,

Mengelola Sumber Daya Alam dengan Arisan Sungai. Bagaimana Caranya?

Ini bukan arisan biasa. Pesertanya terbatas nelayan saja. Diundi sekali dalam setahun, arisan sungai jadi ajang silaturrahim tahunan bagi masyarakat nelayan di Desa Empangau.

Arisan sungai sesungguhnya lahir dari ide kecil di tahun 1990-an. Bagi warga desa yang terletak di Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, model pengelolaan sumber daya alam seperti ini akhirnya menjadi tradisi yang berkelanjutan. Warga menyadari, sewaktu-waktu potensi ikan akan habis jika sumber daya alam terus dikuras ramai-ramai.

“Ikan di sungai pasti habis jika dikeroyok setiap hari oleh nelayan. Ini yang membuat kami tetap mempertahankan arisan sungai sampai hari ini,” kata Joni Karyadi, Kepala Desa Empangau, ketika Mongabay Indonesia menyambangi kediamannya, awal Juni 2015.

Dia menjelaskan, arisan sungai ini murni lahir dari inisiatif lokal masyarakat Desa Empangau. Tidak kurang dari 30-an sungai besar dan kecil mengalir di sekitar desa. Sementara jumlah nelayan peserta arisan berkisar 281 orang dari 1.060 jiwa atau 293 keluarga penduduk Desa Empangau.

Dari situ, kata Joni, inisiatif tersebut terus dipertahankan dengan harapan potensi ikan di sungai dapat terkelola secara bijak. “Begitulah cara kami memanfaatkan sungai-sungai di sekitar kampung,” ucapnya.

Dua warga Desa Empangau sedang bekerja sama menjemur ikan hasil tangkapan di sungai. Foto: Andi Fachrizal
Dua warga Desa Empangau sedang bekerja sama menjemur ikan hasil tangkapan di sungai. Foto: Andi Fachrizal

Arisan sungai ini rutin dilaksanakan setiap 1 Januari. Seluruh nelayan yang hendak mengikuti arisan akan hadir. Salah satu poin yang senantiasa dibahas adalah sistem pemasangan alat tangkap ikan.

Jika diperoleh kata sepakat, arisan dimulai. Nomor undian akan dijual seharga Rp1.000 per lembar melalui ketua rukun nelayan. Nelayan boleh mengambil karcis sebanyak-banyaknya.

Caranya, nelayan datang mendaftarkan diri dengan membawa sebanyak-banyaknya nomor undian kepada Ketua RT masing-masing selaku penanggung jawab. Jika seorang nelayan punya uang sebesar Rp10 ribu rupiah, maka dia punya peluang 10 nomor undian.

Setelah nelayan menyetor ke Ketua RT, kemudian melaporkannya pada pengurus rukun nelayan, arisan pun dimulai. Pencabutan undian menggunakan wadah dari ember yang biasanya berisi 15 ribu nomor. Bagi nelayan yang beruntung, maka dialah yang berhak mengelola sungai untuk masa satu tahun.

Namun demikian, pemenang undian masih dibebani biaya tambahan. Namanya harga sungai. Bagi nelayan yang memenangkan arisan di sungai besar, akan dibebani harga sungai sebesar Rp200 ribu per tahun. Tapi jika sungainya kecil, nelayan hanya dibebani harga sungai sebesar Rp 50 ribu per tahun. Uang arisan dan harga sungai mutlak masuk ke kas Danau Lindung Empangau.

Community Empowerment Coordinator WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, Anas Nashrullah, mengatakan mekanisme cabut undi ini sudah sejak lama dilakukan masyarakat desa dan merupakan cara turun-temurun yang sudah mereka cantumkan di dalam buku adat.

“Buku adat ini sudah pula diterjemahkan ke dalam peraturan nelayan. Kenapa harus ada arisan? Sebab, jika tidak ada mekanisme cabut undi, untuk mengelola satu sungai saja bisa-bisa akan terjadi konflik antar-dusun,” jelasnya.

Oleh karenanya, kata Anas, mengacu pada sistem aturan adat dalam mengelola sungai ini, pemenang undian dipersyaratkan berbagai hal. Misalnya, si nelayan pemenang sendiri yang mengelola sungainya. Hasil undian tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual lagi.

Pun, jika nelayan pemenang arisan tidak mampu mengelola sendiri sungainya akibat potensi ikan yang berlimpah-ruah, maka nelayan yang bersangkutan boleh membawa serta keluarga besarnya untuk mengerjakan dengan cara bagi hasil.

Bagi warga Desa Empangau, sampan adalah moda transportasi utama guna memenuhi kebutuhan hidup. Foto: Andi Fachrizal
Bagi warga Desa Empangau, sampan adalah moda transportasi utama guna memenuhi kebutuhan hidup. Foto: Andi Fachrizal

Bagi yang kurang beruntung, tidak perlu berkecil hati. Sebab, tidak semua kawasan perairan seperti sungai dan danau di Desa Empangau dibatasi penangkapannya. “Kalau semua jadi zona yang diarisankan, sebagian besar nelayan yang tidak mendapatkan hak kelola sungai tidak akan mendapatkan apa-apa,” kata Anas.

Oleh karenanya, masyarakat umum juga bisa memanfaatkan zona umum atau zona ekonomi. Khusus kawasan hutan rawa masih bisa dimanfaatkan sebagai area tangkap. Tetapi, untuk memanfaatkan zona itu, nelayan dipungut biaya Rp10 ribu per sampan untuk sekali turun menangkap ikan.

Sementara untuk menjaga kepadatan ikan, jelas Anas, masa pengelolaan sungai melalui arisan setiap tahunnya akan berakhir pada 31 Desember. “Jadi, di setiap akhir tahun semua alat tangkap yang dipasang di sungai harus diambil oleh nelayan pengelola sungai,” ucapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,