, ,

Mukhtar, Bukan Ranger Biasa

Mukhtar yang sekarang bukanlah Mukhtar yang dulu. Bila di masa kelamnya, lelaki kelahiran Sampoiniet, Aceh Jaya, 8 September 1965 ini, kerap diburu aparat kepolisian dan polisi hutan karena profesinya sebagai penebang kayu ilegal, kini sebaliknya. Ia merupakan mitra kerja dari dua lembaga pemerintah tersebut. 

Dikejar aparat kepolisian dan dibenci masyarakat, merupakan hal biasa yang harus ditanggung Mukhtar saat melakoni pekerjaannya sebagai pembalak kayu di hutan lindung Ulu Masen, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh.

Bahkan, untuk menghindari kejaran aparat keamanan dan masyarakat desa, Mukhtar harus lebih lama menghabiskan waktunya di hutan ketimbang di rumah. Akibatnya, rumah tangga yang ia bina bersama sang istri, Khadijah, mulai tidak harmonis.

“Bekerja sebagai penebang kayu ilegal telah saya lakukan sejak 1990-an. Hampir semua hutan lindung di Kabupaten Aceh Jaya pernah saya masuki, untuk mencari kayu paling bagus, sesuai pesanan pelanggan,” ungkapnya, awal Juni ini.

Namun, seiring usianya yang bertambah, Mukhtar merasa ada yang tidak beres dengan pekerjaannya itu. Hutan rusak, banjir kerap datang ke sejumlah kecamatan di Aceh Jaya. “Saat itu, saya mulai berpikir bahwa banjir yang terjadi setiap tahun akibat ulah salah kami, para pembalak liar.”

Mukhtar membulatkan tekad untuk tidak lagi merusak hutan dan mencari pekerjaan lain. “Saya berhenti sebagai pelaku pembalak liar. Saya putuskan untuk menanam padi di sawah dan berkebun guna memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar ayah empat anak ini.

Mukhtar yang tetap bersemangat menjaga hutan dan satwa di wilayah aceh Jaya. Foto: Rizal Purba
Mukhtar yang tetap bersemangat menjaga kelestarian hutan dan satwa di wilayah Aceh Jaya. Foto: Rizal Purba

Berubah

Apa yang membuat Mukhtar berubah? Awal 2008, sekelompok pegiat lingkungan dari Flora and Fauna International (FFI) Program Aceh, datang ke Kemukiman Ie Jeureuneh, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. Tanpa sengaja, Mukhtar bertemu para aktivis tersebut.

“Mereka menjelaskan akan mendidik masyarakat sebagai pelindung hutan dan membantu menjaga satwa liar yang hidup di sekitar hutan Aceh Jaya. Tanpa pikir panjang, saya langsung menawarkan diri sebagai bentuk keseriusan saya,” kenang Mukhtar.

Selain Mukhtar, FFI Program Aceh yang bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Dinas Kehutaran Aceh Jaya, dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh juga merekrut 14 masyarakat Ie Jeureuneh sebagai rekannya.

Seminggu mengikuti pelatihan di Hutan Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Mukhtar dan 14 rekannya dikembalikan ke tempat asal mereka. “Di sini kami ditugaskan menjaga kelestarian hutan dan satwa. Kami juga mengajak semua masyarakat untuk bahu-membahu menjaga hutan.”

Beberapa bulan menjadi Ranger atau masyarakat penjaga hutan, Mukhtar yang bertanggung jawab sebagai koordinator mulai dikenal masyarakat Sampoiniet dan masyarakat di Aceh Jaya. Mukhtar juga mulai bertugas membantu masyarakat menggiring gajah liar yang berada di perkebunan penduduk saat malam sekalipun.

Menjadi Ranger ternyata pilihan yang tepat. “Saya sangat senang jika tengah malam dan kapan pun dihubungi masyarakat yang minta bantuan untuk menggiring gajah liar,” tuturnya.

Tidak hanya masyarakat dan sebagian besar kepala desa di Kabupaten Aceh Jaya, Dinas Kehutanan Aceh Jaya juga sering menghubungi Mukhtar untuk diminta masukannya terkait kondisi hutan dan satwa liar di Aceh Jaya. “Sejak menjadi Ranger, saya sering diajak rapat dan kegiatan lainnya. Ucapan saya juga dihargai saat menjadi pembicara.”

Meski saat ini tidak ada lembaga yang membantu komunitas Ranger dalam bekerja, namun menurut Mukhtar, karena mereka berasal dari masyarakat setempat maka mereka harus membantu. “Ketika ada kawanan gajah masuk ke perkebunan penduduk, kami tetap harus menggiring gajah tersebut keluar. Pastinya, tidak dibunuh oleh pemilik kebun atau pemburu gading, meski terkadang kami kesulitan secara finansial untuk biaya operasional,” paparnya.

Di Aceh, saat ini telah ada komunitas Ranger yang jumlahnya mencapai 318 personil yang tersebar di lima kanupaten. Foto: Junaidi Hanafiah
Di Aceh, saat ini telah ada komunitas Ranger yang jumlahnya mencapai 364 personil yang tersebar di lima kabupaten. Foto: Junaidi Hanafiah

Sekjen Federasi Ranger Aceh, Yacob Ishadami menyebutkan, saat ini, ratusan Ranger yang berada di Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), telah membentuk komunitas Federasi Ranger Aceh. Komunitas Ranger merupakan kelompok pelestari hutan dan satwa yang didirkan untuk membantu masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan dan satwa sehingga alam terlindungan dari pelaku kejahatan lingkungan.

“Selain itu, yang sangat penting adalah Ranger bekerja untuk membantu masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan agar hidup berdampingan dengan alam,” sebut Yacob.

Hingga saat ini, jumlah personil komunitas Ranger di Aceh telah mencapai 364 orang yang terdiri dari 18 kelompok dan berada di lima kabupaten.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,