,

Petani Sawit Pelindung Hutan Danau Naga Sakti

Sebuah pohon sawit berusia sekitar enam tahun tampak tak terawat di pinggir Danau Naga Sakti, Kecamatan Pusako, Siak, Riau. Rumput liar dan ilalang setinggi satu meter telah membalut batangnya yang tak terawat. Pohon akasia liar tumbang tepat di sampingnya menutupi jalan setapak menuju danau.

Sementara itu puluhan burung tampak melayang-layang di permukaan air yang tenang. Sesekali menukik menyambar serangga air yang ada di permukaan danau sehingga membentuk riak kecil. Matahari belum naik sempurna. Langit timur masih memerah lalu lambat laun menguning setengah jam kemudian. Segarnya udara hutan pagi itu begitu terasa.

“Inilah hutan di sekitar danau yang ingin kami lindungi. Pohon sawit itu dulunya ditanam warga. Tapi setelah ada perdes (peraturan desa) untuk melindungi sisa hutan di desa, pohon sawit ini dibiarkan saja begitu,” ujar Dahlan (53), warga Desa Dosan, Kecamatan Pusako, Siak, Riau kepada Mongabay pada pertengahan April 2015.

Dahlan bisa dikatakan sebagai salah satu sosok yang turut melahirkan kebijakan perlindungan hutan di desa itu.

Namun jauh sebelum mendorong terbitnya perdes, dulunya Dahlan justru bekerja sebagai pembalak liar. Dia membalak kayu Bentangur, Balam dan lainnya yang bernilai jual tinggi di Sungai Mandau, Kabupaten Bengkalis. Dia bersama rombongan  biasanya berdelapan orang menebang tiga pohon sehari berdiameter lebih dari 30 sentimeter. Satu bulan 20 meter kubik kayu.

“Itu pekerjaan yang pernah saya sesali. Karenanya sudah dapat modal dikit-dikit lalu saya ke (Desa) Lubuk Dalam (untuk) daftar sisipan transmigrasi tahun 1988-1995. Lalu balik ke Dosan untuk bangun desa,” kata Dahlan mengenang perjalanan hidupnya.

Saat di transmigrasi Dahlan banyak belajar bagaimana bercocok tanam terutama perkebunan sawit dan karet. Ia sangat antusias karena bercocok tanam tidaklah ada dalam kehidupan masyarakat di Desa Dosan. Mata pencaharian utama warganya adalah nelayan.

“Di (program) transmigrasi, saya dapat lahan dua hektar. Terpikirkan oleh saya, masa lahan yang jelek seperti ini saya pertahankan. Sementara di belakang rumah di kampung saya yang belukar saya tinggalkan, padahal masih lebih bagus. Tahun 2000 saya coba mengusulkan ke pemerintahan desa karena saya sudah melihat contoh kesejahteraan dari Lubuk Dalam memang sejahtera mereka,” kenang Dahlan.

Usahanya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperkenalkan sawit mendapat reaksi beragam. Umumnya ditertawakan orang karena jika pun ada pemanenan akan percuma tidak bisa dijual, karena belum ada akses jalan darat kecuali lewat Sungai Siak.

Namun demikian dia terus berusaha melobi pemerintah agar mau membangun kebun sawit. Program itu pun akhirnya disetujui dengan pembangunan jalan akses sebagai tahap awalnya. Tapi hambatan yang dihadapi Dahlan semakin besar. Tidak ada masyarakat yang mau menyerahkan tanahnya untuk pembangunan jalan desa.

“Di situlah saya merasa sedih. Waktu itu saya diancam senjata tajam jangan sampai jalan itu menyentuh tanah warga yang menolak. Pada tahun 2002 sosialisasi program sawit di seluruh desa banyak yang menolak. Ada sekitar 32 KK tidak setuju karena belum paham sawit,” tambah Dahlan.

Kini, setelah berjuang beberapa tahun untuk meyakinkan masyarakatnya, manfaat dari program sawit itu pun sudah dirasakan bukan hanya seorang Dahlan, tapi hampir seluruh warga Dosan telah menikmatinya. Dahlan sendiri kemudian membentuk KUD (Koperasi Unit Desa) Bungo Tanjung bersama tiga ratusan petani sawit mandiri lainnya.

Program sawit pemda ini sendiri dibangun pada kurun waktu 2003-2004 dengan total kebunnya mencapai 3.500 hektar untuk tujuh desa. Desa Dosan mendapat jatah 723 hektar. Hampir semua lahan itu dulunya hutan.

