,

Sagu Risi, Bahan Pangan Ramah Lingkungan dari Bukit Cogong

Sagu diyakini sebagai bahan makanan pokok masyarakat Sumatera Selatan sejak dahulu, bahkan sebelum kelahiran Kerajaan Sriwijaya. Saat ini sagu banyak digunakan sebagai bahan makanan pempek. Diyakini sagu bukan hanya didapat dari pohon sagu, juga dari beberapa jenis tanaman lainnya, seperti sagu risi (Caryota mitis). Ternyata, tanaman ini, banyak ditemukan di wilayah perbukitan di sekitar Bukit Barisan, seperti di Bukit Cogong, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Sejumlah petani yang tergabung dalam Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Bukit Cogong berupaya menjadikan sagu risi sebagai produk andalan desanya.

Selain beras dan umbi-umbian, sagu diduga kuat merupakan makanan pokok masyarakat di Sumatera Selatan sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya. Salah satu bukti makanan berbahan baku sagu yang masih bertahan hingga saat ini yakni lenjeran, yang lebih dikenal sebagai “pempek”.

Selama ini, sebagian orang di Sumatera Selatan berasumsi jika sagu hanya dihasilkan dari pohon sagu yang banyak tumbuh di wilayah lahan basah, seperti rawa gambut. Ternyata, asumsi tersebut sedikit terbantahkan. Sebab ada sejumlah tanaman yang dapat tumbuh di wilayah perbukitan, yang menghasilkan sagu. Namanya sagu risi.

“Tanaman ini sangat banyak di Bukit Cogong. Saat krisis pangan pada 1960-an maupun 1970-an, warga makan sagu risi. Rasanya seperti tepung maizena yang dari jagung itu,” kata Kasto (77), warga Desa Sukakarya, Kelurahan Wana Manunggal, Kecamatan Sumber Harta, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, Minggu (28/06/2015).

“Sebagian warga pernah membuatnya menjadi kue atau pempek. Rasanya juga enak,” lanjutnya.

Pengolahan sagu risi, sama seperti mengolah sagu dari pohon sagu. Pertama, dipilih pohon sagu risi yang sudah besar. Rata-rata panjang lingkarnya 25-30 centimeter. Setelah ditebang, kulitnya dibuang sedalam 5-10 centimeter. Disisakan batang lunaknya.

Batang lunaknya ini kemudian diparut lalu dimasukkan ke kain yang disiram air. Kemudian diinjak atau ditekan sehingga patinya keluar. Dilakukan hingga patinya habis.

Air pati ini disimpan dalam wadah seperti baskom. Diamkan selama satu hari. Kemudian buang airnya. Endapan berwarna putih inilah yang disebut sagu.

Pohon sagu iris yang dapat tumbuh di sela- batu di Hutan Lindung Bukit Cogong. Foto: Taufik Wijaya
Pohon sagu iris yang dapat tumbuh di sela- batu di Hutan Lindung Bukit Cogong. Foto: Taufik Wijaya

Sentra sagu risi

Di Bukit Cogong, sagu risi tumbuh liar, di antara tanaman lain, termasuk di sela bebatuan. “Hampir setiap wilayah hutan Bukit Cogong, kita menemukan sagu risi,” kata Nibuansyah, Koordinator Hkm Bukit Cogong.

Adanya potensi ini, Hkm Bukit Cogong coba memanfaatkan sagu risi sebagai produksi masyarakat, khususnya anggota Hkm Bukit Cogong.

Namun, guna menjadikan sagu risi dalam produksi yang banyak, pihaknya membutuhkan sejumlah bahan baku yang banyak, dan peralatan pengolahan sagu risi. “Tidak membutuhkan lahan khusus, sebab dia dapat tumbuh di mana saja,” ujarnya.

Kemudian peralatan yang dibutuhkan seperti pengupas kulit pohon sagu risi, mesin pemarut, serta alat pemeras.

Selain dijual dalam bentuk sagu, sagu risi juga akan dikelola menjadi makanan, yang juga dijual di lokasi Hutan Wisata Bukit Cogong.

Potensi lain dari hutan Bukit Cogong, yakni kerajinan rotan. Sebab rotan juga tumbuh banyak di hutan tersebut. “Tinggal masyarakat mendapat pelatihan dalam membuat anyaman rotan,” kata Nibuansyah.

Sebagai informasi sagu risi yang memiliki nama latin Caryota mitis, tumbuh di banyak wilayah di Indonesia. Sagu risi dalam bahasa Indonesia bernama sarai. Di Tapanuli dikenal dengan nama andudur, di Maluku disebut beridin, orang Jawa menyebutnya genduru.

Pohon sagu iris tumbuh di sela tanaman lainnya, dengan ukuran lingkar sekitar 25-50 centimeter maka sudah dapat dimanfaatkan sagunya. Foto: Taufik Wijaya
Pohon sagu iris tumbuh di sela tanaman lainnya, dengan ukuran lingkar sekitar 25-50 centimeter maka sudah dapat dimanfaatkan sagunya. Foto: Taufik Wijaya

Pangan ramah lingkungan

Nurhadi Rangkuti, arkeolog yang juga Kepala Balai Arkeologi Palembang, sangat yakin jika sagu sudah dikonsumsi sebagai makanan pokok masyarakat melayu sebelum Kerajaan Sriwijaya. “Tentunya tidak menutup kemungkinan makanan lain seperti beras atau umbi-umbian,” katanya.

Selain banyaknya pohon sagu atau tanaman yang menghasilkan sagu yang tumbuh di wilayah Sriwijaya, baik di wilayah pesisir maupun pegunungan, juga adanya penemuan centong kayu bersama peralatan makan dari batok kelapa dari sebuah kapal. “Bisa saja centong kayu itu merupakan alat memasak atau untuk makan sagu. Apalagi sagu didapatkan dengan mudah dari hutan, yang tidak dibutuhkan lahan dan perlakuan khusus seperti padi,” katanya.

Satu bukti yang kuat, kata Nurhadi, adanya penyebutan pohon sagu dalam Prasasti Talang Tuo. “Pohon sagu disebut dalam taman Śrīksetra  yang dibuat Raja Sriwijaya bersama tanaman lainnya seperti pohon kelapa, pinang, bambu, dan aren,” katanya.

Selain itu, dengan kondisi pangan hari ini, yang sangat tergantung dengan beras, dan juga sumber pangan lainnya yang tidak ramah lingkungan seperti singkong sebagai bahan tepung tapioka, sangat diperlukan adanya bahan makanan pokok lainnya. “Yang saya percaya sudah ditanam dan diolah oleh para leluhur kita di masa lalu. Apalagi kita ini hidup di wilayah hutan tropis, yang kaya dengan beragam jenis tanaman,” ujarnya.

“Keinginan untuk memproduksi sagu dari pohon risi merupakan langkah baik. Jika memang rasanya lebih enak di lidah masyarakat kita, termasuk pula memiliki kandungan gizi yang lebih baik, langkah ini perlu didukung,” kata Nurhadi.

“Selain itu, saya percaya masih banyak tanaman lainnya di Sumatera Selatan, yang dulunya digunakan sebagai bahan pokok makanan, baik berupa sagu, biji-bijian maupun umbi-umbian,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,