, ,

Hutan Lindung yang Direstorasi Itu Jantungnya Aceh Tamiang

Rudi Putra tampak semangat. Tepat di bawah plang hijau bertuliskan “Kawasan Hutan Negara” lelaki penerima penghargaan The Goldman Environmental Prize 2014 ini berucap, inilah wilayah Restorasi, hutan lindung yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kawasan ini memang harus bebas dari sawit ilegal karena akan dihutankan kembali. “Ayo kita ke lokasi penebangan,” ucapnya tangkas sembari mengenakan topi lapangan.

Tiga sepeda motor “bodong” telah dipersiapkan mengantar kami ke lokasi. Bodong  merupakan istilah untuk sepeda motor yang telah dilepas perlengkapannya, hanya menyisakan rangka dan tempat duduk saja, layaknya sepeda. Ini untuk mempermudah melewati jalur yang memang menanjak, bergelombang, dan berlubang.

Sepanjang jalur yang kami lalui, terlihat jelas hamparan batang sawit yang roboh. Pemandangan yang menunjukkan bahwa program pemberangusan sawit di Aceh Tamiang, Aceh, terutama di wilayah Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, memang benar-benar berjalan sejak dilaksanakan September 2014 lalu. Dari 3.000 hektar sawit yang masuk kawasan Restorasi, sekitar 1.071 hektar memang akan dibabat habis.

Lima menit menempuh perjalanan, kami tiba di lokasi penebangan. Ada lima operator mesin yang bekerja. Dalam sehari, sejak pukul 08.00 – 15.00 WIB, para pekerja ini mampu menumbang 2 – 3 hektar sawit. Sejauh ini, sudah 200 hektar yang diratakan. “Namun begitu, semua bergantung cuaca. Bila cerah, kami bisa menggarap 3 hektar per hari,” ujar Iwan, operator chainsaw yang diakui paling mumpuni.

Menurut Iwan, selain cuaca, kemiringan lokasi juga turut menentukan tercapai tidaknya target harian. Bila lokasinya terjal, pastinya akan butuh tenaga juga. “Faktor cuaca tetap yang paling menentukan. Makanya, kami selalu mulai kerja pagi, agar dapat banyak dan tidak terlalu panas,” ujarnya yang diamini rekannya Mahmud dan Miswan.

Secara teknis, kami mengatur penebangan di lapangan yang selanjutnya dikoordinasikan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) III Aceh. Ini terkait target dan progres. “Sawit yang ditebang ini memang berbatasan langsung dengan hutan lindung yang panjangnya sekitar 10 kilometer,” papar Tezar Pahlevi, Koordinator FKL Aceh Tamiang.

Upaya penutupan perkebunan sawit tersebut memang telah dirintis sejak 2009 melalui kerja sama antara Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Polda Aceh, Polres Aceh Tamiang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh Tamiang, LSM, Masyarakat Aceh Tamiang, hingga dukungan Bupati Aceh Tamiang melalui surat keterangan (SK) pemusnahan kebun sawit. “Namun, proses investigasi dan monitoring telah dilakukan sejak 2008,” ujar Rudi yang merupakan Advisor Forum Konservasi Leuser (FKL), awal Juni 2015.

Rudi Putra yang turun langsung memberangus sawit yang masuk hutan lindung. Sejauh ini, sudah 200 hektar sawit ilegal yang dimusnahkan. Foto: Rahmadi Rahmad
Rudi Putra yang turun langsung memberangus sawit yang masuk hutan lindung. Sejauh ini, sudah 200 hektar sawit ilegal yang dimusnahkan. Foto: Rahmadi Rahmad

Izin HPH     

Mengapa sawit bisa ditanam di wilayah terlarang? Menurut Rudi, awalnya wilayah ini memang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun, pada 1970-an, pemerintah memberikan izin hak pengusahaan hutan (HPH) kepada PT. Tjipta Rimba Djaya dan PT. Kuala Langsa guna memanfaatkan hasil kutan kayu di wilayah hulu Sungai Tamiang hingga 2001.

Guna memuluskan aksi perusahaan itu, pemerintah kemudian menurunkan status yang awalnya hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas sementara (HPTS). Akibatnya, hutan rusak. Leuser Development Program 2002 mencatat, pada 1985, hutan alam yang berubah menjadi hutan sekunder di KEL sekitar 16,09 persen dari luas 79.701 hektar. Namun, pada 2002, kerusakannya mencapai 77,99 persen yang sekitar 19,348 hektarnya sudah tidak berhutan lagi.

