,

Siamang, Owa Besar Sumatera yang Terlupakan oleh Dunia

Truk terbuka itu mengerem untuk berhenti, kami pun bergegas turun untuk menuju ke jalan setapak. Pemandu kami memberi kode agar kami bergerak cepat, namun tetap diam tidak bersuara. Dalam lebatnya tajuk pohon di hutan Sumatera, kera jantan besar itu menggelegar, suaranya memekakkan telinga.

Seekor betina dan anaknya telah menghilang karena suara kendaraan kami, namun yang jantan mencoba mengalihkan perhatian dengan suaranya itu.

Kami mendongakkan kepala ke arah sumber suara, sambil mengarahkan teropong kami.

Si owa besar, siamang, mengintip ke bawah ke arah kami, masih dengan lolongannya. Kantung tenggorokannya menonjol. Bahunya yang kuat, panjang dan ramping mengayunkan dirinya secara atletis dari satu tajuk ke tajuk berikutnya. Dengan sorot mata baja dan gerak mengguncang dahan, seolah dia berkata “Hai penyusup, aku melihatmu. Aku tidak takut.”

Kami tidak berlama-lama tinggal di tempat itu agar keluarga siamang itu tidak lagi terganggu di tempat tinggalnya, yaitu di puncak pohon. Meskipun saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya, namun setiap paginya suara siamang di TN Way Kambas bagaikan orkestra liar yang menggelegar kala fajar merekah. Suara yang tidak pernah bisa saya lupakan.

Saya pun langsung teringat pernyataan Tim O’Brien, seorang ilmuwan senior dan ahli primata di Wildlife Conservation Society, tentang “koor pagi yang teramat indah,” yang membuat dia langsung terpikat dengan spesies ini.

Si Kera Penyanyi dan Jagoan Berayun

Susan Lappan, seorang antropolog di Appalachian State University, menjelaskan bahwa “lagu-lagu berirama” biasanya merupakan duet antara pasangan jantan dan betina yang “dijalin bersama menjadi tampilan vokal yang rumit yang dikoordinasikan dengan gerakan akrobatik melalui pohon-pohon.”

Para peneliti percaya bahwa jenis-jenis owa, termasuk siamang, bernyanyi untuk menandai wilayah mereka, membentengi ikatan keluarga, melindungi pohon buah terbaik dan upaya untuk menarik perhatian pasangan, khusus yang terakhir mirip dengan apa yang umum dilakukan oleh manusia juga.

Bakat bawaan jenis owa ‘untuk bersuara secara eksotis’ dengan nada vokal terbentang layaknya seruling Jepang hingga raungan sirene polisi dan kemampuannya akrobatiknya yang luar biasa telah menyebabkan keluarga primata ini dijuluki “kera bernyanyi yang senang berayun bebas” menurut Lappan.

Tapi seluruh keahlian yang tersebut tidak membawa siamang, dan spesies owa lain, serta merta menjadi pusat perhatian dunia. Sejak lama mereka telah diabaikan oleh para konservasionis, ilmuwan dan masyarakat global, setidaknya jika dibandingkan dengan kera besar, harimau, gajah dan badak, bahkan saat mereka menghadapi banyak bahaya yang sama seperti mamalia besar Asia lainnya. Padahal saat ini, siamang pun telah terdaftar sebagai satwa terancam punah (endangered) oleh IUCN Red List.

Mayoritas siamang yang tersisa di dunia ditemukan di Sumatera. Meski terdapat populasi lain di daratan Asia, yaitu Semenanjung Malaysia dan Thailand, meski para konservasionis masih memperdebatkan apakah kedua populasi tersebut (yang ada di Sumatera dan daratan Asia) mewakili dua sub spesies yang terpisah.

Bukan hanya siamang, spesies owa yang terancam kepunahan. Dari enam belas jenis owa yang ada dalam daftar IUCN Red List, satu dianggap rentan, sebelas dianggap langka dan empat dalam status kritis punah (critically endangered).

Jarang berada di tanah di alam liarnya, siamang yang hidup di kebun binatang ini menikmati buah favoritnya. Siamangs adalah penyebar biji yang luar biasa yang menjadi aktor penting bagi keragaman di hutan hujan tropis. Foto: Greg Timbangan, Creative Commons 2.0.

Morfologi siamang

Siamang digambarkan sebagai jenis owa raksasa. Ukuran tubuhnya dapat mencapai satu meter dengan berat 14 kg, dua kali ukuran tubuh dari jenis owa lainnya, meski masih tetap lebih kecil dari ukuran kera besar lain seperti orangutan dan simpanse. Siamang dikelompokkan sebagai owa (gibbons) dari famili Hylobatidae, namun memiliki genus mereka sendiri, yaitu Symphalangus.

Tidak hanya berbeda dalam bentuk ukuran, siamang adalah satu-satunya keluarga owa yang memiliki kantung tenggorokan yang dapat digembungkan, yang disebut gular, mirip dengan yang dimiliki oleh burung frigate, beberapa jenis belibis dan katak. Ketika sampai pada titik maksimalnya, gular dapat lebih besar dari ukuran kepala siamang. Gular berguna untuk memberi dorongan (semacam bag pipe) yang secara signifikan meningkatkan volume kekerasan suaranya.

