,

Begini Aksi Nuraeni Lepaskan Nelayan Paotere dari Tengkulak

Masyarakat Kampung Paotere, Kelurahan Patingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan, sebagian besar nelayan tangkap dan buruh pelabuhan. Penghasilan mereka pas-pasan. Kehidupan sangat tergantung kondisi laut. Ketika cuaca buruk, suami tak pergi melaut. Pendapatan keluargapun tak ada. Kondisi ini, kadang berimbas pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kondisi ini menjadi keprihatinan Nuraeni.

Dia ketua RT di sana. Nuraeni banyak menerima laporan kasus KDRT dan pemicu persoalan ekonomi. Sebenarnya, pendapatan para nelayan mencukupi jika terkelola baik.

“Ini masalah manajemen saja. Jam kerja mereka sedikit. Pagi-pagi bekerja, pukul 10-an sudah bisa dapat Rp50.000. Itu dipakai macam-macam yang tak produktif. Malah dipakai minum dan judi,”  katanya ketika saya berkunjung ke rumahnya, belum lama ini.

Penyebab lain, cengkraman tengkulak terhadap nelayan dan buruh pelabuhan. Sebanyak apapun penghasilan akan habis menutupi utang-utang pada tengkulak.

“Kalau mau dipikir Dinas Kelautan dan Perikanan seharusnya punya kuasa besar di pelabuhan. Tetapi mereka seperti tak berdaya di hadapan tegkulak-tengkulak itu.”

Nuraeni juga Ketua Kelompok Usaha dan Koperasi Fatima Az-Zahra, sebuah usaha perempuan nelayan yang membina istri-sitri nelayan dan janda-janda sekitar lingkungan. Mereka memproduksi berbagai produk makanan dari hasil laut, seperti abon tuna, otak-otak, dan bandeng cabut tulang. Kelompok ini sukses dan pasar luas. Berbagai penghargaan nasional diterima.

Lewat Koperasi Fatima Az-Zahrah, tidak hanya memberi pinjaman, Nuraeni juga mengajak istri-istri nelayan meningkatkan kesejahteraan, sekaligus melepaskan ketergantungan pada tengkulak. “Saya selalu katakan kepada mereka agar bisa mandiri dan harus bangkit dari kemiskinan.”

Menurut dia, dengan laut luas seharusnya nelayan Indonesia sejahtera tetapi kenyataan berbeda.“Nelayan Jepang dengan laut sedikit bisa hidup. Nelayan kita identik dengan kemiskinan. Ini karena sistem ini salah. Ini harus diperbaiki.”

Perjuangan Nuraeni terbilang berhasil. Banyak nelayan terlibat dalam koperasi dan unit usaha yang dikelola. Risiko yang dihadapi, adalah permusuhan dari para tengkulak. Tak jarang dia mendapat ancaman.

Nuraeni memulai usaha sejak 2007. Sebelumnya, pada 2006, dia mengikuti pelatihan pembuatan abon ikan dan bandeng cabut tulang dari DKP Makassar. Berbekal sedikit keterampilan inilah dia memulai usaha bermodal Rp1,5 juta.

“Kami awalnya hanya bertiga, lalu kumpul-kumpul uang sampai Rp1,5 juta. Saat itu tak ada mau kasih pinjaman. Sekarang semua lomba-lomba mau kasih pinjaman, justru kami yang membatasi,” katanya.

Dengan modal terbatas ini Nuraeni mulai membuat 35 kg abon ikan. Dengan Rp130.000 perkg, mereka bisa mendapatkan omzet Rp4,5 juta. Keuntungan setiap kali penjualan untuk menambah produksi. Kini, dalam sebulan rata-rata mereka produksi satu ton abon ikan bahkan bisa dua ton pada musim haji.

Untuk mengolah satu ton tuna menjadi abon perlu waktu seminggu. Untuk penggorengan, memerlukan dua hari, yang dilanjutkan pendinginan dan pengemasan. Untuk satu ton tuna menghasilkan 500 kg abon. Penggunaan tuna karena pertimbangan potensi lokal dan kemudahan memperoleh. “Dulu ada gabus namun bahan baku sulit.”

Harga tuna tergantung musim, berkisar Rp45.000-Rp75.000 kg bentuk fillet. Harga tuna tergantung musim, berkisar Rp45.000-Rp75.000 kg bentuk fillet.

Untuk membuat abon ini biasa perlu tenaga 20-25 orang, dengan tugas masing-masing sebagai penggoreng, pendinginan dan pengemasan.

“Mereka digaji sesuai kinerja masing-masing. Bagian penggoreng misal Rp500.000 untuk dua hari pengggorengan. Sebulan mereka menggoreng hingga tiga kali. Begitu juga yang lain, namun penggorengan paling berat. Hasil itu menambah penghasilan keluarga.”

Sukses dengan abon ikan mereka mulai bikin makan olahan lain, yaitu otak-otak tenggiri dan bandeng cabut tulang. Produksi otak-otak harian, sekitar 3,5 kg atau sekitar 90–150 kg per bulan. “Tergantung pesanan dari rumah makan.”

Otak-otak ini memiliki prospek besar karena kepastian pembeli, pelaku usaha masih terbatas. Apalagi, otak-otak telah menjadi produk khas Makassar yang banyak diminati.

