,

Inilah Kolaborasi Menarik Dalam Distribusi Seafood Ramah Lingkungan

Pernahkan Anda bertanya pada pedagang dari mana ikan yang mau dibeli ditangkap? Pertanyaan seperti ini dinilai salah satu kunci penggugah kesadaran.

Jika ingin memastikan hasil laut di piring makan aman, bisa dicoba model ini. Ada kelompok nelayan laut dan bakau yang didampingi LSM agar menangkap hasil laut yang baik dan ramah lingkungan. Kemudian hasil laut ini dipasarkan penyedia dan pengecer  ke konsumen. Mereka menjalin rantai distribusi sekaligus mengedukasi konsumen untuk memastikan mereka makan hasil laut yang ditangkap secara aman.

Inilah yang terlihat dalam Festival Bukan Pasar Ikan Biasa, salah satu rangkaian dari Kampanye Seafood yang Bertanggung Jawab (Sustainaible Seafood) dengan tagar #BeliyangBaik oleh WWF Indonesia. Kampanye ini untuk perubahan perilaku penikmat seafood agar mengurangi tekanan terhadap perikanan yang sudah atau hampir mencapai status tangkap lebih. Lembaga pangan dunia menyebut kondisi kelautan sudah 53% atau tertangkap penuh sementara populasi penduduk terus meningkat.

Di Pantai Kuta yang terik akhir pekan kemarin, ada kolaborasi kampanye sustainable seafood yang diperlihatkan para nelayan yang tergabung dalam Jaring Nusantara, Fish n Blues, dan industri perhotelan. Pengunjung memilih bahan baku menu makan siangnya di Jaring Nusantara. Ada kerapu merah dan hitam, kerang, dan udang windu. Lalu memilih cara pengolahan dan membayar biaya masaknya di Fish n Blues. Ada berbagai varian olahan seperti steak, rebus, goreng, dan lainnya.

Para pembeli atau konsumen yang menikmati hasil olahan laut ini juga mendapat pengetahuan untuk menelusuri asal usul santapannya. Apakah ditangkap dengan cara yang baik, siapa nelayan atau pembudidayanya, dari daerah laut manakah, dan lainnya.

Salah satu masakan dari kerang pada acara  Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta. Festival ini mengkampanyekan sustainable seafood. Foto : Luh De Suriyani
Salah satu masakan dari kerang pada acara Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta. Festival ini mengkampanyekan sustainable seafood. Foto : Luh De Suriyani
Salah satunya ada Taulani, salah satu pengurus kelompok nelayan Kepiting Lestari di Pemalang, Jawa Tengah. Ia membudidayakan kepiting bakau di perairan pantai utara Jawa ini. Selama beberapa tahun kelompoknya didampingi sebuah LSM mitra WWF untuk menerapkan cara budidaya yang baik, tanpa eksploitasi.

Ia tak menyangka sekira 7 tahun setelah upaya rehabilitasi bakau dilakukan, banyak hewan muncul, salah satunya kepiting (mud crab). Para nelayan akhirnya mendapat anugerah dari merawat dan memperbaiki tapak bakau yang rusak. Kepiting ini kemudian ditangkar untuk penggemukan. “Ternyata digemukkan sekitar 20 hari saja harga jualnya bisa berkali lipat,” cerita Taulani. Para nelayan dan pembudidaya ini lah menyuburkan warung-warung makan kepiting di kawasan Pantura.

Selain mendapat pasar yang relatif stabil, Taulani juga memasok ke Fish n Blues, sebuah usaha retailer dan supplier seafood. Usaha ini menyerap hasil laut dari nelayan binaan Jaring Nusantara yang mempraktikkan perikanan berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Aturannya ketat sekali, minimal berat kepiting 300 gram tidak bisa kurang. Harganya oke,” tambah Taulani tentang Fish n Blues.

Untuk kebutuhan kampanye di Bukan Pasar Ikan Biasa di Bali ini, Fish n Blues mendapat pasokan dari kelompok nelayan Kabupaten Buleleng yang juga mempraktikkan penangkapan yang aman. Misalnya tidak menggunakan bom, potas, atau sianida yang meracuni dan merusak ekosistem sekitar. Tidak menangkap anakan (juvenile), dan jika budidaya bibitnya hasil pembibitan bukan diambil dari alam.

