, ,

Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia

Pande Ketut Noling, petani berusia senja ini untuk kali pertama diajari menanam padi model model jajar legowo 2:1, cara baru meningkatkan produksi beras (system of rice intensification/SRI).

Dalam menanam padi di 25 are lahan miliknya, ia mendadak belasan relawan program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, salah satu kawasan warisan budaya dunia (world heritage of subak landscape), Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada minggu kemarin yang dilaksanakan Bank Indonesia perwakilan Bali.

Dengan dibantu 750 relawan antara laiin terdiri dari siswa SLTA polisi, tentara, PNS, penanaman padi selesai dalam 4 jam. “Seru sekali nanam padi, tapi sayang pakai rok. Repot sekali,” kata Dian Aryani dan rekannya, siswa berseragam pramuka dengan kaki dan lengan berlumuran lumpur.

Sistem tanam legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong. Istilah legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal dari kata ”lego” berarti luas dan ”dowo”  berarti memanjang.

Baris lahan kosong dan memanjang ini disebut satu unit legowo, dimana legowo 2:1 berarti dua baris tanam per unit legowo, dan legowo 4:1 berarti empat baris tanam per unit legowo. Model tanam ini diyakini memberikan hasil panen lebih banyak karena kena sinar matahari lebih banyak. Sistem ini menggunakan lebih sedikit bibit, sehingga diyakini lebih hemat air dan pupuk

Noling dan petani lain umumnya memiliki lahan sempit 25 are, berharap uji coba cara baru ini menghasilkan panen lebih baik karena persoalan ketergantungan pangan dan peningkatan biaya pengolahan lahan.

Noling bercerita, biaya tambahan dikarenakan anak mereka malas bertani, sehingga butuh sewa tenga seperti traktor untuk mengolah tanah, biaya pupuk, dan panen. Petani belum bisa sepenuhnya organik.

Hasil panen sekitar 1 ton, yang akan berkurang bila diselip. “Hanya untuk makan sendiri, kalau kurang beli,” sahut Noling. Ia mengaku tak pernah menjual hasil panen karena pas-pasan untuk konsumsi. Jika banyak ada upacara adat dan agama, sering membeli tambahan beras.

Namun ia mengaku akan teguh menjaga tanah warisan leluhur ini. “Tidak akan pernah saya jual karena warisan leluhur,” katanya.

Pande Ketut Noling menanam bibit padi dengan cara jejer legowo di lahannya, dengan dibantu relawan pada program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada awal Juil 2015. Penanaman bibit padi dengan model jejer legowo, diharapkan dapat meningkatkan hasil panen padi. Foto : Luh De Suriyani
Pande Ketut Noling menanam bibit padi dengan cara jejer legowo di lahannya, dengan dibantu relawan pada program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada awal Juil 2015. Penanaman bibit padi dengan model jejer legowo, diharapkan dapat meningkatkan hasil panen padi. Foto : Luh De Suriyani

Senada dengan Noling, Ketut Rauh, mengolah sendiri lahan seluas 30 are, bahkan sering mengupah orang untuk menggarap menanam bibit, dan memanen karena sudah renta. Ia juga tak pernah bisa menjual panennya karena malah sering kekurangan beras untuk makan dan keperluan upacara dan ritual seperti upacara pernikahan, kematian, kedewasaan, dan lainnya.

“Tiap enam bulan sekali panen, hasilnya cuma bisa untuk makan 3 bulan,” kata Rauh. “Payah cari uang biaya Rp800 ribu untuk upah sawah. Masih sering beli beras juga,” kisah Rauh.

Namun ia juga tak akan mau menjual lahan salah satunya karena sawah adalah sumber budaya dan ritual di Bali. “Kalau terus ada sawah ya masih ada upacara. Meyadnya ten pegat (persembahan pada alam tak akan putus),” katanya pelan.

Sang Nyoman Astika, Pekaseh (pimpinan organisasi) Subak Pulagan mengatakan petani memang sulit mendapat penghasilan jika kepemilikan lahannya sedikit. Walau pemerintah dan pihak lain membantu bibit, menurutnya selama petani belum bisa memenuhi pangan dari lahan sendiri akan tetap miskin.

Ia berharap sistem jajar legowo ini memang bisa meningkatkan hasil panen. “Kalau sekarang tanam biasa hasilnya 5-6 ton per hektar. Dengan sistem ini katanya bisa meningkat sampai 10 ton,” ujar pria yang mengkoordinir 110 hektar lahan padi ini. Menurutnya kepemilikan lahan sedikit rata-rata 25 are. Bisa dihitung yang punya lahan di atas setengah hektar.

Untungnya karena petani masih sangat menghormati leluhur, menurut Astika mereka tak akan menjual lahannya. Walau kawasan subak ini di sekitar kawasan wisata, yakni Ubud dan Tegalalang yang diserbu industri wisata seperti hotel, restoran, dan villa.

Agar makin menjauhkan dari alih fungsi lahan, pemerintah membuatkan jalan setapak di areal sawah agar lahan mudah diakses dengan roda 2 seperti motor dan sepeda. “Jalan gampang, petani mudah pulang,” kata Astika.

Pria ini berharap petani bisa mendapat penghasilan dari panen. Ia mengaku sedang menyiapkan Bank Tani. Ia meyakini ketika petani tak bisa mencukupi kebutuhan pangannya tinggal menunggu alih fungsi lahan.

Data BPS tahun 2010 memperlihatkan alih fungsi lahan sawah paling massif di Bali, sekitar 1000 hektar/tahun persawahan hilang pada 2005-2009, dengan 700 orang rumah tangga pertanian berkurang tiap bulan.

UNESCO, Badan PBB untuk kebudayaan pada 2012 menetapkan sejumlah kawasan subak dan area pendukungnya di Tabanan, Badung, dan Gianyar sebagai warisan budaya dunia.

Penetapan lanskap budaya Bali berbasis subak disebut sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana (tiga sumber kesejahteraan) karena prinsip harmonisasi pada alam, Tuhan, dan manusia. Di satu pihak menimbulkan kebanggaan, di lain pihak dinilai melahirkan kegamangan.

Kebanggaan karena penetapan UNESCOini merupakan pengakuan internasional atas prestasi Bali dalam mengukir peradaban pertanian dan penataan lanskap. Sementara kegamangan karena sejauh ini banyak muncul pertanyaan apakah bisa dipertahankan di masa depan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,