,

Menteri Siti: Pemprov Kalbar Harus Bikin Aturan Teknis Terkait Pengelolaan Lingkungan Hidup

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat membuat aturan teknis terkait pasal 69 ayat 2 Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal itu, petani diperbolehkan melakukan pembakaran sebagai bagian dari kearifan lokal.

“Kalau seratus petani membakar lahan, sudah dua ratus hektar juga jumlah titik apinya. Tetapi ini bisa disiasati dengan mengeluarkan peraturan daerah (perda),” ungkapnya.

Siti mencontohkan, Kalimantan Tengah mengantisipasi masalah ini dengan membuat perda larangan melakukan pembakaran di musim kemarau. Siti menyarankan agar Kalimantan Barat membuat surat edaran gubernur, mengenai larangan pembakaran lahan di musim kemarau.

“Tidak dalam status siaga darurat, boleh dikeluarkan gubernur, bupati, atau Komando Satgas Karhutla,” ungkapnya. Namun yang terpenting, masyarakat Kalimantan Barat menyadari sepenuhnya dampak dari pengolahan lahan dengan cara bakar.

Pada 10 Juli 2015, Menteri Siti didampingi Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tri Budiarto, Sekretaris Daerah Kalimantan Barat M Zeet Assovie, dan Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles B. Panjaitan, melakukan pantauan udara di Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Mempawah, dan Landak.

Siti menyatakan, Kubu Raya dan Mempawah yang tampak dari udara mempunyai sebaran hot spots yang kecil, namun banyak. Siti menduga titik api tersebut akibat kegiatan masyarakat yang melakukan pembakaran lahan. Dari pantauan udara, sebarannya terlihat di sekitar perumahan warga.

Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya mengatakan, Kalimantan Barat baru melakukan rapat koordinasi antarinstansi terkait upaya menetapkan status siaga. “Untuk siaga darurat itu bisa ditetapkan gubernur, tetapi untuk darurat harus ditetapkan sedikitnya dua kabupaten,” ujarnya.

Untuk percepatan, Christiandy mengatakan, rapat koordinasi akan ditingkatkan mengingat musim kemarau masih panjang. Selain itu, rekayasa teknologi untuk pengolahan lahan tanpa bakar juga akan terus dilakukan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura tengah mengembangkan penggunaan trichoderma.

Biang trichoderma sp. yang dapat dikembangkan. Sumber: Indonesia Bertanam.com

Trichoderma adalah sejenis cendawan yang dapat menambah unsur hara tanah. Nantinya, cendawan ini akan berperan penting dalam pengolahan lahan tanpa bakar. Selain berkembang alami, trichoderma juga dapat dibiakkan secara buatan. Penggunaan trichoderma di Kalimantan Barat sudah disosialisasikan sejak 2010, namun, kegunaannya lebih pada pemupukan.

Menurut Christiandy, upaya alternatif untuk mengolah tanah tanpa bakar sudah dilakukan. Namun, cukup sulit mengubah kebiasaan masyarakat dan ditambah pula musim kemarau yang dengan mudah memicu kebakaran lahan.

Tidak hanya trichoderma, beberapa mekanisme lain dengan menjadikan rumput sebagai pakan ternak, sehingga tidak perlu dibakar juga sudah disosialisasikan. Termasuk dengan memilih komoditi yang tahan di lahan gambut, seperti lidah buaya, jagung, dan nenas. “Berbagai sisi sudah dilakukan, tetapi masih terjadi. Semua pihak memang harus bekerja sama,” jelas Christiandy.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,