,

Indonesia Siap Implementasikan Rencana Aksi Konservasi Hiu Dan Manta

Sebagai negara mega biodiversity, Indonesia sudah selayaknya menjaga keanekaragaman flora, fauna dan mikroba yang ada di dalamnya. Salah satu yang harus dijaga, adalah keberadaan spesies hiu dan pari yang jumlahnya terus menyusut di dunia dan khususnya di Indonesia.

Menurut Direktur Kawasan dan Konservasi Ikan Direktoran Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Dermawan, di dunia saat ini terdapat 5-30 juta spesie flora, fauna dan mikroba. Dari jumlah tersebut, 1,7 juta diketahui berada di Indonesia.

“Namun di Indonesia, dari jumlah tersebut baru 300 ribu spesies yang sudah bernama. Selebihnya, ya belum memiliki nama. Termasuk, seperti hiu dan pari yang sudah bernama,” ungkap Agus kepada Mongabay minggu kemarin.

Dengan jumlah sebanyak itu, dijelaskan Agus, Indonesia memiliki kewajiban untuk terus menjaganya dengan baik, karena itu menjadi bagian dari kekayaan hayati dunia. Kewajiban tersebut juga sesuai dengan Konvensi Rio de Janeiro 1992 yang membahas tentang kenakeragaman hayati dunia.

“Indonesia salah satu anggota dan berkomitmen untuk ikut terlibat. Makanya, Indonesia kemudian meratifikasinya melalui Undang-Undang No 5 Tahun 1994,” jelas dia.

Nilai Strategis Hiu dan Pari

Dari 300 ribu spesies yang ada di Indonesia, Agus memaparkan, ada 118 spesies hiu dan 101 jenis spesies pari. Jumlah tersebut menjadi bagian dari 500 spesies hiu dan pari dunia. Dengan jumlah tersebut, pemanfaatan hiu dan pari dari hari ke hari semakin tinggi.

“Dan itu bisa mengancam populasi spesies tersebut. Kalau tidak diatur maka akan semakin terancam lagi. Apalagi di Indoensia produksinya per tahun bisa mencapai 100 ribu ton hiu dan pari. Kita jadi negara produsen terbesar di dunia,” tutur Agus Dermawan.

Melihat kondisi tersebut, menurut Agus, Indonesia berkepentingan untuk bisa mengaturnya dengan lebih bijak. Karenanya, KKP bersama pakar dan perguruan tinggi menggelar Simposium Nasional Hiu dan Pari di Bogor, Jawa Barat, 10 Juni lalu.

“Kita harus bisa mengaturnya, karena pada 2013 ditetapkan ada 5 hiu di dunia yang ditetapkan langka dan terancam punah. Dan, 4 diantaranya terdapat di Indonesia,” ungkap dia.

Menurut Agus, status 4 hiu tersebut adalah 3 hiu martil dan 1 hiu cowboy dan keempat spesies tersebut perdagangannya harus mengikuti aturan berupa penetapan kuota.”Jadi, 4 hiu tersebut pemanfaatannya masih boleh, tapi harus dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme yang ada,” cetus Agus.

Ditempat terpisah, Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia, Wawan Ridwan, mengatakan hiu dan pari berperan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut dan memastikan laut tetap produktif memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan dari sektor perikanan.

Akan tetapi  hiu dan pari banyak diburu sebagai tangkapan utama maupun tangkapan sampingan (bycatch) di beberapa lokasi di Indonesia seperti Laut Jawa Selat Karimata, Selat Makassar, Samudera Hindia, Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Pasifik.

“Kedua ikan bertulang rawan tersebut ditangkap dan dijadikan komoditi berkeuntungan besar. Hiu diburu untuk sirip, daging, kulit, minyak hati, dan tulang rawannya, sementara pari diambil insangnya untuk dimanfaatkan sebagai bahan tonik kesehatan di Tiongkok,” katanya.

Penangkapan Hiu Lombok6

Oleh karena itu, Rencana Aksi Nasional (RAN) pengelolaan hiu dan pari di Indonesia secara berkelanjutan sebagai hasil simposium menjadi penting untuk dilaksanakan demi menyelamatkan kedua spesies tersebut.

RAN hiu dan manta yang menunggu disahkan oleh KKP itu, bakal menjadi pedoman pelaksanaan penyelamatan hiu,  dari rencana aksi, status perlindungan, penganggaran sampai dengan pelaksanaan di lapangan.

“RAN hiu dan manta akan mendorong dikeluarkannya status perlindungan bagi hiu dan manta.Ketika hiu dan manta ditetapkan sebagai spesies dilindungi dengan surat keputusan, maka pelaksanaannya menjadi suatu keharusan di lapangan,” jelas Wawan.

Dokumen RAN tersebut akan menyangkut kewajiban dan kewenangan berbagai pihak, seperti pemda, dan partisipasi masyarakat.

