, , ,

Kala Warga ke Jepang Gugat Bank Pendana PLTU Batang

Sudah lebih 25 kali, kita bertemu berbagai pihak di Indonesia. Tidak didengar. Jadi kami pergi ke Jepang,” kata Abdul Hakim, perwakilan warga Batang, Jawa Tengah, Senin (3/7/15), di Jakarta, usai kembali dari Jepang.

Ke Jepang, tiga warga Batang, Cayadi, Abdul Hakim dan Karomat,  menemui sejumlah pihak terkait pembangunan PLTU. Mereka juga mewakili Paguyuban UKPWR, memasukkan surat gugatan resmi kepada JBIC sesuai mekanisme internal bank Jepang itu. 

Paguyuban UKPWR merupakan representasi warga Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban, yang menolak pembangunan PLTU Batang. JBIC,  merupakan bank yang berencana mendanai proyek PLTU yang dikerjakan PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dan PT PLN.

“Kami menemui pihak-pihak yang berkaitan PLTU Batang mencari dukungan dan menyampaikan yang sesungguhnya terjadi,” kata Abdul.

Dalam kunjungan resmi ke parlemen Jepang di Tokyo, warga menyerahkan dokumen setebal 35 halaman berisi keberatan atas proyek ini. Ia memuat dampak dan kerugian yang sedang dan akan dialami warga. 

Tiga anggota parlemen Jepang, Mr. Motoyuki Odachi, Ms. Akiko Kurabayashi, dan Mr. Yukihiro Shimazu menyaksikan langsung penyerahan surat gugatan warga Batang kepada JBIC.

Dalam sambutan, Akiko menyatakan akan mendesak JBIC menghormati hak masyarakat UKPWR, dan membatalkan rencana bank ini mendanai proyek raksasa senilai Rp53 triliun ini. Sebab, dalam proses JBIC melanggar pedoman investasi sendiri.

Mr. Kuniyasu Kikuchi, Direktur JBIC yang menerima langsung gugatan, menyatakan, sampai saat ini JBIC belum memutuskan mendanai atau tidak PLTU Batang. JBIC akan membawa surat gugatan warga ke rapat dewan pertimbangan. Dari hasil rapat itulah keputusan JBIC ditentukan. Kuniyasu juga menyatakan JBIC akan mempertimbangkan untuk membatalkan rencana pendanaan PLTU ini jika fakta-fakta dalam surat gugatan warga terbukti benar.

Beberkan dampak buruk PLTU

Dokumen ini berisi penjelasan dampak dialami warga akibat rencana PLTU Batang selama tiga tahun terakhir. Warga mengalami intimidasi, kekerasan fisik, kriminalisasi akibat protes damai, persidangan tidak adil, kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Bila proyek masih berlanjut, warga akan mengalami gangguan kesehatan, kehilangan hasil panen, serta tempat tinggal.

Bila proyek berjalan, setidaknya 120 hektar sawah (tiga kali panen per tahun), 50 hektar kebun bunga melati, dan 50 hektar kebun coklat dan pisang akan musnah. Warga akan kehilangan sumber kehidupan. “Proyek ini sudah merusak sumber hidup kami. Kami kehilangan banyak uang karena sawah rusak akibat proyek ini,” begitu tertulis dalam dokumen.

Cayadi, warga Batang merasakan pengairan yang tidak baik setelah ada proyek ini. Irigasi terganggu karena ada pembangunan tanggul tinggi oleh perusahaan. “Kalau lahan saya mau tetap terairi dengan baik, kami harus bangun bak penampungan air lebih tinggi lagi, tapi itu bisa membuat banjir lahan petani lain.”

Ada 2000 nelayan di Desa Roban akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan bila PLTU Batang berjalan. Lokasi PLTU akan menggusur salah satu kawasan tangkap ikan terbaik di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

Kawasan Ujungnegoro-Roban dimana PLTU Batang merupakan area dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 serta Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 6/2010.

Di samping itu, proyek pembangunan PLTU Batang telah menyebabkan empat petani dan satu nelayan dipenjara serta mengalami persidangan tidak adil. Salah satu, Cayadi dari Desa Karanggeneng, dipenjara tujuh bulan karena dianggap memukul warga saat pertemuan membahas PLTU Batang di balai desa.

