Penelitian: Ketahanan Pangan, Kunci Bertahan dari Bencana Global

Dunia pernah mengalami beragam bencana global, baik yang disebabkan oleh alam maupun oleh manusia. Dua ratus tahun lalu saat Gunung Tambora meletus dan mengeluarkan jutaan metrik ton material vulkanik, dampaknya dirasakan puluhan hingga ratusan juta manusia baik dampak langsung maupun dampak ikutannya, termasuk karena penurunan suhu dan perubahan ekstrim cuaca dunia. Letusan Tambora adalah contoh bencana global yang tak bisa dihindari atau dikurangi dampaknya bagi cuaca dunia.

Enam puluh tujuh ribu tahun lalu, gunung api raksasa Toba, meletus di wilayah yang sekarang menjadi Danau Toba, menyebabkan musim dingin global vulkanis selama 7-10 tahun, dan 1.000 tahun pemulihan. Populasi manusia saat itu hampir punah dan diperkirakan hanya tersisa 10-100 ribu individu saja.

Manusia juga bisa menjadi penyebab bencana global. Yang paling dekat dengan era sekarang adalah dampak Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang berpengaruh pada situasi ekonomi, politik, sosial budaya hampir di seluruh dunia. Nuklir dan bencana radiasi hingga saat adalah ancaman yang setiap saat dapat memicu bencana global yang mematikan.

Salah satu tantangan terbesar umat manusia saat ini adalah bagaimana menjaga persediaan pangan meski dalam kondisi apapun, termasuk saat terjadinya bencana global. Berbeda dengan bencana lokal, maka bencana global tidak dapat mengandalkan bantuan dari lokasi eksternal.

Apa yang terjadi jika bencana global kembali datang, dampak asteroid dan komet, wabah global yang menyerang tanaman pangan, perang besar hingga letusan gunung vulkanis? Bayangkan, jika letusan sekuat Tambora terjadi kembali dan benar mempengaruhi seluruh dunia, apakah manusia siap menghadapinya? Meskipun dampak seperti itu tidak dapat dihindari, namun manusia setidaknya harus mempunyai rencana kontigensi dimana saat bencana global terjadi, semua orang mendapatkan akses yang memadai ke pangan, hingga kondisi normal kembali.

Dalam jurnal “Resilience to Global Food Supply Catastrophes” yang ditulis oleh Seth D. Baum, pendiri dan Direktur Eksekutif Global Catastrophic Risk Institute, menurutnya terdapat dua opsi untuk memperkuat ketahanan pangan, yaitu menumpuk stok pangan pertanian, dan mengembangkan pangan yang diproduksi dari sumber energi alternatif (non sinar matahari) yaitu biomassa dan bahan bakar fosil.

Tentu masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Menumpuk stok pangan memang akan sangat berguna, namun mahal. Pertanian tentu lebih efisien, namun pertanian tentu akan terdampak jika terjadi bencana global. Pangan alternatif adalah pilihan yang murah sebelum bencana terjadi, namun harus ditingkatkan (sekaligus diuji ketahanannya) saat bencana benar terjadi.

Era saat ini, tentu berbeda dengan masa Tambora meletus. Selain populasinya yang sudah mencapai 7 milyar manusia (sekitar 1 milyar pada waktu Tambora meletus), dan kebutuhan pangan terus membesar. Selain itu dari 1,5 miliar rumah tangga di dunia, hanya 500 juta yang bermata pencarian sebagai petani. Maka jika bencana global datang, mereka yang tidak memiliki lahan pertanian akan menghadapi bencana serius karena pasokan dan perdagangan makanan global dan regional terganggu bahkan berhenti.

Bahkan para petani pun takkan bertahan lama, karena pupuk dan bahan bakar akan harus didatangkan dari tempat lain. Apalagi jika sinar matahari juga terganggu, juga iklim yang tak pas untuk tanaman, maka pada akhirnya, semua akan menghadapai ancaman amat serius.

Singkatnya, pertanian memang diharapkan sebagai ‘penyelamat’ manusia, namun tentu takkan cukup untuk mengatasi kelangkapan pangan yang masif. Apalagi, gangguan pada sektor pertanian akan berlangsung bertahun-tahun.

