,

Buaya Muara di Aceh Singkil Terus Ditangkap Warga. Apa yang Terjadi?

Paska tewasnya seorang warga bernama Yusril, April lalu yang diterkam buaya saat mencari lokan (kerang) di sungai, masyarakat terus menangkap buaya muara yang ada di sekitar muara Sungai Singkil, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

Minggu lalu dua ekor buaya muara raksasa kembali masuk perangkap yang dipasang di sungai. Sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dua buaya tersebut diarak ke kantor bupati setempat, Selasa (19/5/2015).

Dengan ditangkapnya dua buaya ini, dalam dua bulan terakhir, total sudah lima ekor buaya yang ditangkap. Dua diantaranya mati dibunuh sementara seekor lagi berhasil dievakuasi ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh di Banda Aceh.

“Dua buaya betina itu kurus karena seminggu tidak makan,” kata Mansurdin, warga Desa Siti Ambiya yang dihubungi via telepon.

Buaya yang panjangnya hampir tiga meter itu, diikat dengan tali dari muncung hingga kaki, dibawa dengan gerobak oleh ratusan warga dari delapan desa. Mereka marah dengan pemerintah setempat karena dianggap tidak memperdulikan keselamatan warga. “Buaya itu diserahkan karena khawatir akan mati.”

Menurut Mansurdin, warga bertekad perang melawan buaya dan akan terus menjeratnya karena telah menyerang mereka. “Ada dua buaya besar yang menjadi target tangkapan kami karena telah memangsa warga April lalu. Makanya, kami masih memasang jerat dan perangkap di sungai.”

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Genman Suhefti Hasibuan, mengatakan bahwa BKSDA Aceh bersama kepolisian setempat telah membersihkan puluhan jerat dan perangkap buaya yang dipasang masyarakat di sungai Singkil minggu lalu. “Kami juga menyeru warga untuk menghentikan perburuan. Buaya muara (Crocodylus porosus) merupakan satu dari empat jenis buaya yang dilindungi undang-undang di Indonesia karena populasinya yang terus menurun dan menuju kepunahan.”

Genman mengaku sulit mencegah tindakan warga yang emosi. Padahal, pihaknya telah melakukan sosialisasi dan terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk mencari solusi. “Lokasi konflik ini bersisian dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hutan rawa gambut yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi.”

Memang, lanjut Genman, masyarakat Singkil telah menyampaikan permintaan agar BKSDA Aceh merelokasi buaya yang hidup di wilayah masyarakat mencari kerang sebagai sumber penghasilan utama mereka. Namun, kami tidak mungkin memindahkannya karena daerah tersebut memang habitatnya dan juga tidak mudah mencari lokasi baru.

Dua bulan terakhir, lima ekor buaya muara telah ditangkap warga. Foto: Abdul Gofur
Dua bulan terakhir, lima ekor buaya muara telah ditangkap warga. Foto: Abdul Gofur
Buaya muara yang ditangkap BKSDA Aceh tahun 2008. Saat itu, seorang warga (wanita) di Singkil, diterkam buaya saat mencari kerang. Foto: Chik Rini

Habitat buaya 

Kuala Singkil merupakan habitat utama buaya muara di pesisir selatan Ekosistem Leuser. Buaya tersebut mendiami daerah rawa, lokasi utama masyarakat mencari lokan. Sejak 2006, sudah lima warga yang tewas diserang buaya meski ada juga yang bisa menyelamatkan diri. Meski begitu, belum ada solusi dari pemerintah daerah dan BKSDA Aceh guna mengatasi konflik tersebut.

Menurut Mansurdin, sebelumnya buaya tidak ada di Muara Singkil. Mereka mulai terlihat pada 1980-an yang diduga migrasi dari Sungai Gelombang di bagian atas Muara Singkil. “Sekitar 40 persen warga di Kecamatan Singkil yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Singkil itu menggantungkan hidupnya dari mencari lokan dan ikan.”

Mansurdin tidak menampik bila habitat buaya di muara Sungai Singkil terganggu akibat pakannya mulai berkurang sehingga menyerang manusia. Masalah makin lengkap ketika perburuan biawak untuk dibawa ke Pulau Nias, Sumatera Utara, meningkat. “Dulu biawak yang mengontrol populasi buaya di muara singkil, karena telur buaya dimakan oleh biawak.”

Hal lainnya adalah sebelum terjadi gempa di Singkil pada 2006, warga masih tinggal di sekitaran muara sungai dan sering membuang bangkai ayam. Namun, setelah kejadian tersebut warga pindah karena kampungnya tenggelam akibat turunnya permukaan daratan.

“Masyarakat menawarkan solusi agar dibuat penangkaran sehingga mereka dapat memperoleh manfaat. Namun, hingga kini belum ada jalan keluarnya,” ujar Mansurdin yang dulunya pencari lokan dan kini telah menjadi pegawai negeri sipil di Aceh Singkil.

Potret kehidupan masyarakat di sekitar Kuala Singkil yang rawan dengan gangguan buaya muara. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,