“Saya tidak ada di sana saat itu. Menurut teman-teman, preman yang menyamar sebagai warga memukul mulutnya sendiri, kemudian menuduh saya memukul. Padahal saya tidak ada di sana,” katanya. Cayadi dibebaskan di pengadilan pertama karena terbukti tidak bersalah. Jaksa mengajukan kasasi. Pada 2014, Mahkamah Agung menyatakan Cayadi bersalah dan dihukum tujuh bulan penjara. Dia jalani masa tahanan dari Mei hingga Desember 2014. “Tujuannya untuk melemahkan perjuangan warga. Itu tidak berhasil.”

Aksi masyarakat Batang ke Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi untuk bertemu Menko Ekonomi, Hatta Rajasa, Rabu(30/4/13). Mereka meminta pertanggungjawaban Hatta selaku Menko Ekonomi sekaligus ketua harian MP3EI. Foto: Sapariah Saturi

Dokumen mencatat rinci terkait kerugian yang dialami Cayadi selama berada dalam tahanan. Cayadi, tulang punggung keluarga, sebulan dia bisa menghasilkan Rp 5-6 juta. Istrinya, Nuraenah, hanya bisa menghasilkan Rp1 juta per bulan. Keluarga ini kehilangan Rp4-5 juta per bulan (Rp28-35 juta selama tujuh bulan). “Beratlah rasanya. Saya sebelumnya tak pernah mencangkul, karena Bapak dipenjara, jadi harus turun ke sawah. Untung masih bisa menghasilkan,” kata Nuraenah.

Tak cukup disitu. Cayadi bercerita, sejak 2013, empat kali preman datang ke rumah mereka dan minta agar mau menjual lahan. “Saya tidak mau, kalau dijual hilanglah warisan leluhur. Ketika saya dalam penjara pun masih ada juga yang datang minta saya menjual lahan. Katanya kalau saya mau jual, saya akan dibebaskan. Saya tetap tidak mau.”

Selama seminggu di Jepang (28 Juli-2 Agustus),  warga juga menemui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Tenaga Kerja serta pihak-pihak lain terkait proyek PLTU Batang. Warga juga berkunjung ke Kyoto, jumpa dengan warga Jepang yang menolak pembangunan PLTN di negaranya.

Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, mengatakan, informasi penting dari Jepang, ternyata JBIC belum memutuskan akan mendanai PLTU Batang atau tidak.

“Kami optimis JBIC menolak pendanaan setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Reputasi Jepang akan jadi taruhan bila JBIC mendanai proyek kotor ini,” katanya.

Dia mengatakan, selama empat tahun terakhir, proyek kotor ini dilakukan secara kotor. Warga yang menolak menyerahkan lahan mengalami intimidasi, dipukul preman, tentara, polisi, sampai dipenjara. “Banyak pindah karena tak tahan intimidasi terus-menerus. Terparah, warga terpecah belah, perusahaan mempekerjakan warga desa menjadi preman yang mengintimidasi dan mengancam warga lain yang tidak mau melepaskan lahan.”

Hingga kini, sekitar 70 pemilik lahan masih menolak total 20 hektar hingga proyek masih belum berjalan. Pada 6 Oktober ini tenggat akhir dari donor menyelesaikan pembebasan lahan. Protes warga yang konsisten ini menyebabkan proyek tertunda selama tiga tahun.

Usai konferensi pers, perwakilan warga Batang bertemu Deputi III Menko Bidang Kemaritiman Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaluddin dan Penasehat Menko Maritim Sarwono Kusumaatmaja. Dalam pertemuan ini, hadir perwakilan PLN dan BPI. BPI diwakili Direktur Mohammad Effendi dan Presiden Direktur Kenichi Seshimo.

Dalam pertemuan, seluruh perwakilan warga menyampaikan masalah yang dialami selama pembangunan PLTU Batang. Mulai intimidasi, kriminalisasi, serta pemaksaan penjualan lahan. Perwakilan warga yang hadir, Abdul Hakim, Cayadi, Karomat, Untung, Warjoyo, Khumaidi, dan Rokiban. Warga didampingi Arif Fiyanto, Desriko dan Longgena Ginting dari Greenpeace Indonesia.

Seluruh perwakilan warga yang hadir menegaskan kembali penolakan terhadap PLTU Batang. “Mereka menolak melepas lahan dengan harga berapapum,” kata Arif. Sementara PLN dan BPI, tidak berbicara sama sekali dalam pertemuan itu.

Aksi warga Batang ke Jepang. Mereka menyerahkan surat gugatan ke JBIC, bank yang akan mendanai proyek PLTU Batang. Foto: Greenpeace
Aksi warga Batang ke Jepang. Mereka menyerahkan surat gugatan ke JBIC, bank yang akan mendanai proyek PLTU Batang. Foto: Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,