, , ,

APRIL Bikin (Lagi) Komitmen Hutan Berkelanjutan, Seperti Apa?

Produsen raksasa pulp dan paper, APRIL, Rabu (3/6/15) menyatakan komitmen sesi kedua, untuk menghilangkan deforestasi dalam rantai pasokan mereka dan menghargai hak-hak masyarakat. Komitmen serupa juga dilakukan induk perusahaan, Royal Golden Eagle (RGE) hingga berlaku bagi perusahaan pulp dan kertas dalam grup ini. Berbagai kalangan merespon positif langkah APRIL dan RGE, meskipun semua masih menanti implementasi di lapangan.

Pada Januari 2014, APRIL mengumumkan kebijakan manajemen hutan berkelanjutan dengan komitmen menyetop mengambil serat kayu dari hutan alam dalam 2020. Setelah itu, APRIL dan para pemasok masih banyak dilaporkan menebang di hutan alam dan berkonflik dengan masyarakat lokal. Kini, mereka membuat komitmen lagi.

Lewat kebijakan hutan berkelanjutan (sustainable forest management policy (SFMP) 2.0 ini, APRIL menyatakan, antara lain, sejak 15 Mei 2015 menghentikan penebangan pohon di hutan alam. Kayu alam yang dipanen sebelum 15 Mei 2015 digunakan dalam pabrik  sampai sebelum akhir Desember 2015. Mereka juga berkomitmen konservasi 1:1 pada hutan tanaman, dan tak akan pengembangan baru di lahan gambut atau hutan gambut.

Lalu, APRIL tak akan membangun pabrik bubur kertas atau unit produksi bubur kertas baru hingga mencapai kemandirian pemenuhan bahan baku dari HTI. Mulai 3 Juni 2015, mereka juga tak akan mengakuisi lahan baru atau meminta surat izin kementerian lain atau menerima kayu dari pihak ketiga di mana penjual diketahui membuka lahan dari high conservation value (HCV) dan high carbon stock (HCS) atau lahan gambut.

Praveen Singhavi, Presiden APRIL Group mengatakan, SFMP 2.0 ini merupakan kelanjutkan komitmen serupa yang dibuat pada Januari 2014. Komitmen ini, katanya, untuk menekan deforestasi dari rantai pemasok, sampai menambah pengukuran tak hanya HCV juga HCS.

“Hari ini, kami memperkuat komitmen berkelanjutan kami. Memastikan apapun pengembangan ke depan hanya di bukan lahan hutan,” katanya dalam launcing komitmen SFMP di Jakarta, Rabu (3/6/15).

Dengan komitmen ini, APRIL melakukan konservasi dengan pendekatan bentang alam. Perusahaan, katanya, akan meyediakan lahan konservasi seluas 480 ribu hektar dari hutan tanaman mereka. Sekitar 70% sudah selesai dikonservasi. Selain itu, perusahaan juga akan memperkuat pengelolaan lahan gambut dengan membangun satuan kerja ahli gambut. Mereka, kata Singhavi, akan mengamati dan melaporkan pelaksanaan di lapangan.

“Kami juga mengembangkan program mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menerapkan Free Prior, Informed Concent, kala membuka usaha. Kami akan aktif mendukung masyarakat lokal,” ujar dia.

Mereka, katanya, juga akan memperkuat kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, seperti WWF, Greenpeace, RAN, Forest People Programme (FPP), Greenomics dan lain-lain. “Kami akan mengambil masukan-masukan dari organisasi masyarakat sipil dan ahli mereka buat perbaikan kebijakan. Ini proses akan transparan penuh.”

Toni Wenas MD, APRIL Group Indonesia Operations, mengatakan, komitmen yang diumumkan ini, katanya,  pada dasarnya masa depan sektor kehutanan. “Bagaimana menyeimbangkan konservasi dan tanaman dan operasi bagi kepentingan masyarakat, negara dan perusahaan.”

Dia mengakui, dengan komitmen ini berkonsekuensi pada produksi perusahaan akan menurun, tetapi mereka melihat kepentingan masa depan. “Ya, dengan komitmen ini, ada moratorium lahan, otomatis turun. Tetapi itu tak masalah,” katanya. Dengan alasan strategi bisnis, Toni enggan menyebutkan perkiraan penurunan produksi dampak komitmen ini. Namun, katanya, penurunan bersifat sementara sampai kebun-kebun tanaman yang masih kecil siap produksi.

Toni mengatakan, korporasi harus mendengar keinginan pembeli agar produk lebih baik, premium dan kelola berkelanjutan. “Kami ekspor ke 75 negara dan akan berkembang ke 85 negara. Kami optimis pembeli yakin dengan yang kami lakukan.”

Dalam komitmen APRIL menyebutkan, kala lahan sedang penilaian HCV, HCS, perusahaan akan memoratorium lahan tetapi tidak pada konsesi-konsesi yang berkonflik dengan masyarakat. Meskipun, kata Toni, mereka menyadari, penyelesaian di lahan yang sudah berkonflik bukan masalah mudah. “Kami akan terus bahas bersama, melihatkan berbagai pihak di tingkat lokal untuk mencari bagaimana penyelesaiannya.”

