,

Jalan Nasional yang Memenggal Taman Nasional

*Ardiantiono, Sumatra Database Assistant, Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS – IP). Tulisan ini merupakan opini penulis.

Tanggal 22 Mei, kita memperingati sebagai Hari Keanekaragaman Hayati (Hari Kehati) Dunia, pengingat bahwa kita, manusia, tidak hidup sendiri di bumi ini.

Mengambil tema “Pembangunan Berkelanjutan” Hari Kehati 2015 ini merefleksikan upaya-upaya yang telah dilakukan dunia, termasuk Indonesia dalam melakukan pembangunan tanpa mengorbankan alam beserta isinya. Namun, pekerjaan rumah ini masih menumpuk dikarenakan keanekaragaman hayati Indonesia masih terus terancam, salah satunya disebabkan pembangunan jalan.

Pembangunan jalan tidak selalu berdampak positif, terutama ketika berada di dalam kawasan konservasi seperti taman nasional. Perlindungan keanekaragaman hayati yang merupakan prioritas utama di taman nasional, nyatanya seringkali “tenggelam” oleh kepentingan ekonomi yang menjadi justifikasi pembangunan jalan. Sebagaimana keberadaan jalan nasional yang memenggal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Kawasan TNBBS yang terletak di Provinsi Lampung dan Bengkulu merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dan salah satu ekosistem hutan hujan tropis alami yang masih tersisa di Sumatera. TNBBS adalah rumah bagi satwa langka dan karismatik seperti harimau, gajah, dan badak sumatera yang terancam punah. Keberadaan TNBBS juga sangat penting bagi masyarakat karena berjasa sebagai daerah tangkapan dan penyimpan air untuk empat kabupaten di dua provinsi tersebut.

Saat ini, di TNBBS terbentang tiga jalan nasional yang memotong kawasan tersebut menjadi fragmen-fragmen hutan. Dua jalan nasional yakni Sanggi-Bengkunat di bagian selatan dan Krui-Liwa di bagian tengah-utara TNBBS mengapit area tengah kawasan yang merupakan habitat penting bagi badak, harimau, dan gajah ini.
Pantauan yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP) di ruas jalan Sanggi-Bengkunat dan Krui-Liwa mencatat, sekitar 1.600 kendaraan melintasi jalan tersebut setiap hari. Dampak negatifnya langsung dirasakan oleh satwa terutama badak.

Bila periode 1999–2005 area Sukaraja yang dilintasi jalan Sanggi-Bengkunat masih ditemukan tanda keberadaan badak dengan intensitas tinggi, setelah diaspal dan sering digunakan tahun 2010 tanda badak sumatera ini tidak lagi ditemukan. Lalu lintas padat dan kendaraan yang melaju tinggi juga menyebabkan kematian satwa yang menyeberang jalan. Satwa seperti bajing, ular hingga landak dan biawak ditemukan mati tertabrak oleh kendaraan di jalan Sanggi-Bengkunat.

Dampak jalan terhadap satwa di TNBBS akan semakin besar dengan adanya rencana Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk memperlebar ruas ketiga jalan tersebut. Dari 8 meter menjadi 15 meter, sesuai lebar standar jalan nasional. Jika direalisasikan, pembangunan jalan tersebut jelas akan memenggal pergerakan satwa, terutama satwa sensitif seperti badak. Kehilangan tutupan hutan seluas 283.500 m2 yang setara dengan luas 40 lapangan sepak bola menjadi harga tak ternilai yang harus dibayar untuk memperlebar ketiga jalan tersebut.

Kajian awal pembangunan jalan Sanggi-Bengkunat dan Krui-Liwa sebenarnya menghasilkan ketentuan yakni jalan dibangun selebar 8 m dengan aspal kasar dan dipasang rambu lintasan satwa. Namun kenyataannya, jalan justru dibangun dengan aspal halus dan lebar rata-rata 10 m, minus rambu peringatan area perlintasan satwa.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, akankah terjaga kelestariannya? Sumber: Wikipedia

Sebelum rencana pembangunan dan pelebaran jalan benar-benar dilaksanakan, sepatutnya ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Pertama, sebelum jalan dibangun, pastikan dahulu apakah manfaat ekonomi langsung dari jalan itu melebihi manfaat ekonomi dalam bentuk jasa lingkungan yang akan hilang bila kerusakan lingkungan terjadi.

Sebagai contoh, Jalan Krui-Liwa memang meningkatkan arus perdagangan antara kedua wilayah. Akan tetapi, pembangunan jalan tersebut telah menghilangkan hutan di sekitar jalan. Tanpa hutan yang menjaga stabilitas tanah ditambah dengan kondisi lereng yang curam menyebabkan sering terjadinya bencana longsor di Jalan Krui-Liwa.

Bayangkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan pemerintah hanya untuk memperbaiki jalan yang rusak akibat longsor. Lalu, hilangnya tutupan hutan juga akan mengurangi daerah resapan air yang berujung pada menurunnya kualitas cadangan air bersih bagi ribuan masyarakat di sekitar kawasan. Jelas, ini bukanlah contoh pembangunan yang berkelanjutan. Bandingkan dengan solusi alternatif seperti jalan dibangun memutari kawasan konservasi, misalnya.

Kedua, harus ada perlakuan khusus bagi jalan di kawasan mengingat fungsi utama taman nasional adalah untuk penyelamatan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. Pembuatan pos pengecekan di jalan untuk menghindari perburuan satwa dan perambahan; pembatasan jumlah dan kecepatan kendaraan melalui sistem kuota dan penambahan polisi tidur; pemasangan rambu-rambu peringatan bahwa pengguna jalan berada di area satwa, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dan yang terpenting, pembangunan koridor bagi satwa atau kerap dikenal dengan nama “infrastruktur hijau” adalah wajib hukumnya.

Jalan nasional yang memenggal taman nasional adalah bentuk pengingkaran pemerintah terhadap amanat undang-undang. Sementara, rencana pelebaran jalan di TNBBS adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap komitmennya sendiri.

Pemerintah memang bertanggung jawab meningkatkan perekonomian masyarakat. Akan tetapi, pemerintah juga berkewajiban melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati yang menjadi pendukung sistem kehidupan dan modal pembangunan berkelanjutan. Sebagai bentuk komitmen Indonesia kepada masyarakat dunia.

Jadi, sudah saatnya komitmen ini dilaksanakan!

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,