, ,

Jalan Panjang Mempertahankan Hutan Adat Muara Tae

Muara Tae kerap menjadi contoh perbincangan konflik lahan dan kepentingan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah daerah yang tidak pro-rakyat. Kampung komunitas adat Dayak Benuaq yang terletak di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, ini sejak 1995 terus berjuang untuk mempertahankan wilayah hutan adatnya yang diserobot perusahaan sawit.

Namun, konflik lahan ini sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum 1995. PT. Sumber Mas mendapat konsensi yang menggerus hutan adat mereka pada 1971 dan selanjutnya pada 1993, wilayah Kecamatan Jempang menjadi area konsensi tambang batubara PT. Gunung Bayan Pratama Coal.

Masuknya perusahaan kayu, tambang, dan perkebunan sawit membuat hutan adat yang telah dijaga selama ratusan tahun itu terkoyak dan berkurang luasannya. Kedamaian hilang, terlebih saat perusahaan menggunakan berbagai cara untuk menguasai dan menyerobot hutan adat ketika permintaan izinnya tak diberikan masyarakat Muara Tae.

“Perusahaan menggunakan warga kampung sebelah untuk mengakui hutan itu milik mereka. Dengan pengakuan itu, perusahaan melakukan pembelian, ganti rugi lahan,” papar Petrus Asuy, tokoh adat Muara Tae, belum lama ini.

Modus penguasaan lahan yang dilakukan oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan PT. Borneo Surya Jaya Mining yang masuk pada 2011, menimbulkan perpecahan pada masyarakat Dayak Benuaq di dua kampung yaitu Muara Tae, Kecamatan Jempang dan Muara Ponaq, Kecamatan Siluq Ngurai.

Margaretha Setting Beraan, Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur mengatakan upaya perusahaan membenturkan sesama masyarakat adalah cara klasik untuk menguasai lahan. Pangkalnya, pemerintah dan perusahaan selalu tutup mata terhadap batas-batas tradisional yang dipercaya oleh masyarakat secara turun-temurun.

“Investor selalu memanfaatkan ketiadaan pengakuan pada batas-batas wilayah adat. Batas itu biasanya sungai, gunung, jalan, pohon atau apapun yang disampaikan secara lisan,” papar Setting.

Dalam kasus Muara Tae, menurut Setting, investor mengacu pada SK Bupati tentang penetapan batas wilayah yang memasukkan hutan adat Muara Tae sebagai wilayah Kampung Muara Ponaq yang berada di kecamatan berbeda.

“SK Bupati Kutai Barat Nomor 146.3/K.525/2012 Tentang Penetapan dan Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponaq, Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, membuat sebagian wilayah hutan adat yang dikuasai masyarakat Muara Tae masuk menjadi wilayah Muara Ponaq.”

Buldozer yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk membuka hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Masyarakat Muara Tae yang didampingi AMAN Kaltim melaporkan kasus ini ke Polda Kaltim, BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan gugatan terhadap SK Bupati Kutai Barat ke PTUN Samarinda. Namun, upaya gugatan kandas karena PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negeri) Samarinda tidak mengabulkan, sementara Polda Kaltim menyerahkan kasus ini ke Polres Kutai Barat.

“Puluhan tahun kami berjuang tapi belum menuai hasil,” kata Asuy.

Setelah upaya hukum dan politik yang ditempuh tidak menunjukkan hasil memuaskan, mereka akhirnya menempuh jalan metafisik. Sumpah adat untuk memutus kasus yang mereka alami baik dengan tetangga kampung, investor, maupun pemerintah.

Ditanya soal sumpah adat itu, Asuy mengatakan bahwa sumpah seharusnya dihadiri oleh pihak-pihak yang bersengketa. Namun, undangan tersebut tidak ditanggapi. “Buat kami, ketidakhadiran mereka berarti takut. Itu pertanda, kami berada di posisi yang benar.”

Galang solidaritas

Menurut Setting, meski perjuangan masyarakat Muara Tae belum menunjukkan hasil positif, namun masyarakat tidak berputus asa. Asuy bersama tokoh lainnya tetap menjaga semangat dan terus membangun solidaritas dengan kelompok lain di luar Muara Tae.

“Sebagian teman-teman seperjuangan memang ada yang mulai menyerah. Saya pun kalau hanya memikirkan diri sendiri pasti akan berhenti,” terang Asuy.

Bukan satu dua kali perusahaan membujuk Asuy untuk berhenti menyoal lahan hutan adat dengan berbagai imbalan. “Kalau saya berprinsip, biar dapat sedikit daripada tidak sama sekali, pasti sudah saya terima tawaran itu. Tapi, ini bukan soal dapat atau tidak. Hutan adat itu adalah hak kami yang akan kami wariskan pada anak cucu nanti.”

Lahan dan hutan Masyarakat Muara Tae sudah dikepung perkebunaan dan pertambangan sejak 1971. Foto: Erma Woelandari

Setting menambahkan bahwa perusahaan kini berhenti melakukan penggusuran. Namun, lahan yang telah direbut itu terus ditanam dan dijaga perusahaan. “Setelah sumpah adat, klaim dari tetangga kampung juga tidak terdengar lagi. Untuk mempertahankan wilayah adat mereka, masyarakat Muara Tae telah melakukan pembahasan tata ruang wilayah dan akan disahkan pada Agustus nanti.”

Kini, untuk menjaga hutan adat Muara Tae, Asuy mempelopori pembibitan tanaman lokal yang terancam hilang akibat ekspansi perusahaan. Gaharu, ulin, dan meranti ditanam di hutan adat mereka yang telah direbut perusahaan.

“Tapi, perusahaan pintar. Mereka tidak mencabuti tanaman kami melainkan menyemprot dengan zat tertentu yang membuatnya mati. Mereka melakukan itu saat pemeliharaan rutin tanaman sawit. Namun, kami akan tetap menanam kembali,” ujar Asuy.

Meski harus berjuang mempertahankan hutan adat, namun ketika mendengar kisah Sapinah, seorang penyembuh tradisional (Balian) yang hendak membangun ‘klinik’ untuk pengobatan tradisional di kampung Kuntap, Kutai Kartanegara, Asuy menyatakan siap membantu.

“Kita harus saling bantu. Kami dapat bertahan karena adanya dukungan dan bantuan baik dari Kalimantan Timur maupun dari luar. Solidaritas sesama masyarakat adat itu penting karena perjuangan kita adalah perjuangan yang panjang,” pungkasnya.

Petrus Asuy, tokoh adat Muara Tae yang gigih bersama masyarakat mempertahankan hutan adat mereka. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Petrus Asuy, tokoh adat Muara Tae yang gigih bersama masyarakat mempertahankan hutan adat mereka. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,