Juga SK bupati nomor 319 dan 320 tahun 2014 tentang  pembentukan 36 kampung adat.Ini berdasarkan verifikasi dan validasi dari panitia MHA. Di Barito selatan ada. Ini patut diapresiasi.”

Selain itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang  (dulu BPN) membuat peraturan bersama dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum nomor 79 tahun 2014. Perber ini, ucap Yance,  berisi soal  tata cara penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Ia dibuat beberapa saat sebelum SBY lengser.

“Dalam perber ini, Barito Selatan ditunjuk sebagai pilot project.  Dibuat juklak dan juknis. Juga ada tim inventarisasi Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

untuk menerima permohonan masyarakat yang tanah terlanjur ditetapkan sebagai hutan negara untuk diverifikasi. Jika benar bisa diberikan sertifikat dan dikeluarkan dari hutan negara,” ujar Yance.

Upaya ini, katanya, hal positif meskipun masih berjalan dan hasil belum terlihat. Saat ini,  Kementerian Agraria dan Tata Ruang juga merancang Peraturan Menteri tentang Hak Komunal Atas Tanah. “Masyarakat adat bisa mengajukan hak komunal atas tanah. Ini langkah positif.”

Reaksi lain juga oleh Komnas HAM. Ia mengadakan Inkuiri Masyarakat Adat dengan mengambil 40 profil kasus. Fakta-fakta mengenai sengketa agraria dan kehutanan melibatkan masyarakat adat dibeberkan. “Ini supaya membentuk kesadaran baru sekaligus membuka fakta pelangaran HAM.”

Tahun lalu, juga deklarasi bersama Wakil Presiden Boediono di peluncuran program nasional pengukuhan dan perlindungan hak masyarakat adat lewat REDD+. “Ini juga langkah bagus,” katanya.

Bagaimana dengan respon pemerintah daerah?

“Pasca putusan MK-35, ada banyak perda dibuat untuk mengakui masyarakat adat dan wilayah. Ini penting karena di tiap peraturan untuk pengakuam memerlukam perda.”

Hingga saat ini, ada 108 produk hukum lokal yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan wilayah termasuk hutan.  Terdiri dari perda provinsi 19, perda kabupaten 45, Pergub enam dan Keputusan Bupati 38.

“Sekarang sedang proses inisiasi membuat produk hukum lokal soal masyarakat adat ada 87 daerah. Mereka sedang bergerak membuat peraturan pengakuan terhadap masyarakat adat. Ini efek luar biasa. Tapi ini masih insiasi belum hasil.”

Apakah putusan MK-35 setelah dua tahun sudah membuatkan hasil? Menurut Yance, keberhasilan implementasi MK-35 belum begitu banyak. Meski produk hukum di daerah soal pengakuan masyarakat adat cukup banyak.

“Di masyarakat adat, putusan MK-35 belum mengubah banyak hal. Kita tahu beberapa waktu lalu Suku Anak Dalam, misal, beberapa di antara mereka meninggal karena kelaparan. Mereka malah makin terdiskriminasi. Banyak masalah karena lahan hutan mereka dikonversi,” katanya.

Selain itu, kekerasan, kriminalisasi hingga pengusiran juga masih terjadi. Beberapa hari lalu, masyarakat adat  Bathin IX harus mengungsi karena hutan mereka berubah fungsi. Permasalahan-permasalahan seperti itu masih berlangsung.

“Masyarakat adat saat ini menjadi isu politik di level lokal. Dulu tidak. Jadi salah satu isu pengikat antara politikus dan konstituen. Banyak masyarakat adat jadi politisi. Banyak makjn perhatian. Ini jadi peluang mengkomunikasikan keinginan mereka,” katanya.

“Dengam begitu, pengakuan wilayah adat bisa lebih fleksibel. Bisa dibuat lewat jalur Bupati ataupun DPRD . Kalau Bupati pro sawit, bisa dekati DPRD. Begitupun sebaliknya.”

Yance mengatakan, putusan MK-35 berhasil menggerakkan pemerintah pusat dan daerah mengakui masyarakat adat dalam produk hukum lebih konkrit.

Namun, dia mencatat ada beberapa hambatan dalam pengimplementasian MK-35 selama dua tahun terakhir. “Mental birokrasi tidak berubah dalam memandang kawasan hutan. Orang-orang di KLHK masih menganggap hutan harus steril dari masyarakat dan tak boleh ada di dalam kawasan hutan.”

Pemerintah, katanya,  juga masih memandang masyarakat adat sebagai komunitas primitif dan statis. Padahal, kalau bicara konseptual,  masyarakat adat bisa berbentuk nagari, kesatuan masyarakat hukum adat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,