, ,

Nasib Nelayan dan Petani Batang di Mega Proyek Energi Kotor

Warjoyo melihat dari atas perahu di perairan Laut pesisir Batang Jawa Tengah,  lokasi lahan pertanian miliknya pada Selasa (12/05/2015). Bendera warna kuning dan putih menjadi penanda lahan warga yang belum dijual untuk mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara dengan kapasitas 2×1000 Megawatt.  Sudah empat tahun, ia dan warga yang tergabung dalam UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban) menolak pembangunan PLTU itu.

Warga Ponowareng itu sudah kenyang diintimidasi dan diteror,untuk melepas seperempat hektar dijual lahannya kepada investor.  Padahal lahan sawahnya sangat produktif, menghasilkan 11 kuintal padi dalam tiga kali panen setahun. Belum pendapatan dari tanaman teh rosela, melati, kakao, ternak kambing dan sapi.

“Sampai kapanpun tanah tidak akan saya jual, warisan untk anak dan cucu saya. Tanah ini harta karun yang tidak akan habis, tapi uang sebanyak apapun pasti habis,” katanya.

Warga UKPWR menolak PLTU Batang karena melihat langsung penderitaan masyarakat sekitar PLTU di Jepara, Cilacap dan Cirebon, karena dampak debu yang mengganggu lahan pertanian mereka.

Cayadi, Warga Desa Karanggeneng juga tetap menolak proyek listrik terbesar se-Asia Tenggara ini. Cahyadi pada Mei 2014 lalu diputus bersalah oleh Mahkamah Agung karena melakukan pengeroyokan dan dipidana 7 bulan penjara. Ditingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ia diputus tidak bersalah.

“Saat peristiwa pengeroyokan saya tidak ada dilokasi dan tidak melakukan pengeroyokan itu,” kata Cayadi.

Ia bercerita, protes damai ditangggapi berlebihan oleh polisi dan TNI setempat. Alat berat dan eskavator dengan aparat yang berada di lokasi melakukan pengurukan mengganggu aktivitas bertani warga. Pengurukan dan pembuatan tanggul setinggi tiga meter telah menutup akses warga ke lahan mereka serta mengganggu pasokan air irigasi. Sejumlah warga juga mengalami intimidasi untuk menjual lahannya.

“Pengurukan dan pembuatan tanggul akan berakibat pada kekeringan hingga kegagalan panen,” katanya yang bersikukuh tidak menjual satu hektar lahan produktifnya.

Ia berharap Presiden Jokowi mendengarkan mereka yang menjaga penghidupannya. “Sebelum memutuskan kelanjutan proyek ini, kami mohon agar Presiden Jokowi berkunjung ke Batang dan berdialog dengan warga dan para pemilik lahan yang selama ini akan menjadi korban pembangunan proyek ini,” kata Cayadi.

Nelayan Batang juga terdampak pembangunan PLTU.  Bejo Glopot, warga Roban Timur, biasa melaut satu jam dari dermaga mencari ikan, udang dan kepiting. Ia dan nelayan lain sudah melihat dampak langsung dari PLTU di Jepara, Paiton, Cilacap dan Jepara.

“Batubara yang digunakan untuk menghasilkan energi menghasilkan limbah di laut, sehingga hasil laut semakin berkurang. Belum lagi air laut pesisir yang disedot juga akan menyedot hasil laut dan merusak ekosistemnya,” katanya.

Lokasi dermaga perahu nelayan Roban yang menolak pembangunan PLTU Batang. Foto Tommy Apriando
Lokasi dermaga perahu nelayan Roban yang menolak pembangunan PLTU Batang. Foto Tommy Apriando

Bejo menolak sampai kapanpun pendirian PLTU Batang, karena sudah sejahtera dengan penghasilan Rp500rb – sejuta.  Sedangkan nelayan Jepara, berpenghasilan Rp4-5 juta per hari sebelum ada PLTU Jepara. Sekarang mereka terkadang tidak berpenghasilan karena ikan hilang dan terumbu karang rusak karena air laut disedot untuk operasional PLTU.

“Tolonglah untuk pemerintah daerah dan pusat, khususnya Pak Jokowi untuk membatalkan PLTU ini. Warga sudah sejahtera tanpa adanya PLTU,” tambah Bejo.