Aktivitas petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia, Sabtu (16/04/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar Danau Naga Sakti dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami
Aktivitas petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia, Sabtu (16/04/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar Danau Naga Sakti dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami

Firdaus, Kepala Desa Dosan mengatakan bahwa program sawit pemda itu adalah titik balik kemajuan desanya. Satu dekade lalu masyarakatnya sangatlah miskin. Dalam laporan pemerintah, Dosan termasuk kategori desa tertinggal atau IDT (Inpres Desa Tertinggal). Ini dibuktikan hampir semua penduduknya berstatus sebagai penerima zakat.

“Tapi itu dulu. Sekarang boleh ditanya ke masyarakat, Alhamdulillah sudah sebagai pemberi zakat malahan,” katanya.

Pembangunan Desa Dosan memang cukup pesat terutama lima tahun terakhir ketika sawit sudah berumur lima tahun dan sudah mulai menghasilkan banyak buah. Jembatan kayu ringkih yang menghubungi Dosan dengan desa tetangga sudah disulap menjadi rangka beton dan aspal. Jalanan kerikil dan berlubang pun diubah menjadi aspal. Bahkan pada April lalu, sebuah pasar kabupaten yang akan melipatgandakan perputaran uang di desa tersebut baru saja diresmikan operasinya.

Peningkatan kesejahteraan kehidupan juga terlihat dari sektor pendidikan. “Dulu ekonominya rendah. Kalau lagi musim hujan, kebun karetnya tak menghasilkan. Untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sangat kecil sekali kemungkinannya. Kini setelah sawit pemda menghasilkan, hampir semua aspek itu mengalami peningkatan. Ekonomi, pola pikirnya juga. Kalau dulu anak tamat SD, SMP sudah (dirasa cukup) kini sekarang sudah mulai banyak yang sarjana,” kata Efendi seorang guru di SMA Negeri 1 Pusako Desa Dosan, April lalu.

Meski manisnya sawit telah dirasakan masyarakat, cuaca panas mulai melanda desa. Rindangnya hutan yang membawa kesejukkan tak lagi dirasakan. Ekspansi dan konversi lahan dan hutan di desa menjadi kebun sawit semakin menjadi-jadi. Hal itu diakui Firdaus,  Kepala Desa Dosan.

“Awalnya kami tidak terlalu sadar dampak ekspansi sawit. Tapi lama-lama kenapa terasa panas. Beda dengan sepuluh tahun lalu. Kalau lagi musim kemarau, selalu terjadi kebakaran hutan dan kabut asap telah mengganggu kami,” kata Firdaus.

Kesadaran itu yang membuat pemerintahannya bersama ratusan petani sawit KUD Bungo Tanjung pun membuat perjanjian untuk melindungi sisa hutan seluas sekitar 400 hektar di sekitar Danau Naga Sakti. Komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Desa No. VI/Perdes/VII/2011 tentang perlindungan hutan. Dalam peraturan itu juga tertulis bahwa masyarakat tidak akan lagi memperluas kebun sawit di kawasan yang berhutan.

Komitmen perlindungan hutan dari petani sawit mandiri Desa Dosan tidaklah datang dengan sendirinya. Ada banyak pihak yang mendorong terbitnya perdes dari dalam maupun pihak luar termasuk LSM seperti Perkumpulang Elang dan Greenpeace. Meski demikian keinginan kuat untuk perlindungan hutan itu datang dari masyarakat sendiri.

“Bagi kami terjaganya hutan di sekitar danau itu sangat penting. Itu sumber air utama yang menjaga lahan (kebun) agar tidak kering pas kemarau. Selain itu untuk menahan pemanasan global seperti kata orang-orang itu,” ujar Firdaus.

Desa Dosan terletak di sebelah timur Riau sekitar 3 jam perjalanan darat dari Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Desa ini berada di lingkar luar hamparan gambut kaya karbon Semenanjung Kampar. Hamparan gambut merupakan lansekap utuh yang di dalamnya terdapat kekayaan hayati penting dan juga tempat di mana puluhan ribu masyarakat hidup bergantung pada kelestariannya.

Luas semenanjung Kampar sendiri sekitar 700 ribu hektar yang terbentang di dua kabupaten yakni Siak dan Pelalawan. Keanekaragamannya sangat tinggi yang juga menunjukkan hutan ini tempat penting bagi satwa dilindungi seperti harimau sumatra. Survei cepat yang pernah dilakukan LSM WWF menyimpulkan bawah rata-rata foto harimau yang diperoleh dari kamera perangkap di Semenanjung Kampar ini merupakan yang tertinggi dibandingkan studi-studi lainnya yang pernah dipublikasikan di Indonesia.

