,

Benarkah Masyarakat di Bukit Barisan Adalah Perambah?

Benarkah masyarakat yang hidup bergenerasi di wilayah pegunungan Bukit Barisan di Sumatera bagian Selatan; Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu dan Jambi, merupakan masyarakat perambah hutan? Tuduhan itu banyak yang menentangnya. Namun fakta menunjukkan masyarakat saat ini melakukan perambahan di hutan, dikarenakan hilangnya hukum adat dan hegemoni pembangunan kepada masyarakat yang ada di sekitar hutan.

“Jika perambah, sudah sejak lama hutan di Bukit Barisan ini habis. Mungkin pada saat pemerintahan Kolonial Belanda dulu. Mereka justru menjaga hutan. Kebun yang mereka kelola sebenarnya kebun yang sudah diolah para leluhurnya,” tutur Arsyan Djatoha, tokoh masyarakat Desa Bintuhan, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Menurutnya, hubungan masyarakat dengan alam sejak dulu sangat dekat. Saling menjaga dan memberi. Sebagai contoh, harimau tidak pernah diburu apalagi dibunuh. Bahkan ada larangan secara turun menurun untuk membunuh harimau. “Harimau dihargai dengan penyebutan puyang atau leluhur hutan,” katanya.

Pohon ditebang pun hanya untuk kepentingan pokok. Misalnya untuk membuat rumah. Pohon yang ditebang usianya sudah tua.

“Orang di desa atau di dusun sangat mengerti dan paham, jika sebuah bukit habis pohonnya pasti longsor mengancam. Pengalaman turun-menurun mengajarkan hal ini. Termasuk pula, kalau hutan habis, air yang mengalir ke sungai mengecil atau berkurang,” jelas lelaki berusia 70 tahun yang membuka “area perpustakaan alam” berupa kebun tanaman buah dan pohon langka seluas satu hektar di Desa Bintuhan.

Hal serupa diungkapkan Dr. Yenrizal Tarmizi, pengamat sosial ekonomi dari UIN Raden Fatah Palembang. Dia sangat tidak setuju jika ada yang menyebutkan masyarakat yang hidup di sekitar Bukit Barisan merupakan perambah.

“Mereka punya sejarah, filosofis, dan bahkan kosmologi yang terkait dengan hutan,” jelasnya pada Mongabay Indonesia (28/05). “Mereka bukan datang belakangan. Mereka datang dan hadir, jauh sebelum definisi perambah itu dibuat.”

Longsor atau banjir bandang merupakan pemandangan biasa di wilayah Bukit Barisan. Ini akibat hutan yang terus berkurang. Foto Taufik Wijaya
Longsor atau banjir merupakan pemandangan biasa di wilayah Bukit Barisan. Salah satunya aliran air yang memutus ruas jalan ini. Foto Taufik Wijaya

Mengapa Ada Masyarakat yang Membuka Hutan?

Mengenai fakta adanya masyarakat di Bukit Barisan yang merusak dan membuka hutan, Tarmizi tidak membantahnya. “Penyebabnya merupakan dampak buruk dari modernisasi, industrialisasi, serta dominasi dan hegemoni pembangunan terhadap masyarakat desa itu sendiri,” katanya.

Masyarakat yang dulunya akrab dengan alam, kemudian didera kuatnya modernisasi dan industrialisasi, yang mendorong munculnya generasi-generasi yang memandang hutan dari nilai ekonomis dan materialistis semata, bukan lagi ekologis.

“Ada proses yang memutus hubungan masyarakat dengan hutan, yang sayangnya disadari oleh masyarakat. Ini gejala umum di hampir semua masyarakat lokal. Hal ini diperparah pula oleh kebijakan pemerintah yang melakukan teritorialisasi hutan, dan menciptakan konsep perambah, penebang liar, dan sebagainya. Saya melihatnya ada proses hegemoni terhadap itu semua.”

Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan sependapat. Mengenai fakta adanya masyarakat membuka kebun di wilayah hutan, Jatmiko menjelaskan ada dua faktor penyebabnya.