RAN menyangkut kewenangan pemda, partisipasi masyarakat, dan nelayan yang menangkap hiu dan manta sebagai tangkapan utama maupun bycatch.

Sedangkan Koordinator Konservasi dan Tangkapan Hiu WWF, Dwi Yoga Gautama mengatakan RAN hiu dan manta sebagai hasil simposium merupakan pembaharuan dari RAN hiu dan manta pertama yang dibuat pada 2009.

RAN merupakan turunan dari National Plan of Action Internasional, yang harus dimiliki oleh setiap negeri. Indonesia sudah mempunyai RAN hiu dan manta sejak 2009, yang berlaku selama empat tahun, tetapi efektif berlaku pada 2011 sampai 2015.

“Di periode sebelumnya, RAN hanya dokumen tanpa legalitas. Dan ada masalah nomenklatur. Rencana pengelolaan perikanan tiap WPP (wilayah pengelolaan perikanan) tidak dijelaskan dalam RAN hiu dan manta. Ketika dokumen ada tidak bisa menjadi acuan pemerintah untuk lakukan program,” kata Dwi Yoga.

Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski
Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski

Dalam RAN kedua ini, lebih dijelaskan kejelasan tanggung jawab dan tugas stakeholder, dan adanya delapan program prioritas yang akan dijalankan.  “Ada 7 prioritas program, misalnya database penelitian hiu yang selama ini tersebar di KKP, KKJI di Balitbang KP, di NGO dan beberapa universitas. Kita sepakati, dibuat Pokja hiu dan pari, dengan ketua KKJI. Database di-pool-kan di Balitbang KP. Setiap 2 tahun sekali akan buat analisis baru, untuk buat buku status hiu nasional, dan buat simposium hiu setiap 2 tahun,” katanya.

RAN juga mengatur perdagangan hiu dan manta, termasuk pelacakan asal (tracebility) kedua spesies itu dari ditangkap sampai dengan diolah.

Pengaturan perdagangan, banyak penelitian terkait, ada aspek sosial ekonomi. Permasalahan di kita tidak pernah perdagangan, karena hiu itu olahannya macam2. Sehingga tidak bisa dipastikan hiu itu apa. Sehingga dibuatkan tracebility, dari di tangkap sampai diolah.

“Akan lebih fokus sistem perdagangan. Dibandingkan kita menindak nelayannya, yang lebih efisien adalah menekan pasarnya,”tambah Dwi Yoga.

Rekomendasi Hasil Simposium

Simposium Hiu dan Pari Indonesia yang mengumpulkan hasil-hasil penelitian para ahli di Indonesia terkait sumber daya hiu dan pari, menyajikan beberapa rekomendasi terhadap aspek biologi, populasi dan ekologi; sosial dan ekonomi’ serta pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di Indonesia yang bisa dijadikan dasar kebijakan dimaksud

Simposium tersebut mencapai kesepahaman bahwa perlu ditetapkannya sebuah kebijakan sebagai dasar implementasi Rencana Aksi Nasional (National Plan of Action/NPOA) untuk pengelolaan hiu dan pari di Indonesia secara berkelanjutan.

Pembantaian manta ray di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok, NTB. Foto : Paul Hilton / WCS
Pembantaian manta ray di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok, NTB. Foto : Paul Hilton / WCS

Rekomendasi dari hasil simposium tersebut, yaitu tentang stok perikanan hiu dan pari. Dari rekomendasi ini diputuskan untuk membuat kajian data hiu dan pari.  Dari hasil simposium disepakati untuk meningkatkan SDM terkait pengkajian dan merumuskan 3 poin jangka pendek dan jangka panjang. Untuk Jangka pendek, yaitu me lakukan pendataan hiu dan pari di Indonesia  yang tertangkap di wilayah perikanan, yang umum diperdagangkan, dan spesies yang masuk dalam daftar konvensi. Lalu, mengidentifikasi dan menentukan lokasi prioritas pendataan hiu dan pari. Misalnya, di TPS Cilacap, Tanjung Luar, Aceh, Cimuncang, Lamongan, Banten, Pelabuhan Ratu, Makassar, Bitung, Sorong, Indramayu, Benoa, Muara Angke. Terakhir, dilakukan identifkasi lokasi, berdasarkan data statistik perikanan, alat penangkapan, target dan daerah penangkapanan.

Untuk jangka panjang, disepakati untuk melakukan penyempurnaan sistem pendataan ikan hiu dan pari di Indonesia. Jenis spesiesnya apa, alat penangkapannya apa, jenis kelaminnya apa, daerah penangkapan dan ukuran panjang hiu.

Terkait pemanfaatan hiu dan pari dan pemanfaatan perdagangan dan pariwisata, disepakati untuk memperkuat sistem ketelusuran, baik produk untuk pasar ekspor maupun utk domestik.

Memberikan pemahaman untuk pengembangan eko wisata hiu dan pari. Lokasi tertentu yang ada hiu dan pari, bisa dikembangkan untuk ekowisata.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,