,

Siswa-siswa Ini Belajar Konservasi di Tangkoko, Seperti Apa?

Ratusan siswa berkumpul di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Jumat (22/5/15). Setelah setahun belajar-mengajar, mereka mengikuti final event Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) periode 2014-2015. Sejumlah fasilitas hiburan disediakan panitia. Terpenting, para siswa diperkenalkan langsung dengan obyek studi mereka.

Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dan menerima daftar pertanyaan yang harus diisi. Mereka harus menjawab pertanyaan dengan cara mendatangi sejumlah tempat yang ditetapkan panitia.

Uniknya, untuk menjawab pertanyaan mengenai beruang madu, para siswa harus mendekati kandang satwa itu. Juga soal tanaman, burung hingga mangrove. Para siswa sengaja diajak belajar konservasi dengan langsung menyaksikan obyek belajar.

Ada pula sejumlah fasilitas hiburan, semisal ular tangga berukuran besar, flying fox, pameran foto serta live music. Mereka dapat menghibur diri setelah mengikuti kegiatan belajar di sana.

Chyntia Nanta, siswi SDN 48 Manado, gembira mengikuti kegiatan ini. Dia mencoba flying fox. Meski sempat menangis karena gugup, namun Chyntia berhasil menaklukkan ketakutan.  “Enak naik flying fox. Walau awal sedikit takut,” katanya tertawa.

Lewat kegiatan ini, dia bisa belajar soal satwa dan tumbuhan dengan menyaksikan langsung. “Lihat beruang madu, kakatua jambul kuning dan mangrove,  langsung.”

Pendidikan konservasi membuat dia lebih peka lingkungan. Chyntia bahkan berkeinginan terlibat dalam upaya pelestarian alam. “Sedih lihat kalau binatang diburu, apalagi terancam punah. Saya mau bilang ke temen-temen lain, supaya tidak ikut beli binatang dilindungi.”

Dalam belajar ini mereka juga ada beberapa permainan seperti flying fox. Foto: Themmy Doaly
Dalam belajar ini mereka juga ada beberapa permainan seperti flying fox. Foto: Themmy Doaly

Elizabet Mamonto, Guru SDN 48 Manado, yang mendampingi murid menyambut baik kegiatan ini. Dia mengatakan, sekolah mendukung penuh kinerja tim PKT.

Dari proses belajar selama setahun, Elizabet melihat, para siswa mulai mengetahui arti penting menjaga lingkungan. Dia berharap, PKT masih menyertakan mereka dalam pendidikan konservasi. “Mudah-mudahan, ke depan sekolah kami tetap dilibatkan dalam pendidikan konservasi.”

Deity Mekel, Asisten Koordinator PKT, mengatakan, kegiatan ini pertemuan terakhir PKT. Final event ini, mempertemukan seluruh sekolah yang mengikuti kegiatan. Ada 18 sekolah mulai SD, SMP hingga SMK. Sekolah tadi dari Bitung, Airmadidi dan Manado. Ada 471 siswa.

“Di sini, mereka bisa belajar sambil melihat mangrove langsung. Mereka pernah trip satu kali di Cagar Alam Tangkoko, belajar tentang yaki. Di sini, mereka belajar satwa endemik.”

Dalam setahun,  proses belajar konservasi, siswa sudah mempelajari lingkungan, ekosistem, flora-fauna, yaki, trip di Tangkoko, hingga ancaman-ancaman terhadap ekosistem.

Sebagai tolak ukur hasil studi, tim PKT menyiasati dengan membagikan kuesioner awal dan akhir pertemuan. Perubahan yang diharapkan datang juga. Jika awal pertemuan ada yang tidak mengetahui babirusa satwa endemik Sulawesi, kini mereka tahu.

PKT merupakan program pendidikan Macaca Nigra Project (MNP). PKT memiliki slogan, “Belajar dari alam, Berbuat untuk alam”. Awalnya, pendidikan konservasi hanya pada sekolah di sekitar CA Tangkoko. Kini, menjangkau 18 sekolah.

“Dua lokasi terakhir dipilih karena terdapat hutan. Di dekat Airmadidi, ada hutan Gunung Klabat. Di belakang sekolah di Manado, ada hutan Gunung Tumpa,” kata Stephan Miloyski Lentey, Field Station Manager MNP.

“Dari tahun ke tahun, prosesnya menarik. Karena, model belajar berbeda dengan di sekolah.”

Selama setahun belakangan, MNP masih menemukan dan menyaksikan pemasangan jerat, perburuan satwa liar di dekat taman wisata alam Batuputih, yang menjadi ikon Sulawesi Utara. “Pun, di tempat favorit di Sulut masih banyak pemasangan jerat, pembalakan liar skala kecil, serta perburuan satwa liar,” sesal Stephan.

Menurut dia, pendidikan konservasi menjadi pilihan karena permasalahan-permasalahan tadi. Sejak 2009, pihaknya sudah mendatangi sekolah-sekolah dengan harapan bisa mengubah pola pikir masyarakat sekitar CA Tangkoko.

Para siswa juga belajar mengenal tumbuh-tumbuhan. Foto: Themmy Doaly
Para siswa juga belajar mengenal tumbuh-tumbuhan. Foto: Themmy Doaly

“Kalau kita tidak hidup di dunia yang mengalami kerusakan lingkungan, mungkin pendidikan lingkungan tidak diperlukan. Yang harus disadari, kita berada dalam kondisi darurat lingkungan. Sudah lama kemunduran berlangsung dan makin parah. Jadi, pendidikan lingkungan sangat penting dipelajari.”

Penyelamatan yaki

Kampanye penyelamatan satwa terancam punah juga disuarakan Yayasan Selamatkan Yaki. Sepanjang Mei ini, mereka menggelar sosialisasi di SMA dan SMK di Bitung dan Airmadidi. Sebanyak 35 dari 36 sekolah SMA dan SMK sederajat di Bitung dijangkau. Sosialisasi fokus pada siswa kelas XI dengan total partisipan 2.530 siswa.

Yunita Siwi, Education Officer Yayasan Selamatkan Yaki, Senin (18/5/15) mengatakan, tujuan sosialisasi untuk pendidikan lingkungan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang  satwa liar, khusus yaki (Macaca nigra). Juga pemilihan Yaki Ambassador Bitung.

Dalam sosialisasi ini, Yayasan Selamatkan Yaki membagi pengetahuan tentang peran penting yaki terhadap lingkungan dan informasi mengenai keistimewaannya sebagai satwa endemik Sulut. “Kita harus share sebanyak-banyaknya tentang yaki agar lebih banyak tahu,” kata Gilbert Atang, siswa SMA 2 Bitung.

Belajar mangrove di hutan mangrove. Foto: Themmy Doaly
Belajar mangrove di hutan mangrove. Foto: Themmy Doaly
Para siswa main ular tangga. Foto: Themmy Doaly
Para siswa main ular tangga. Foto: Themmy Doaly
Sosialisasi selamatkan yaki di sekolah-sekolah. Foto: Yayasan Selamatkan Yaki
Sosialisasi selamatkan yaki di sekolah-sekolah. Foto: Yayasan Selamatkan Yaki
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,