Pemberantasan IUU Fishing Belum Didukung Regulasi yang Kuat?

Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan hingga saat ini dinilai belum memberi pengaruh signifikan terhadap penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Ini dikarenakan, isi yang tertuang dalam aturan tersebut belum mengatur menyeluruh tentang pelanggaran yang dilakukan di laut.

Demikian kesimpulan yang muncul dalam workshop bertema “Combating IUU Fishing and Fisheries Crime: Experience Sharing between Indonesia and Norway” di Jakarta, Jumat (3/7/15).

Laode M Syarif, Penasehat Senior Bidang Hukum dan Lingkungan dari Kemitraan mengemukakan, persoalan hukum di wilayah kelautan Indonesia hingga kini memang terkesan abu-abu. Walaupun, secara resmi sudah dilindungi undang-undang.

“Masalah hukum, ini yang masih jadi pekerjaan rumah kita semua. Jika ingin melindungi laut kita dari berbagai hal yang tidak diinginkan, lakukanlah perlindungan menyeluruh yang  komprehensif,” ungkapnya.

Menurut Laode, regulasi hukum tersebut harus dituntaskan karena penanganan hukum yang berkenaan dengan wilayah laut seperti illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing saat ini juga gencar dilaksanakan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beserta aparat terkait.

“Kita ingin segala permasalahan hukum yang berkenaan dengan wilayah laut bisa tuntas. Jangan hanya menyentuh sebagian. Itu sama saja bohong,” tutur Laode.

Yang dimaksud sebagian, sambung dia, adalah bagaimana mengatur regulasi lebih baik lagi. Contoh, jika ada kasus hukum IUU Fishing, saat ini yang bisa dilakukan hanya sebatas memproses ke jajaran petinggi saja. Sementara, untuk korporasinya belum tersentuh.

Untuk itu, Laode mengatakan, harus ada langkah praktis bagaimana memperkuat regulasi yang sudah ada. Caranya, dengan meninjau ulang aturan yang ada dan kemudian memformulasikannya dengan revisi dari aturan tersebut. “Selain itu, harus ada transparansi pajak dari semua potensi perikanan dan kelautan yang ada.”

Kapal Vietnam berbendera Indonesia ini ditangkap saat asik mencuri ikan di perairan Natuna pada 27 Juni 2015. Foto: Aseanty Pahlevi
Kapal Vietnam berbendera Indonesia ini ditangkap saat asik mencuri ikan di perairan Natuna pada 27 Juni 2015. Foto: Aseanty Pahlevi

Eksistensi negara diragukan

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum di wilayah kelautan dan perikanan, negara dinilai belum memiliki posisi yang jelas dan tegas. Bahkan, negara dinilai tidak memiliki kekuatan cukup baik di lapangan.

Demikian menurut Wakil Ketua Tim Satgas IUU Fishing Yunus Husen. “Waktu berkunjung ke Benjina, Wanam, Nabule, kantor pemerintah itu nebeng di kantor (perusahaan) perikanan. Disediakan fasilitas oleh perusahaan, termasuk asrama,” ungkap Yunus.

“Dengan kondisi itu, tidak heran bila pegawai pemerintah tunduk pada perusahaan. Toh, yang sediakan fasilitas juga perusahaan. Disinilah eksistensi negara dipertanyakan,” tambahnya.

Menurut Yunus, kondisi faktual tersebut hampir terjadi di semua pelosok Indonesia dan itu berbahaya jika dibiarkan begitu saja. Karena, jika pemerintah ingin mengamankan wilayah laut dan menegakkan kedaulatan, negara harus memperlihatkan eksistensinya di pelosok.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Kerja sama Internasional dan Antar Lembaga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKPK) Anang Noegroho, sejak dulu aturan wilayah laut perbatasan atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) memang tidak jelas. Meskipun, ZEE sejak dulu sudah ramai disinggahi kapal-kapal asing.

“Dulu itu ada dana ZEE yang masuk dalam rekening investasi. Saat itu pungutan memang sah untuk pembayaran rental di ZEE. Ini memang cukup menyedihkan,” jelas Anang.

Kerja sama internasional

Untuk bisa mendukung aksi pemberantasan IUU Fishing yang tengah dilakukan pemerintah, diperlukan kerja sama internasional yang mencakup instansi dan negara lain. Cara tersebut, dinilai menjadi langkah nyata untuk menghilangkan aktivitas IUU Fishing.

Usulan tersebut diungkapkan Wakil lembaga PBB, FAO di Indonesia, Marks Smulders. Menurut dia, selain ada kerja sama yang diwujudkan menjadi perjanjian internasional, perlu juga ada penghapusan insentif dan penambahan sanksi hukuman kepada pelaku IUU Fishing.

“Buatlah itu lebih sulit bagi pelaku IUU Fishing saat akan mengimpor atau menjual hasilnya,” jelas Marks.

Selain hal di atas, Marks mengungkap bahwa negara manapun yang ingin memberantas aktivitas IUU Fishing di wilayah lautnya, maka mereka harus bisa membuat perencanaan yang baik dan matang dalam regulasinya.

Karena itu, kata dia, harus ada pembaruan regulasi nasional dan pembaruan sistem legislasi nasional. Kemudian, harus ada reformasi di kementerian ataupun departemen terkait dalam melawan IUU Fishing.

“Kemudian perkuat juga register untuk lisensi sistem monitoring kapal dan juga tingkatkan lagi vessel monitoring system (VMS) yang sudah ada. Terakhir, perkuat kontrol di pelabuhan dan dokumentasi,” tandas dia.

Dengan penguatan regulasi dan perangkatnya, Marks meyakini, aktivitas IUU Fishing dan turunannya bisa dihentikan. Termasuk, jika ada kapal yang masih menggunakan bendera berbeda dengan status kepemilikan kapal.”Ini juga bisa mencegah terjadinya transshipment di atas laut. Itu yang harus diperhatikan juga,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,