Ekidna si Mamalia Bertelur, Satwa Asli dari Papua

Satu lagi kekayaan alam Indonesia. Satwa ini memliki tubuh berduri layaknya landak atau hedgehog, caranya mencari makan adalah dengan menggaruk-garukkan tangannya ke batang pohon atau gundukan tanah untuk menemukan makanan favoritnya, yaitu rayap. Tapi tidak sebatas itu saja keunikan satwa yang satu ini, ekidna (echidna, dalam ejaan bahasa Inggris) meskipun termasuk mamalia, tetapi satwa ini bertelur.

Mungkin sebagian dari kita sudah pernah mendengar tentang platipus (Ornithorhynchus anatinus), satwa yang berasal dari belahan bumi selatan, yang memiliki moncong seperti bebek namun termasuk jenis mamalia yang bertelur atau monotremata. Berbeda dengan platipus yang sudah banyak diekpos, ekidna yang berasal dari pulau Papua ini tidak terlalu banyak diketahui, padahal satwa ini adalah asli dari tanah air kita.

Ekidna memiliki ciri tubuh berukuran kecil dan ditumbuhi rambut kasar dan duri. Ukuran Echidna dewasa bervariasi dengan panjang tubuh antara 30-55 cm, panjang ekor antara 7-9 cm, berat tubuh antara 3-6 kg. Ekidna jantan dewasa biasanya memiliki berat tubuh 6 kg, dan yang betina sekitar 4,5 kg. Ekidna adalah hewan nokturnal, yang aktif pada malam hari, dan memiliki sifat hidup yang menyendiri (soliter). Meskipun memiliki duri seperti landak, tetapi ekidna bukan termasuk kelompok landak.

Ekidna memiliki lengan yang kuat dan pendek yang dilengkapi dengan lima buah cakar tajam di setiap lengannya. Moncongnya yang panjang membantu fungsi penciumannya untuk mendeteksi bau makanan, menghindar dari predator lain, maupun untuk mengenali ekidna lain. Meskipun tidak memiliki gigi, namun ekidna memiliki lidah yang lengket yang digunakan untuk menangkap rayap dan insekta. Mereka menelan mangsa secara hidup-hidup.

Yang paling unik dari ekidna, tentunya caranya berkembang biak yaitu lewat bertelur meski ekidna termasuk hewan mamalia. Ekidna betina menelurkan sebutir telur berbulu bercangkang lunak, tepat dua puluh dua hari setelah pembuahan berlangsung, dan meletakkannya di dalam kantung tubuhnya. Telur akan menetas setelah sepuluh hari.

Bayi ekidna yang baru keluar dari dalam telur kemudian akan menghisap susu dari pori-pori kelenjar susu (satwa monotremata tidak memiliki puting) dan akan tetap tinggal di dalam kantung induknya dalam tempo 45-55 hari. Saat ekidna muda mulai tumbuh duri, sang ibu akan menggalikan lubang untuk meletakkan anaknya. Induk betina akan kembali setiap lima hari untuk menyusui hingga ekidna muda berusia tujuh bulan.

Sejauh ini terdapat empat spesies ekidna yang dikenal, yaitu ekidna moncong pendek dari genus Tachyglossus dan tiga spesies ekidna moncong panjang (dari lima spesies) genus Zaglossus yang hingga kini masih bertahan hidup. Terdapat satu genus ekidna lagi yakni Megalibgwilia, namun genus dengan dua spesies ini sudah lama punah. Tampilan spesies ini hanya dapat dikenali dari profil fosil yang ditemukan.

Sebaran ekidna adalah di pulau Papua (Papua dan Papua Niugini) serta Australia. Keempat spesies ekidna termasuk dalam satwa yang diidentifikasi oleh CITES sebagai satwa terancam punah (Critically Endangered), namun sayangnya belum tercatat sebagai satwa yang dilindungi di Indonesia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,