Truk-truk yang diduga mengangkut kayu alam untuk PT RAPP di sektor Ukui, Tesso Nilo, Riau. Foto : Eyes on the Forest

Ida Bagus Putera, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hadir kala itu mengatakan, keberlanjutan pasokan bahan baku efesien sangat menentukan keberlangsungan industri. Namun, katanya, hutan tak hanya bahan baku, ia berfungsi ganda, baik ekonomi, sosial, lingkungan bahkan politis.  “Jadi prinsip paling dasar dalam pengelolaan hutan harus memelihara keseimbangan. Industri pulp yang ingin bangun harus bertanggung jawab lingkungan dan sosial,” katanya.

Kedua prinsip ini, ucap Ida Bagus, tegas disebutkan dalam strategi pembangunan lima tahun ke depan. “Bahwa, aktivitas pembangunan tak boleh ganggu keseimbangan ekosistem dan ganggu lingkungan. Strategi pembangunan, tegaskan produktivitas jangan ciptakan ketimpangan makin lebar.”

Jadi, katanya,  salah satu implementasi menuju ke sana, dengan upaya-upaya ‘hijau.’ “Industri green apabila sumber green, proses green, energi green dan penanganan limbah green. Bahan baku green yang dari hutan tanaman, hutan yang memang ditanam bukan dari hutan alam.”

Menurut dia, pemerintah menyambut baik komitmen APRIL menjadi perusahaan yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Namun, dia menegaskan, komitmen ini harus berjalan di lapangan agar tak  hanya menjadi kegiatan lipstik yang tak bermakna.

Joe Lawson, Ketua Stakeholders Advisory Group (SAC) mengatakan, komitmen ini merupakan kemajuan penting. Namun, yang menjadi tantangan ke depan, memastikan kebijakan ini benar-benar serius dan berjalan di lapangan. WWF dan Greenpeace, masuk dalam tim SAC ini.

Aditya Bayunanda, Koordinator Jaringan Hutan WWF Indonesia, menyatakan serupa. Dia menyambut baik langkah baru APRIL tetapi mengingatkan, implementasi akan penuh tantangan. WWF, katanya, akan terus memonitor komitmen ini.

“Bagian paling sulit implementasi. Orang bisa bikin komitmen,  itu cuma kata-kata, tetapi terpenting bagaimana menjalankan itu di lapangan.”

Dalam keterangan tertulis WWF,  Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, penguatan SFMP APRIL merupakan tanggapan atas tuntutan menghentikan deforestasi yang disuarakan kelompok masyarakat sipil sejak lama.  “WWF berharap APRIL dapat mengimplementasikan komitmen ini menyeluruh mengingat potensi dampak positif bagi lingkungan hidup dan sosial,” katanya.

Sebagai bagian SAC, WWF akan bekerjasama dengan anggota lain yang terdiri dari para pakar dan kelompok masyarakat sipil, mendukung dan memberi masukan kepada APRIL untuk memenuhi komitmen dan menjalani transisi menjadi produsen lebih bertanggung jawab.

WWF juga mendorong APRIL menambah perwakilan kelompok masyarakat sipil di dalam keanggotaan SAC dan melakukan kajian independen terhadap kemajuan  implementasi SFMP 2.0. WWF meminta APRIL agar selalu memberikan respon dan tindak lanjut atas semua rekomendasi dan masukan SAC serta pemangku kepentingan kunci lain secara jelas dan transparan.

Meskipun begitu, WWF masih menanggapi hati-hati implementasi penuh dan ketat dari komitmen APRIL ini. “WWF akan terus memantau  kemajuan implementasi SFMP 2.0 bersama pemangku kepentingan lain seperti dengan koalisi LSM, Eyes on the Forest,” kata Efransjah.

Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace di Indonesia, juga hadir kala itu mengapresiasi langkah APRIL.  Terlebih, katanya, komitmen itu tak hanya APRIL juga induk perusahaan, RGE.

RGE mengumumkan kebijakan serupa akan dijalankan oleh semua perusahaan pulp and paper dalam grup mereka. “Kami senang melihat komitmen APRIL, tetapi kami akan mengawasi dari dekat bahwa ini akan berjalan di lapangan,” kata Bustar.

Dia mengingatkan, pentingnya memperhatikan isu-isu sosial di Indonesia. “Mengakui masyarakat adat atau lokal itu sangat penting. Organisasi kami menyambut baik. Kami menanti implementasi di lapangan.”

Rainforest Action Network (RAN) juga menanggapi komitmen ini. Lafcadio Cortesi, Asia Director RAN, mengatakan, komitmen kebijakan jelas dan kuat didukung oleh transparansi, terikat waktu pelaksanaan peta jalan, tindakan tegas dan pemantauan independen serta verifikasi lapangan.  “Baru itu akan menandai kontribusi signifikan terhadap konservasi hutan hujan dan menghormati hak-hak masyarakat lokal di Indonesia,” katanya.

