,

Pemerintah Merauke Setengah Hati Akui Masyarakat Adat. Benarkah?

Masyarakat adat tampak belum mendapatkan pengakuan penuh dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Salah satu terlihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah Merauke, belum memasukkan wilayah-wilayah adat. Masyarakat adat Malind Anim mendiami 20 Distrik 160 Kampung dan delapan kelurahan dengan luas kabupaten 45.071 kilometer persegi tetapi tak ada dalam RTRW. Baru, tempat-tempat adat sakral yang masuk RTRW.

Max Tokede, Dosen Universitas Negeri Papua di Merauke mengatakan, hutan adat di Papua harus dipertahankan. Terlebih, pemerintah menganggap semua hutan termasuk di wilayah adat punya negara. Dengan begitu, pemerintah bisa memberikan izin-izin kepada pihak lain buat mengelola atau menebang hutan adat itu.

“Ini artinya masyarakat adat belum terakomodir. Pemerintah harusnya melibatkan masyarakat adat harus dalam menentukan RTRW.”

Bagi orang Marind, batas-batas daerah sudah ada sejak zaman leluhur. Mereka menandai dengan beragam cara, seperti dengan kali atau sungai, wambad atau bedeng-bedeng, pohon besar dan lain-lain.

WWF Merauke sejak 2007,  telah memetakan tempat sejarah leluhur orang Marind yang dianggap sakral, seperti perjalanan dalam bahasa Malind dema kay dan persinggahan leluhur (demadap mir). Tempat mitologi (dema say), kuburan leluhur (amayen sai), tempat ritual (pungga Sai). Ataukah makna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti Dusun Sagu (Dah Nanggaz), sumber air (awamdka), hutan berburu (aweawe say) dan tempat pelestarian adat (pungga).

Sesuai Perda RTRW No 14 Tahun 2011, peta ini dibuat bersama masyarakat adat. Perda Tata Ruang ini unik karena mengadopsi tempat-tempat  masyarakat Adat Marind.

Paschalina Rahawarin, Southern Papua Leader Manager WWF Region Papua Kantor Merauke menyebutkan,  dengan tempat penting masyarakat adat masuk RTRW supaya dilindungi hukum positif.

Namun, di lapangan pemusnahan tempat-tempat penting adat masih terjadi. Dia mencontohkan, penebangan hutan PT Selaras Inti Semesta milik Medco Papua Lestari di Kampung Senegi yang menghabiskan hutan sagu dan sumber air kering.

WWF memantau dan melaporkan ke Dinas Kehutanan. Perusahaan mendapat teguran. Mereka bertekad menanam kembali di dusun ini. “Implematasi sampai dimana, kita belum tahu. Sebenarnya, sudah masuk ke perda, masyarakat termasuk instansi terkait harus mengawasi.”

Albertus Onoka Gebze, Wakil Ketua Lembaga Adat Malind Anim mengatakan, hutan dan tempat leluhur orang Marind sudah ada sejak dulu. Jadi, siapapun tak boleh mengeluarkan izin tanpa persetujuan masyarakat adat. “Kalau seorang pejabat berani memberikan izin otomatis didenda. Pejabat itu harus dihukum. Kalau orang asli menjual pasti orang mengenal marga, tanah siapa. Jadi dua hal ini melekat,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,