Melanggar Aturan 

Analisis Lembaga Bantuan Hukum Semarang, proyek PLTU Batang menabrak kawasan konservasi laut di Pantai Utara Jawa.  Juga perubahan perda yang bertentangan dengan peraturan diatasnya yaitu Keputusan Bupati Batang secara cepat dan terkesan untuk meloloskan proyek tersebut.

Lokasi pembangunan PLTU Batang tidak hanya akan berdampak pada lahan pertanian namun juga pesisir laut Jawa di Batang. Foto Tommy Apriando
Lokasi pembangunan PLTU Batang tidak hanya akan berdampak pada lahan pertanian namun juga pesisir laut Jawa di Batang. Foto Tommy Apriando

Bupati Batang mengeluarkan peraturan No.532/306/2011 tertanggal 19 September 2011 sebagai perubahan atas Keputusan Bupati Batang No.523/282/2005 tertanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoto-Roban, Kabupaten Batang.

Keputusan itu bertentangan dengan PP No.26/2010 tentang RTRW Provinsi Jateng 2009-2029, maupun Perda Kabupaten Batang No.7/2011 tentang RTRW Kabupaten Batang 2011-2031 yang menyebutkan kawasan konservasi laut daerah Pantai Ujungnegoro-Roban dengan luas kurang lebih 6.899,74 hektar merupakan kawasan perlindungan terumbu karang dan taman nasional wisata alam laut.

Proyek Energi Kotor

Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan melalui program listrik 35.000 megawatt pemerintah berkomitmen memanfaatkan secara optimal sumber energi terbarukan, karena energi fosil bakal habis.

Sedangkan Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Arif Fiyanto kepada Mongabay mengatakan sejak 2011, mereka bersama masyarakat menolak berdirinya PLTU Batang, karena berdampak buruk kepada warga dan lingkungan, seperti kesehatan, intimidasi, kriminalisasi, pelanggaran HAM, hinga pembebasan paksa lahan.  Selain itu, batubara juga penyebab utama perubahan iklim karena emisi karbon yang besar.

Warga masih mempertahankan 25,4 hektar dari 226 hektar lahan untuk pembangunan PLTU. Padahal sebagian besar lahan produktif seperti persawahan subur dan wilayah perikanan, sehingga berpotensi membahayakan mata pencaharian puluhan ribu nelayan dan petani setempat.

Analisis Greenpeace, megaproyek PLTU Batang didanai oleh Japan Bank International Cooperation (JBIC). Padahal panduan investasi JBIC menyatakan dana akan dikucurkan apabila proses pembebasan lahan tidak mendapat penolakan dari warga dan tidak berkonflik. Sehingga pembangunan PLTU Batang melanggar standar investor itu sendiri.

“Warga Batang telah beraudiensi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, bahkan berangkat ke Jepang untuk menemui anggota Parlemen Jepang dan Perwakilan JBIC. Namun usaha warga mempertahankan lahan dan penghidupannya nya belum mendapatkan titik terang lantaran pemerintah tetap berkeras untuk melanjutkan proyek tersebut,” tambah Arif.

Pembangunan PLTU Batang bertentangan dengan visi dan misi Presiden Jokowi terkait kedaulatan pangan karena mengambil lahan produktif pertanian, dan visi Jokowi pada sektor maritim juga karena berdampak pada kehidupan nelayan.

“Indonesia salah satu negara terbesar melakukan ekspor batubara, namun cadangan batubaranya bisa dikatakan terbatas. Jika terus ketergantungan terhadap PLTU Batubara maka krisis batubara bisa terjadi di Indonesia,” kata Arif.

Padahal Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang berlimpah, seperti panas bumi, angin, tenaga surya, hingga mikrohidro. Greenpeace mengapresiasi langkah Presiden mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Angin) di Bantul yang ramah lingkungan.

“Sudah saatnya Presiden Joko Widodo memimpin revolusi energi dengan memilih sumber energi yang lebih baik aman dan lebih hijau berkelanjutan,” kata Arif.

Sebelumnya Jokowi mengultimatum kepada Menteri ESDM Sudirman Said, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranonowo, Bupati Batang dan direktur PLN untuk segera menyelesaikan pembebasan lahan untuk pembangunan proyek PTLU Batang dalam satu satu bulan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,