Nuraeni melalui Koperasi Fatima Az-Zahra membantu dan mendorong istri-istri nelayan bangkit dari kemiskinan.  Dalam sebulan unit usaha koperasi ini bisa menghasilkan omzet ratusan juta rupiah. Banyak nelayan yang terbantu dari usaha ini.Foto: Wahyu Chandra
Nuraeni melalui Koperasi Fatima Az-Zahra membantu dan mendorong istri-istri nelayan bangkit dari kemiskinan. Dalam sebulan unit usaha koperasi ini bisa menghasilkan omzet ratusan juta rupiah. Banyak nelayan yang terbantu dari usaha ini.Foto: Wahyu Chandra

Produk lain cukup diminati adalah bandeng cabut tulang. Dalam seminggu mereka bisa menjual 1.000 ekor atau sekitar 4.000 ekor per bulan.

Untuk bandeng ini bisa dikerjakan di rumah masing-masing. Caranya, bandeng dibelah lalu semua tulang dicabut satu persatu menggunakan pinset. “Mereka bisa kerja 50-60 ekor per hari. Ikan tetap dari kami. Mereka bisa bekerja di rumah.”

Dari cabut tulang bandeng ini para istri nelayan digaji Rp1.500, per ekor jadi bisa mendapatkan Rp75.000-Rp90.000 per hari. Produk bandeng ini ijual beku Rp20.000 per ekor.

Nuraeni mengatakan, ketika memulai membentuk kelompok pada 2007 mengalami sedikit kesulitan. Dia mengajak nelayan dan buruh pelabuhan tetapi mendapat penentangan, terutama dari tengkulak. Nuraeni ganti strategi. Bukan nelayan yang didekati tetapi istri-istri mereka.

Para istri ini masuk kelompok usaha dan mendapatkan pelatihan keterampilan gratis.

Upaya Nuraeni sempat membuat geram sejumlah tengkulak. Mereka merasa terancam karena sebagian nelayan tidak lagi meminjam uang kepada mereka.

Keterikatan nelayan dengan tengkulak sebenarnya tidak sekadar utang piutang, tetapi terkait relasi kuasa. Dengan nelayan meminjam kepada tengkulak yang berbunga tinggi juga punya kewajiban lain, antara lain harga ditentukan tengkulak. Nelayan hanya bisa menjual kepada mereka.

“Dengan sistem seperti ini bagaimana nelayan bisa sejehtera? Mata rantai ini yang ingin kami hilangkan. Ini penuh tantangan dan ancaman.”

Sejak Fatima Az-Zahra berdiri sebagian besar istri nelayan memilih meminjam ke koperasi dibanding tengkulak. Mereka meminjam hanya untuk usaha-usaha produktif, seperti usaha roti dan makanan lain.

“Tantangan juga banyak datang para suami. Sekarang sudah baik karena istri mereka berpenghasilan. Justru kini banyak senang dan mendukung.”

Dimulai dari hanya belasan anggota, kini koperasi ini memiliki 600 anggota, termasuk kelompok lanjut usia (lansia) sekitar 120 orang yang mendapat perhatian khusus. Para lansia ini sebagian aktif membantu usaha, sebagian lagi hanya penerima manfaat. Pada tanggal 10 setiap bulan mereka berkumpul makan bersama di rumah Nuraeni. Pada waktu-waktu tertentu mereka diajak rekreasi di tempat-tempat wisata.

Tidak hanya meningkatkan kesejahteraan nelayan, Nuraeni juga mendorong nelayan menyekolahkan anak-anak mereka.

“Dulu mereka lebih senang anak ke pelelangan. Banyak buruh anak. Kami banyak sosialisasi dan menyadarkan istri nelayan, bahwa anak tetap harus sekolah. Kalaupun jadi nelayan harus jadi nelayan cerdas.”

Usaha Nuraeni belakangan mendapat perhatian banyak pihak. Pada 2009, Nuraeni terpilih untuk penghargaan SheCan Tupperware. Dia menjadi duta SheCan Tupperware keliling Indonesia berbagi inspirasi.

Pada 2010, kelompok Fatima Az-Zahra terpilih sebagai salah satu pemenang program British Council dan mendapat hadiah Rp100 juta. Setahun kemudian mendapat penghargaan Danamon Award 2011 untuk ‘Pembina Istri Nelayan’. Juga The Most Inspiring Women FEMME.

Kini Nuraeni banyak menghabiskan waktu dengan memberi pelatihan ke kelompok-kelompok usaha lain, termasuk lapas-lapas di Sulsel. Dia banyak mendapat kunjungan dari berbagai daerah di Indonesia.

Sebagian nelayan masih melihat anak-anaknya sebagai tenaga kerja potensial  membantu mereka menjadi buruh di pelabuhan. Kini sebagian besar mereka telah bersekolah melalui berbagai upaya penyadaran Nuraeni dan anggota kelompok Fatima Az-Zahra lain.Foto: Wahyu Chandra
Sebagian nelayan masih melihat anak-anaknya sebagai tenaga kerja potensial membantu mereka menjadi buruh di pelabuhan. Kini sebagian besar mereka telah bersekolah melalui berbagai upaya penyadaran Nuraeni dan anggota kelompok Fatima Az-Zahra lain.Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,