Hal lain yang turut mensukseskan sawit masuk hutan lindung, menurut Rudi, adanya pihak yang mengkonversi lahan atas nama jual beli sekitar tahun 1998, yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Surat tanah dibuat. “Dari sini, awal mula sawit ditanam. Anehnya, praktik ini tidak terendus sama sekali. Dan parahnya, pemilik kebun ini hampir 90 – 95 persen bukan masyarakat lokal. ”

Namun, saat ini para pemilik kebun harus ikhlas sawit mereka yang telah beusia sekitar lima hingga delapan tahun ditebang. Alasannya jelas, mereka melanggar UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan konsekuensi lima tahun kurungan. Mereka juga menanam di kawasan hutan yang memang terlarang.

Restorasi terus dilakukan guna mengembalikan fungsi hutan lindung sebagaimana awalnya. Foto: Rahmadi Rahmad
Restorasi terus dilakukan guna mengembalikan fungsi hutan lindung sebagaimana awalnya. Foto: Rahmadi Rahmad

Apa yang membuat Restorasi ini didukung? Menurut Rudi, pendekatan yang dilakukan ke masyarakat adalah dengan memberikan dua pilihan, menyerahkan lahan atau akan dibawa ke meja hukum. Syukurlah, sebagian besar menyerahkan langsung lahannya, karena mereka sadar bahwa program ini bukan hanya untuk menghijaukan hutan tetapi juga untuk perbaikan lingkungan dan kehidupan masyarakat Aceh Tamiang .”

Ke depannya, wilayah Restorasi ini, dari kawasan paling pinggir dari batas penebangan akan ditanam tanaman hutan dan buah yang bisa dimanfaatkan hasilnya. Misal, durian, petai, jengkol, dan manggis yang dipadu dengan tanaman hutan lokal  seperti damar dan keruing. “Kita sudah kerja sama dengan Pemerintah Aceh Tamiang dan masyarakat. Pola ini tentunya mengedepankan masyarakat agar bisa memperoleh manfaat dari hutan, selain menjaganya,” tutur Rudi yang merupakan Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HakA).

Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga mengalokasikan anggaran pendapatan belanja kabupaten (APBK) untuk melakukan restorasi sekitar 200 – 300 hektar di 2015 ini. Sementara, Dinas Kehutanan Provinsi melalui unit pelaksana teknis daerah telah menganggarkan untuk penanaman pohon seluas 100 hektar yang direncanakan pada Juli atau Agustus ini. Kepolisian, baik Polres Aceh Tamiang maupun Polda Aceh mengirimkan personil untuk patroli bersama. “Semua ini bentuk dukungan agar Restorasi berjalan sesuai harapan,” timpal Tezar.

Hal yang diamini oleh Sofia Adriani, Kepala Bidang Planologi Produksi Kehutanan dan Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang. Menurutnya, Surat Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor 938 Tahun 2014 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan Restorasi Hutan Lindung di Kecamatan Tenggulun merupakan bentuk kepedulian nyata. “Tim ini bertanggung jawab langsung pada Bupati Aceh Tamiang.”

Dalam surat keputusan itu jelas disebutkan bahwa kebun kelapa sawit yang berada di kawasan lindung yang telah diserahkan ke Pemerintah Aceh akan direstorasi secara terencana dan terpadu sehingga kembali ke fungsi awalnya sebagai hutan lindung. “Bupati Hamdan Sati menargetkan, dalam dua tahun ke depan program ini harus selesai,” ujar Sofia.

Kerja sama tim, monitoring, dan evaluasi target kerja selalu dilakukan agar Restorasi berjalan sesuai harapan. Foto: Rahmadi Rahmad
Kerja sama tim, monitoring, dan evaluasi target selalu dilakukan agar Restorasi berjalan sesuai harapan. Foto: Rahmadi Rahmad

Harus dilindungi

Razuardi Ibrahim, Sekretaris Daerah Aceh Tamiang yang juga eks officio Ketua Koordinasi Penataan Ruang Daerah menuturkan, pada prinsipnya hutan lindung di Aceh Tamiang harus dilindungi. Mengingat fungsinya yang penting sebagai penyangga kehidupan terutama pengatur tata air, mencegah banjir, hingga mengendalikan erosi. “Hilangnya hutan tentu menjadi bencana. Karena itu, kita dukung gerakan Restorasi ini yang berarti kita menjaga hutan dan memelihara stabilitas daerah aliran sungai (DAS) Tamiang,” paparnya di Jakarta, Rabu (10/06/15), di sela Seminar “Hutan dan Lahan Kita: Bersama Mencari Harapan”.

