,

Di Aceh, Hiu merupakan Buruan Primadona

Di Aceh, hiu masih menjadi buruan utama nelayan. Ini dikarenakan harganya yang tinggi, terutama bagian sirip yang laku dijual hingga ke luar negeri.

Yudi Herdiana, Marine Program Manager Wildlife Conservation Society (WCS), mengatakan bahwa dari berbagai jenis hiu yang ada di Indonesia, di Aceh terdapat empat jenis hiu yang telah dilindungi. Namun, aturan perlindungan tersebut baru sebatas larangan ekspor, bukan larangan penangkapan.

Tiga hiu dilindungi tersebut merupakan jenis hiu martil (Sphyrna spp) yang meliputi Sphyrna lewini, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokarran. Sementara satu jenis lagi adalah Carcharhinushinus longimanus yang biasa kita sebut hiu koboi.

“Sejak 2012, kami telah melakukan pemantauan hiu di Aceh. Salah satunya di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Hasilnya, kami menemukan ada perburuan hiu martil. Ini dikarenakan sebagian besar nelayan belum paham karena kurangnya sosialisasi ke mereka,” ujarnya, Kamis (30/7/15).

Tantangan lain menurut Yudi adalah, yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini baru membatasi ekspor hiu. Pemerintah masih menganggap hiu sebagai sumber daya perikanan, sebagaimana jenis ikan lainnya. “Kami terus mendorong agar ada pengelolaan yang lebih baik terhadap keberadaan hiu di Indonesia, khususnya jenis yang rentan dan terancam punah. Untuk itu, perlu kajian kebijakan tingkat lokal mengenai aturan penangkapan dan perlindungan habitat hiu.”

Berdasarkan data yang dikumpulkan WCS (Marine Program), total produksi hiu dan pari yang berasal dari Aceh mencapai 118.000 ton. “Aceh termasuk salah satu daerah pemasok terbesar di Indonesia. Para nelayan yang menggunakan long line (pancing dengan tali panjang) akan menjadikan hiu sebagai target utama, sementara yang menggunakan alat tangkap jaring, menjadikan hiu dan pari sebagai target sampingan,” papar Yudi.

Hiu martil yang saat ini dilindungi namun masih sebatas larangan ekspor, bukan penangkapan. Foto: WCS
Hiu martil yang saat ini dilindungi namun masih sebatas larangan ekspor, bukan penangkapan. Foto: WCS

Dede Suhendra, WWF Indonesia-Aceh, menuturkan masih terjadinya perburuan hiu di Aceh dikarenakan adanya permintaan sirip hiu dipasar nasional maupun internasional seperti Singapura. Menurut Dede, sejauh ini pemerintah belum mengeluarkan larangan tegas baik penangkapan maupun perdagangan sirip hiu. “Aturan penangkapan hiu untuk diambil siripnya hanya dalam Kepmen KKP Nomor 59 Tahun 2014 tentang pelarangan sementara ekspor sirip hiu martil dan hiu koboi sejak 11 Desember 2014 hingga 30 November 2015.”

Pada level internasional, larangan perdagangan hiu disepakati dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar (CITES) di Bangkok pada 2013. Di beberapa negara sudah mulai banyak yang mendorong penolakan untuk mengonsumsi sirip hiu. “Dengan masuknya empat jenis hiu tersebut dalam Apendiks II CITES, penangkapan hiu harus dalam pengawalan ketat. Para pedagang sirip hiu harus mendapatkan izin dan sertifikat dari pihak berwenang.”

Menurut Dede, yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah membuat aturan tentang penangkapan dan perdagangan sirup hiu, serta mengalihkan nelayan yang memburu hiu ke penangkapan ikan lain. “Patut diingat, pemburu hiu itu bukan hanya nelayan kecil, pemilik kapal ukuran besar dengan teknologi canggih juga melakukan,” ujarnya.

Sirip hiu yang dijual di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Sirip hiu yang dijual di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Pasar

Bustami, nelayan di Pelabuhan Lampulo, Kota Banda Aceh, mengaku dirinya hampir setiap hari memburu hiu hingga ke Samudera Hindia atau perbatasan Selat Malaka dengan Samudera Hindia. Menurut ayah tiga anak ini, biasanya sekitar tiga atau empat ekor hiu yang didapat pastinya akan dibawa pulang. Hiu tersebut akan dijual ke pedagang di pelabuhan, sementara siripnya sudah ada menanti alias pembeli tetap. “Yang mahal itu sirip. Kalau dagingnya, utuk seekor hiu dengan berat 30 kilogram dihargai 400-500 ribu rupiah.”

Bustami yang telah belasan tahun memburu hiu mengaku belum mengetahui bila perburuan hiu dilarang terhadap jenis tertentu. Menurutnya, ia tidak pernah ditegur atau dilarang siapapun. Bahkan sirip hiu yang dijemur di pinggir jalan juga tidak ada yang melarang. “Dibanding polisi atau aparat terkait, kami lebih khawatir dengan wartawan yang mengambil gambar proses penurunan hiu di pelabuhan. Mengapa? Karena inilah pekerjaan kami.”

Rahmad, salah seorang penampung sirip hiu di Pelabuhan Lampulo mengatakan, sirip hasil tangkapan nelayan di Aceh, umumnya di jual ke Medan, Sumatera Utara. Dari Medan, lalu dijual ke luar negeri. “Kami hanya mengeringkan saja, kemudian kami jual. Harganya mulai 700 ribu hingga 1 juta rupiah per kilogram,” jelasnya.

Hiu yang diperdagangkan di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Hiu yang diperdagangkan di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Situasi di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Situasi di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,