, , ,

Perpanjangan Tanpa Penguatan, Inilah Kelemahan Inpres Moratorium Izin Hutan

Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada Rabu, 13 Mei 2015 baru menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2015 Tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Ia merupakan perpanjangan kali ketiga dari aturan serupa yang keluar era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masukan perbaikan dan penguatan dari berbagai kalangan, belum masuk dalam aturan karena masih copy paste dari kebijakan lama.  Walhi melakukan analisis dan menyatakan ada lima kelemahan mendasar dari kebijakan yang akan berlaku dua tahun ke depan ini. Berikut kelemahan-kelemahan itu.

Pertama, ada pengecualian permohonan bagi yang sudah mendapatkan izin prinsip. Artinya, tak menjamin kawasan hutan alam dan lahan gambut wilayah moratorium selamat dari deforestasi dan degradasi. “Sebab wilayah tutupan hutan  yang sudah mendapatkan izin prinsip akan mengalami degradasi kala masa moratorium terbit izin produksi,” kata Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Walhi Nasional, dalam keterangan tertulis  di Jakarta.

Kedua, pengecualian lahan untuk padi dan tebu, mengisyaratkan Inpres Moratorium ini mengikuti orientasi perkembangan investasi. Pelaku bisnis, katanya cenderung mengakumulasi modal dan penguasaan tanah berupa land banking.  “Setelah land banking HTI , sawit dan tambang, saat ini penguasaan tanah oleh korporasi mengarah ke sektor energi dalam kemasan kedaulatan pangan dan energi,” ujar dia.

Hal ini, katanya, merupakan kamuflase ekspansi land banking dalam balutan energi dan pangan yang memanipulasi mata pemerintah. Daya produksi dan keragaman pangan rakyat, ucap Zenzi, turun dampak deforestasi. Kini, perkebunan tebu dan bisnis padi skala besar akan menjadi faktor baru penyebab deforestasi di Papua, Maluku dan Sumatera Selatan.

Ketiga, poin pengecualian bagi perpanjangan izin pemanfaatan hutan, mengisyaratkan pemerintah tak akan menggunakan masa moratorium sebagai momentum perbaikan tata kelola dan pemulihan fungsi serta daya dukung lingkungan.  “Dayang dukung lingkungan menderita karena beban perizinan yang overload. Ini dapat dipulihkan bila ada review perizinan.”

Keempat, soal instruksi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tak ada pengecualian penundaan izin terhadap hutan buat rakyat. “Secara tak langsung, Inpres ini melawan program Nawacita Presiden yang berkomitmen distribusi hutan 12,7 juta hektar.”  Dengan begitu, dalam usia inpres selama dua tahun ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  sulit menerbitkan izin hutan rakyat di kawasan moratorium.

Kelima, instruksi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang, buat mengkonsolidasi peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) dalam peta tata ruang merupakan logika terbalik moratorium itu sendiri. Saat ini,  katanya, proses perencanaan tata ruang di daerah marak ditungangi pengusaha untuk mengubah kawasan hutan menjadi areal perkebunan dan tambang dengan pengusulan review kawasan hutan.  Sampai Agustus 2014 terjadi pelepasan kawasan hutan hingga 7,8 juta hektar, karena tuntutan penyesuaian ke dalam tata ruang daerah.

Dengan kebijakan yang mengharuskan konsolidasi kawasan moratorium ke tata ruang daerah, ucap Zenzi,  akan menjadi faktor mempercepat proses pengurangan wilayah moratorium. Terlebih, inpres ini masih membuka ruang revisi peta moratorium setiap enam bulan sekali. “Semestinya masa evaluasi enam bulan bukan merevisi peta tetapi penegakan hukum, terhadap skenario atau praktik kejahatan kehutanan oleh korporasi dan unsur pemerintahan yang terlibat dalam legitimasi melalui perizinan.”

Efektivitas tergantung KLHK

Peneliti juga memberikan pandangan. Daniel Murdiyarso dari Center for International Forestry Research (Cifor)  mengatakan, tak ada penguatan, malah kementerian kunci yang dilibatkan dalam inpres baru ini makin sedikit. “Tidak ada Kementerian Pertanian, Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Pekerjaan Umum. Efektivitas sangat tergantung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya, di Jakarta.

Dia mengatakan, inpres ini alat kerja Presiden mengkoordinasikan kementerian dan lembaga, bukan alat buat menindak dan berkekuatan hukum. Untuk itu, katanya, yang harus dipertanyakan, kemampuan KLHK mengkoordinasikan semua ini. “Mampukah KLHK? Bagaimana strategi mereka dalam menghubungkan pelaksanaan inpres dengan UU dan peraturan yang berkekuatan hukum dan mengikat?” ujar dia.

KLHK, ucap Daniel,  harus mampu menghubungkan segala bentuk pelanggaran, baik di kawasan konservasi maupun kawasan produksi serta hutan masyarakat adat dengan hukum positif yang berlaku. “Bukan dengan inpres.  Setelah itu, kawasan-kawasan ini dikukuhkan dan perundangan diperkuat, hingga dua tahun lagi tidak perlu memperpanjang inpres.”

Inpres Moratorium 2015

Inpres Moratorium 2013

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,