Sementara, stok pangan yang ditimbun hanya akan bertahan dalam waktu singkat. Tentu perlu dipikirkan opsi lain untuk meningkatkan ketahanan pangan untuk mengatasi kelangkaan jangka panjang tersebut.

Pada dasarnya, pangan bisa diproduksi asalkan terdapat kelimpahan energi dan sumber daya. Namun dalam situasi pasca bencana global, sinar matahari mungkin takkan memadai, sehingga diperlukan energi alternative. Dua sumber energi utama tersebut yaitu biomasa dan bahan bakar fosil. Biomasa bisa mencakup pohon, dan tanaman lain, yang energinya bisa dimasukkan dalam rantai makanan, sedangkan bahan bakar fosil mencakup batu bara, minyak, gas alam, meskipun dari semua itu kemungkinan hanya gas alam yang paling memungkinkan.

Alur sistem produksi pangan alternatif. Cambium adalah bagian dalam dari kulit kayu, sedangkan forbs adalah tanaman non-kayu dan non-rumput. Garis solid adalah rantai makanan, sedangkan garis putus-putus adalah sisa/sampah makanan. (David C. Denkenberger)
Alur sistem produksi pangan alternatif. Cambium adalah bagian dalam dari kulit kayu, sedangkan forbs adalah tanaman non-kayu dan non-rumput. Garis solid adalah rantai makanan, sedangkan garis putus-putus adalah sisa/sampah makanan. (David C. Denkenberger)

Produksi bahan makanan alternatif bisa dioptimalkan jika berbagai sumber makanan bisa diproduksi secara bersamaan, karena sisa/sampah dari beberapa makanan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan pangan lain. Beberapa ilustrasinya adalah sebagai berikut:

  • Kayu bisa menjadi tempat tumbuhnya jamur, dan kumbang maupun serangga lain, yang bisa menjadi makanan bagi manusia.
  • Tanaman lain yang bisa dimakan manusia, atau bagian-bagian pohon seperti dedaunan dan kulit pohon, bisa dimanfaatkan sebagai tempat tumbuh jamur, bahan makanan serangga, bahkan sebagian bisa dimakan langsung oleh manusia.
  • Gas alam bisa menjadi bahan makanan bagi bakteri-bakteri tertentu, yang pada gilirannya akan menjadi bahan makanan bagi hewan-hewan. Proses ini sebenarnya sudah cukup lama dilakukan, dan bahkan bisa diadaptasi sebagai makanan langsung bagi manusia.

Karena proses produksi pangan alternatif saat ini belum dalam skala besar, maka perlu dipersiapkan agar proses scale-up dapat dengan cepat memenuhi kebutuhan pangan pasca bencana global. Seberapa besar proses ini bisa di scale-up, akan tergantung bagaimana pangan hasil pertanian menjadi terganggu, dan seberapa besar makanan bisa ditimbun.

Apapun opsinya, tentu harus mempertimbangkan berbagai hal, misalnya lokasi, jumlah populasi dan akses akan input sumber daya pangan. Apalagi, jika bencana global tersebut menghentikan sistem transportasi, tentu ketahanan penyediaan pangan harus dimiliki oleh komunitas-komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Yang jelas, memperkuat ketahanan penyediaan pangan akan berperan besar mengurangi resiko jika benar terjadi bencana global. Namun upaya tidak akan bijaksana jika hanya ditujukan memperkuat penyediaan pangan, tanpa menyiapkan berbagai upaya pencegahan bencana yang terjadi. Akan tetapi, tidak bijaksana juga jika memaksimalkan usaha kita hanya untuk memperkuat ketahanan penyediaan pangan, karena akan mengorbankan tujuan lain yang juga penting, termasuk diantaranya upaya-upaya pencegahan bencana.

Referensi:

  • Baum, S.D., Denkenberger, D.C., A Pearce, J.M., Robock, A., Winkler, R. Resilience to global food supply catastrophes. Global Catastrophic Risk Institute
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,