Untuk itu, RAN mendesak pelanggan dan investor dalam menilai hubungan bisnis mereka dengan APRIL berdasarkan hasil  dan diverifikasi independen di lapangan. “Kebijakan di atas kertas harus diterjemahkan pada tindakan nyata dan peningkatan hasil bagi masyarakat dan hutan di lapangan.”

Hal penting lagi, kata Cortesi, untuk mendapatkan kemajuan APRIL harus mengatasi masalah-masalah konflik lahan, deforestasi yang menyebabkan habitat spesies langka kritis dan konversi lahan gambut.

“Kami akan mengawasi APRIL untuk melihat apakah perusahaan bisa mengubah budaya dan menunjukkan transparansi termasuk pemantauan independen dan verifikasi kinerja pada isu-isu kunci,” katanya dalam keterangan tertulis.

Hutan gambut yang terbakar di konsesi PT PT Sumatra Riang Lestari di Riau. PT SRL adalah pemasok APRIL. Temuan Mei 2014, setelah komitmen Januari 2014. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Tunggu dulu 

Sedangkan Jikalahari mengingatkan publik dan konsumen APRIL di seluruh dunia, bahwa SMFP 2.0 merupakan  revisi yang masih jauh dari penyelamatan hutan gambut yang telah dirusak RAPP dan para pemasok. “Ini  tidak  menunjukkan keinginan kuat menyelesaikan konflik berbasis tuntutan masyarakat. Kami meragukan APRIL berhenti menebang hutan alam gambut terutama di Pulau Padang,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari dalam keterangan tertulis.

Pengalaman dari penerapan SFMP 1.0 tahun lalu, katanya, masih banyak pelanggaran oleh APRIL dan para pemasok. Jadi, meskipun berhenti menebang hutan alam dan hutan gambut per 15 Mei 2015, temuan Jikalakari sebelum itu, APRIL telah menebang hutan alam dan membangun kanal baru di Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau.

“Hutan gambut dirusak massif  jelang 15 Mei 2015. Artinya, APRIL kembali menegaskan  ketidaksiapan untuk berkomitmen.”

Jikalahari menilai,  dengan menunjuk peat expert working group untuk pengelolaan gambut, memperlihatkan kelambanan APRIL dalam melindungi gambut dan ketidakpercayaan terhadap regulasi di Indonesia. “Ini kontra produktif dengan komitmen APRIL terhadap pemenuhan aspek legal. Beranikah APRIL merestorasi gambut yang telah dirusak untuk penanaman akasia?” kata Woro.

Tak hanya itu. Jikalahari menilai, SMFP 2.0, tidak mengacu pada Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN-PSDA) KPK.  Dalam GN-PSDA itu,  dunia usaha harus menyediakan dan melaporkan informasi dan data terkait kegiatan usaha serta pemenuhan kewajiban. SMFP 2 ini, katanya,  belum memasukkan transparansi informasi terkait hasil studi HCV, Amdal dan jumlah pemasok atau anak perusahaan APRIL di Indonesia.

Jika memang menghargai hak masyarakat lokal, katanya,  APRIL didesak segera menyelesaikan konflik dampak operasional mereka di Pulau Padang, dan wilayah lain di Riau. Juga segera mengalokasikan 20% konsesi mereka untuk masyarakat.

“Jikalahari akan terus menmatau implementasi kebijakan ini untuk memastikan hutan tersisa terselamatkan dan masyarakat tidak lagi menjadi korban praktik pengelolaan hutan buruk oleh industri.”

Sementara Greenomics Indonesia menyatakan, sebelum ini, dalam pengembangan hutan tanaman APRIL menggunakan pendekatan mozaik, tetapi kini pakai pendekatan lanskap. Greenomics khawatir, itu menjadi jalan melegitimasi pembukaan daerah HCV didirikan secara hukum.  “Greenomics tegas menentang kebijakan keberlanjutan baru APRIL kecuali tak memasok bubur kertas dari area HCV legal secara hukum di konsesi maupun pemasok mereka,” kata Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, dalam rilis kepada media.

Dia mengatakan, dalam kebijakan baru, APRIL dan pemasok tetap secara hukum akan mengubah rencana operasi mereka, termasuk merevisi daerah HCV. Dengan begitu, katanya, beberapa daerah HCV pada konsesi mereka bisa legal buat pulp.

Untuk itu,  Greenomics akan memantau pelaksanaan kebijakan APRIL ini. “Jika mereka jelas secara hukum menetapkan kawasan HCV sebanyak satu hektar, kami akan lihat. Greenomics juga akan memantau sejauh mana APRIL dan pemasok merevisi rencana operasi mereka.”

Hutan gambut yang terbakar di konsesi PT PT Sumatra Riang Lestari di Riau. Foto diambil Mei 2014. APRIL sejak Januari 2014 berkomitmen tak akan menebang di hutan bernilai konservasi tinggi. Kini, 3 Juni 2015, kembali APRIL mengumumkan komitmen hutan berkelanjutan. Berbagai pihak menanti implementasi di lapangan. © Ulet Ifansasti / Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,