,

Restorasi Ekosistem dan Emisi Gas Rumah Kaca

Deforestasi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kehutanan sebagai sektor utama guna pencapaian target penurunan emisi GRK sebesar 26% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional.

Upaya nyata terus dilakukan guna mencapai target penurunan emisi GRK tersebut. Salah satu langkah menggembirakan terlihat pada kegiatan Restorasi Ekosistem di hutan alam produksi.

Restorasi Ekosistem (RE) merupakan upaya pengembalian unsur hayati seperti flora dan fauna suatu kawasan berikut unsur non-hayatinya (tanah, iklim, topografi) pada jenis atau kondisi asli, termasuk keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Selama proses restorasi, hutan produksi dipulihkan kondisinya dengan tidak ditebang. Sehingga, kondisi ini dapat membantu meningkatkan serapan karbon dari atmosfer.

Sebagaimana yang kita ketahui, tumbuhan akan menyerap karbon dioksida (CO2) selama pertumbuhannya. Karbon tersebut nantinya disimpan di batang, daun, dan tanah. Ketika pepohonan ditebang otomatis karbon yang tersimpan tersebut akan terlepas ke atmosfer. Bagaimana jika pepohonan dibabat dalam skala besar, terlebih penggundulan hutan? Sudah dipastikan jumlah karbon yang berhamburan ke atmosfer akan berlebihan jumlahnya.

Padahal, karbon dioksida ini merupakan salah satu gas yang dapat menimbulkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri merupakan peristiwa ketika radiasi panas permukaan bumi diserap oleh GRK untuk kemudian dipantulkan kembali ke segala arah ke permukaan dan atmosfer bawah bumi. Akibatnya, suhu permukaan bumi mengalami peningkatan. Dalam jangka waktu panjang, kondisi ini yang kemudian menimbulkan bencana perubahan iklim.

“Pengelolaan hutan alam produksi dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) yang diinisiasi Burung Indonesia sangat berpotensi memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi GRK,” ungkap Mangarah Silalahi, Kepala Pusat Sumberdaya  Restorasi Ekosistem – Burung Indonesia saat TalkshowPeran Restorasi Ekosistem dalam Perubahan Iklim” di Jakarta Convention Center, akhir pekan ini.

Menurut Mangarah, hutan yang dikelola melalui IUPHHK-RE ini tentunya memiliki manfaat luar biasa juga dari sisi hasil hutan non-kayu. “Selain manfaat mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi GRK dan manfaat ekonomi, RE juga berperan penting dalam penyelamatan keragaman hayati dan ketahanan pangan masyarakat.”

Mengapa demikian? Karena RE memiliki tujuan lebih luas yang tidak hanya berkutat pada persoalan perubahan iklim. Restorasi Ekosistem dipandang sebagai cara mempertahankan hutan alam di hutan produksi, konservasi keanekaragaman hayati, penyelamatan aset negara, dan mendorong tata kelola hutan yang lebih baik. “Termasuk, sangal fleksibel dalam pengelolaan bussiness partnership bersama masyarakat khususnya masyarakat adat di kasawan hutan tersebut.”

Perambahan kawasan, salah satu masalah di area Restorasi Ekosistem. Padahal, Restorasi Ekosistem tidak hanya berkutat pada perubahan iklim, tetapi juga merawat hutan secara menyeluruh. Foto: Aulia Erlanga/ Burung Indonesia

Target

Hal senada diutarakan Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Usaha Kawasan KLHK, Drasospolino, bahwa RE merupakan cara mitigasi perubahan iklim yang efektif.

Selama pemerintahan Jokowi-JK (2015-2019) ini, targetnya 500.000 hektar yang akan diberikan kepada sekitar 10 pemegang izin. Selain RE, KLHK juga telah memberikan dua izin usaha jasa lingkungan ke investor. Kedua kebijakan ini merupakan cara pemerintah untuk mengurasi emisi dari hutan produksi.

Menurut Drasospolino, KLHK telah memasukkan RE sebagai bagian dari rencana strategis dengan menargetkan lahan seluas 2,69 juta hektar dalam kurun waktu 2010-2014. Hingga saat ini hutan produksi yang dikelola melalui izin RE mencapai 515.270 hektar (13 izin) dan masih terdapat 2,69 juta hektar lagi kawasan hutan produksi yang dicadangkan untuk dijadikan lokasi Restorasi Ekosistem.

Ijin IUPHHK-RE pertama diberikan pada 2007 di Sumatera Selatan yang dikenal dengan sebutan Hutan Harapan. Pengelolaannya dilakukan oleh PT. REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) yang digawangi oleh konsorsium Burung Indonesia.

Melalui Restorasi Ekosistem, berbagai manfaat hasil hutan dapat diperoleh mulai dari dari tanaman biofarmaka (obat) dan bioenergi, penyerap karbon, ekowisata dan ilmu pengetahuan, hingga jasa lingkungan. “Hasil kayunya juga dapat dimanfaatkan berbarengan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu (non-timber forest products) seperti madu, jernang, rotan, bambu, getah, dan buah-buahan.”

Rotan, hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan melalui skema REstorasi Ekosistem. Foto: Rhett Butler
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,