Berdasarkan data Bapedalda Aceh 2011, degradasi kawasan hutan atau penurunan luas tutupan di DAS Tamiang mengakibatkan terjadinya sedimentasi pada aliran sungai yang panjangnya mencapai 106 kilometer ini. Hasil pemantauan terhadap air sungai pada 2010 juga menunjukkan bahwa total suspended solid (TTS) telah melebihi baku mutu tinggi dari yang ditetapkan. Kondisi ini tidak hanya membuat air keruh namun juga berdampak pada tercemarnya air sebagai sumber air minum hingga berkurangnya keragaman jenis ikan dan udang.

Secara keseluruhan, luas daerah tangkapan air (DTA) Sungai Tamiang ini mencapai 459.800 hektar. Sebagian besar DTA ini berada di hutan Kawasan Ekosistem Leuser yang sebagian hulu DAS Tamiang ini berada di Kabupaten Gayo dan Aceh Timur.

Banjir bandang yang terjadi pada Desember 2006 adalah akibat rusaknya hutan yang berada di hulu. Karena itu, kebun sawit ilegal yang berada di hutan lindung harus diberantas. “Wilayah Aceh Tamiang rentan terhadap bencana yang terjadi akibat deforestasi di hulu sungainya. Solusi yang harus dilakukan adalah memang menghijaukan kembali hutan yang ada dan membasmi para perambah,” ujarnya.

Menurut Razuardi, komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang terhadap Restorasi tak terbantahkan lagi. Kegiatan ini langsung dipimpin Bupati Aceh Tamiang sebagai penanggung jawab yang sekaligus menentukan arah dan kebijakan Restorasi. “Proses Restorasi diharapkan berjalan optimal, lestari, berkeadilan, dan berkelanjutan,” ujarnya.

Peta Kawasan Ekosistem Leuser, yang merupakan kawasan penting dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sumber: BPKEL
Peta Kawasan Ekosistem Leuser, yang merupakan kawasan penting dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sumber: BPKEL

Senada, Rudi pun menuturkan bahwa sebagai bagian dari KEL, keberadaan hutan lindung yang “hilang” ini tentu saja penting untuk dihijaukan kembali. Terlebih, wilayah Aceh Tamiang merupakan satu dari 13 kabupaten di Aceh yang melingkupi KEL. “Meski harus disadari bahwa bukan hanya kebun sawit yang harus dibenahi melainkan juga perambah yang harus ditertibkan.”

Pastinya, KEL merupakan kawasan penting yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Luasnya yang 2,6 juta hektar membentang luas di Aceh (2,25 juta hektar) dan Sumatera Utara. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional ini mampu mendukung kehidupan sekitar empat juta orang yang berada di sekitarnya.

Di Aceh Tamiang, KEL berada di hulu Sungai Tamiang seluas 79.901 hektar yang meliputi Kecamatan Tenggulun, Tamiang Hulu, Bandar Pusaka, Sekerak, dan Manyak Payed. Berdasarkan SK Menhut No 941 Tahun 2013, luasannya terdiri dari 58.586 hektar sebagai kawasan hutan dan 21.184 hektar sebagai areal penggunaan lain (APL). Sayang, wilayah APL ini telah menjadi perkebunan dan permukiman sedangkan hutan yang tersisa terancam perambahan, pembalakan, dan perizinan.

Secara keseluruhan, KEL berperan besar sebagai pengatur air, pelindung dari bencana ekologis, serta sebagai sumber ekonomi penting bagi masyarakat sekitar dari hasil hutan non-kayu. Berdasarkan penelitian Pieter van Beukering (2002), KEL memberikan jasa ekologi luar biasa bagi masyarakat sekitar. Selain itu, KEL merupakan benteng terakhir bagi kehidupan badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera.

Mengembalikan hutan lindung sesuai fungsinya, berarti kita melindungi fungsi KEL menyeluruh. “Ini tidak hanya penting bagi masyarakat Aceh Tamiang, tetapi juga untuk masyarakat Aceh keseluruhan, Sumatera, Indonesia, dan dunia,” pungkas Rudi.

Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk kawasan KEL di Aceh Tamiang, Aceh, seluas tiga ribu hektar terus dilakukan. Kawasan ini akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,