Masih menurut WWF, pada tahun 2002, kondisi hutan di lansekap ini cukup bagus karena hampir seluruh kawasan dirimbuni pepohonan tua. Namun lima tahun berikutnya pada 2007 hanya tinggal 400 ribu hektar. Sekitar 300 ribu hektar lainnya telah dibagi oleh pemerintah yang memberikan izin ke dua perusahaan kayu kertas, yaitu Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) untuk mengubah hutan rindang menjadi kebun akasia. Selain itu juga terdapat konsesi perkebunan sawit namun jumlahnya sedikit.

Ekosistem unik gambut yang telah dihancurkan menyebabkan kerusakan di bagian lain hamparan itu. Menurut Susanto Kurniawan, Direktur Perkumpulan Elang, LSM yang berbasis di Riau mengatakan bagian hutan yang tersisa di Semenanjung Kampar terus mendapat tekanan oleh ekspansi kelapa sawit baik oleh perusahaan maupun masyarakat sejak beberapa tahun lalu. Karenanya penyelamatannya harus dimulai dengan mengamankan kawasan hutan yang tersisa.

“Komitmen perlindungan hutan seperti di Desa Dosan menjadi sangat penting perannya bagi lansekap Semenanjung Kampar. Apalagi sekarang ini sudah ada niat dari Pemerintah Kabupaten Siak untuk mereplikasi model ini di desa lainnya,” kata Susanto, pada Rabu (07/05/2015).

Menurut dia, petani mandiri Dosan bukan saja berhasil berkomitmen tapi juga telah menerapkan sejumlah praktik pengelolaan lahan yang baik dan ramah lingkungan. Ini terlihat dari upaya masyarakat yang menyekat kanal-kanal di kebun mereka agar tidak kering pada masa kemarau dan untuk menjaga ketinggian air gambut.

Kini inisiatif perlindungan hutan dari para petani Dosan telah diakui oleh asosiasi kelapa sawit berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) dengan memberikan keanggotaan bagi KUD Bungo Tanjung pada Maret 2015.

Desi Kusumadewi, jurubicara RSPO Indonesia mengatakan, RSPO melihat bahwa KUD Bungo Pusako telah menunjukkan komitmen untuk produksi sawit berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka dan perlindungan lingkungan melalui pelestarian hutan.

“Dengan menjadi bagian dari organisasi, mereka bisa meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam praktik bertani, dan memiliki akses yang lebih baik ke pasar, bantuan pendanaan, fasilitas produksi dan bahan-bahan untuk mengembangkan perkebunan mereka, termasuk posisi tawar yang lebih baik dalam memasarkan tandan buah segarnya,” tulis Desi menjelaskan lewat surat elektronik kepada Mongabay.

Dahlan (53), petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia berdiri di tepi Danau Naga Sakti dekat desanya, Sabtu (16/4/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar danau dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami
Dahlan (53), petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia berdiri di tepi Danau Naga Sakti dekat desanya, Sabtu (16/4/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar danau dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami

Dahlan, dan sejumlah petani memang berharap dengan bergabungnya mereka dalam RSPO akan membawa dampak nyata dalam penentuan harga yang saat ini dikuasai oleh para tengkulak atau agen.

Dahlan mengakui bahwa keanggotaan RSPO yang telah diterima petani adalah kemajuan kecil. Ada banyak tahapan lagi yang harus dilaluinya beserta petani Dosan untuk memperoleh sertifikat kebun keberlanjutan.

“Tantangannya adalah persatuan kelompok petani dan manajemen koperasi. Sejauh ini praktik pengelolaan yang baik yang dilakukan petani sudah mengundang sejumlah perusahaan produsen. Tapi ya baru sekadar melihat-lihat. Kita berharapa kalau sudah dapat sertifikat, kita sendiri yang menentukan ke mana kita akan jual buah ini dengan harga yang kita tetapkan sendiri,” ujarnya.

Meski perjalanan memperoleh sertifikasi masih panjang, bagi Dahlan, komitmen petani dan masyarakatnya untuk melindungi hutan di sekitar Danau Naga Sakti adalah sebuah pencapaian yang cukup besar.

“Kami tidak mau kalau nanti ditanya anak cucu mana hutan sementara kami habiskan semuanya sekarang apakah itu untuk meningkatkan ekonomi atau kesejahteraan. Uang pasti akan habis. Tapi ini (hutan) titipan dari mereka,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,