Pertama, banyak perkebunan yang dibuka di wilayah hutan, sebenarnya bukan milik masyarakat. “Ada kemungkinan milik perorangan yang mana memperkerjakan masyarakat. Mana ada masyarakat yang berani kalau tidak ada backing (pelindung).”

Kedua, keinginan masyarakat membuka lahan di wilayah hutan juga didorong hilangnya lahan-lahan mereka di wilayah yang lebih rendah, misalnya akibat digusur pertambangan dan perkebunan skala besar.

Direktur Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah menyoroti upaya pembiaran para perambah oleh aparat pemerintah. Pembiaran ini dikarenakan dua faktor. Pertama karena ketidakmampuan aparat pemerintah di lapangan. Kedua karena ingin memperoleh keuntungan untuk masuk kantong pribadi. Jika hutan sudah terlanjur rusak, kawasan hutan akan dialihfungsikan sebagai Area Peruntukan Lain (APL) untuk perkebunan atau eksplorasi mineral seperti emas dan batubara.

Kerusakan hutan di sekitar SM Gumay Pasemah, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Foto Taufik Wijaya
Pembukaan lahan di kemiringan di sekitar SM Gumay Pasemah, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Foto Taufik Wijaya

Hidupkan Adat dan Pemberdayaan Ekonomi

Hadi sangat percaya hutan akan terjaga jika hak pengelolaannya diberikan kepada masyarakat, dibandingkan dengan para pelaku usaha. Hanya, karena di dalam masyarakat juga telah tumbuh para “pebisnis hutan”, sebaiknya dihidupkan kembali hukum adat.

“Hukum adat yang ada di masyarakat sekitar hutan pasti memiliki kearifan. Hukum adat ini harus dihidupkan kembali atau beberapa poin mengenai kearifan terhadap hutan dimasukan ke dalam peraturan desa,” jelasnya.

Tarmizi sependapat dengan pernyataan itu. Baginya perlu upaya mendekatkan kembali masyarakat dengan hutan, bukan malah menjauhkannya.

Menguatkan lembaga lokal adalah kuncinya, namun lembaga adat harus tetap dinamis sesuai dengan dasar kebutuhan dan persoalan yang dihadapi saat ini.

“Saya yakin masyarakat paham dengan bencana, mereka punya kearifan tersendiri. Dasar tradisi sangat jelas pada masyarakat di sekitar Bukit Barisan. Bisa dilihat dari pranata lokal yang mereka ciptakan. Tunggu tubang dan Meraje di Semende adalah salah satu contohnya. Melalui tunggu tubang, tanah Semende tetap  terjaga dan tidak punya kepemilikan individu. Hutan dikelola dengan mekanisme bersama,” jelas Tarmizi. Namun demikian, saat ini perlu dukungan pemerintah untuk mengembalikan paradigma ekologis antara masyarakat dengan hutannya.

Menambahkan, bagi Beni saat ini diperlukan upaya untuk memberdayakan ekonomi masyarakat agar pendapatan masyarakat meningkat. Tidak saja orientasi peningkatan produksi namun pada kualitas dan pengemasan.

Misalnya kopi yang merupakan tanaman utama masyarakat Bukit Barisan. “Kopi yang diproduksi bukan lagi dalam bentuk biji atau bubuk. Tapi sudah dikemas, sehingga dapat dijual secara regional maupun internasional,” ujarnya.

Kopi yang diproduksi masyarakat pun harus memiliki brand positioning di mata konsumen yang semakin paham nilai lingkungan. Jika saat ini kopi non organik harganya semakin menurun, maka hasil pertanian organik akan meningkatkan harga jual bagi konsumen yang semakin sadar kesehatan. Proses produksi kopi pun harus dicari inovasi teknologinya sehingga dapat mengurangi dan membuat produksi kopi tidak sepenuhnya tergantung lagi pada kebutuhan kayu bakar dari hutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,