Pengelola Fish n Blues adalah dua anak muda mantan aktivis WWF Indonesi yakni Annisa Ruzuar dan Ranggi Fajar Muharam. Keduanya tampak melayani pembeli yang memilih ikan, cara mengolahnya, dan memperkenalkan prinsip bisnis yang baru sejak tahun lalu berbadan hukum ini. Tim ini mengenakan kaos seragam bertuliskan “I Know where my seafood come from.”

Aktivis dan panitia Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta, Bali.  Festival ini mengkampanyekan perikanan ramah lingkungan (sustainable seafood). Foto : Luh De Suriyani
Aktivis dan panitia Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta, Bali. Festival ini mengkampanyekan perikanan ramah lingkungan (sustainable seafood). Foto : Luh De Suriyani

Anissa mengatakan fokus mendistribusikan hasil nelayan lokal untuk pasar domestik. “Ini kan hasil laut kita, yang bagus jangan hanya dibawa ke luar negeri (ekspor),” sergah perempuan yang fokus mengurus komunikasi usaha sosial ini. Baru dua daerah yang bisa dilayani yakni Jakarta dan Bali secara terbatas. Pasokan diutamakan dari nelayan kecil karena biasanya mereka yang menerapkan penangkapan yang ramah lingkungan dibanding pengusaha perikanan besar yang menggunakan pukat/trawl.

“Ini kan produk segar tak tahan lama, kami harus memastikan pengemasan dan pengirimannya. Konsumen bisa pesan online,” jelasnya. Misalnya di website fishnblues.com atau media sosialnya. Ranggi, CEO Fish n Blues menyebut jumlah distribusi per bulannya baru 100-300 kg ke tangan konsumen. Sejumlah hasil laut dan budidaya yang bisa dipesan di antaranya ikan katamba/lencam, tuna, kepiting bakau, ikan kuwe, nila, udang windu, kerang, dan bakso tuna.

Keduanya yakin dengan masa depan bisnis ini karena tren konsumsi dan anak muda yang makin sadar tentang keamanan pangan dan pelestarian lingkungan. Tantangannya penetrasi pasar retail besar dan peningkatan kapasitas distribusi.

WWF juga membagikan panduan memilik hasil laut yang lestari melalui Seafood Guide. Berisi puluhan daftar spesies yang hidup di perairan Indonesia dan dikonsumsi.

Hasil laut itu dibagi tiga kategori sesuai dengan kondisi penangkapan dan populasinya saat ini. Pertama warna hijau sebagai kode pilihan terbaik, artinya aman dikonsumsi seperti tenggiri, teri jengki, dan tongkol, cakalang, cumi, dan lainnya. Berhati-hatilah dan pertimbangkan mengonsumsi produk (kuning), misalnya ikan gindara, gurita, sotong, gurita, kepiting bakau, dan lainnya. Produk-produk ini seringkali dihasilkan dari cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan, dan secara umum populasi ikan dalam kategori ini mulai menurun.

Hindarilah memesan seafood dari daftar hindari (merah). Seafood dalam daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya sangat merusak dan memungkinkan terjadinya penangkapan satwa langka atau dilindungi. Misalnya bawal hitam, putih, hiu, kakap putih, kuda laut, telur ikan, tuna sirip biru, dan lainnya. Daftar ini belum lengkap dan bisa berubah kategori.

Imam Musthofa, Sunda Banda Seascapes and Fisheries Leader WWF Indonesia mengatakan pihaknya 5 tahun terakhir ini mengampanyekan soal penangkapan dan konsumsi yang lestari. Salah satunya melalui sistem ekolabel. Pengusaha besar perikanan Indonesia belum ada yang mendapat sertifikat dari MSC (Marine Stewardship Council) untuk perikanan tangkap. “Sudah ada yang menuju ke sana karena pasar mulai memperhatikan hal ini,” katanya. Mereka berkumpul dalam jaringan Seafood Savers.

Ada juga ASC (Aquaculture Stewardship Council). Keduanya adalah organisasi non profit internasional yang mengembangkan skema sertifikasi pihak ketiga untuk perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,