Bagi Lappan, siamang tidak hanya berbeda secara fisik dari owa kerabatnya, salah satu yang menarik perhatiannya adalah bagaimana siamang mengasuh anak-anak mereka.

“Siamang adalah satu-satunya spesies owa di mana sang jantan sangat terlibat dalam perawatan bayi,” jelasnya. Dia mencatat bahwa siamang jantan turut merawat bayi mereka hingga mencapai usia satu tahun. “Siamang muda umumnya mulai berbagi tempat tidur dengan induk jantannya, bukan dengan ibu mereka, ketika adik mereka lahir, siamang remaja terus berbagi tempat tidur dengan induk jantan hingga mereka berusia 4 hingga 5 tahun.”

Meskipun umumnya berpasangan monogami dan mengasuh anak secara bersama, namun penelitian O’Brien menyebutkan bahwa terdapat pula kelompok siamang yang bersifat poliandri, dimana satu betina memiliki beberapa jantan sebagai pasangannya.

Siamang jantan yang ada di TN Way Kambas, bergantung di pohon, bereaksi ketika ada penyusup. Foto: Tiffany Roufs

Seperti semua jenis owa lainnya, siamang adalah spesialis akrobat arboreal yang mampu melakukan gerakan yang sulit di puncak-puncak tajuk pohon hutan hujan tropis dengan mudah. Sembari bergerak menyangga tubuhnya, siamang berayun diiringi dengan lagu-lagu mereka.

Dalam peran ekologisnya, siamang memainkan peran penting di hutan tropis sebagai penyebar benih. Mengacu pada penelitian Mohamad Rusmanto, seperti yang disebutkan oleh Lappan, saat buang air besar beberapa biji disebarkan ‘secara utuh dan tidak rusak berjarak ratusan meter dari pohon induknya.’

Dengan demikian, siamang membantu penyebaran biji makanan favoritnya agar jenis-jenis vegatasi itu dapat bereproduksi. Bayangkan, jika siamang punah dari alam, maka agen layanan penyebaran benih tersebut hilang, sesuatu yang akan berdampak pada degradasi hutan secara jangka panjang.

Spesies yang Diabaikan Dunia

Meskipun penting secara ekologi, siamang dan berbagai jenis owa lainnya hanya mendapat perhatian minim dari upaya konservasi dan riset. Ketika bicara tentang satwa liar Sumatera, perhatian akan berkisar pada empat spesies utama: orangutan, gajah, harimau dan badak. Siamang dan dua spesies owa lainnya di pulau ini jarang sekali disebutkan.

Menurut Lappan, pengabaian ini awalnya mungkin berasal dari sikap masyarakat yang lebih intensif memperhatikan spesies yang lebih besar.

“Badak, harimau dan gajah telah akrab dengan masyarakat dunia selama beberapa dekade,” katanya. “Sebelum studi lapangan jangka panjang pertama siamang pada 1970-an, hampir tidak ada yang mengetahui tentang perilaku dan ekologi owa ini.”

Menurut O’Brien hal tersebut mungkin berhubungan dengan cara pandang dunia terhadap jenis-jenis owa yang disebut sebagai “kera kecil”. Menurutnya, penamaan gibbons berasosiasi kepada “jenis kera yang memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dengan sepupu kera besar mereka.” Sayangnya label ini telah membuat satwa ini menjadi kurang karismatik, kurang menarik dan kurang menarik perhatian ketimbang yang disebut sebagai “kera besar” (great apes).

Nasib serupa tampaknya telah menimpa banyak jenis-jenis kucing liar berukuran kecil di dunia, seperti margay (Leopardus wiedii) di Amerika Tengah atau kucing emas afrika, dua spesies yang lama diabaikan oleh konservasionis dan peneliti; bahkan seperti nasib satwa-satwa berukuran kecil lainnya, termasuk jenis-jenis kera kecil, saat ini statusnya telah bergeser dari status aman menjadi terancam.

Dua bayi siamang piatu yang ada di Louisville Zoo. Siamang adalah spesies owa yang induk jantan terlibat dalam perkembangan anak mereka Foto: Ltshears, Creative Commons 2.0

Gap Konservasi

Sedikit yang diketahui tentang keadaan populasi siamang hari ini. Para ilmuwan sebagian besar berfokus pada riset yang berhubungan dengan perilaku siamang, lagu atau gerak, sementara hanya sedikit studi yang melihat ancaman dan status owa raksasa ini. Di Sumatera misalnya, para konservasionis dapat memberikan perkiraan yang cukup baik berapa jumlah harimau, badak atau gajah yang tersisa, bahkan IUCN sendiri pun tidak memberikan perkiraan kasar dari jumlah total siamang.

“Sebagian besar populasi siamang belum disensus, namun diperkirakan puluhan ribu siamang masih hidup di dalam dan sekitar beberapa taman nasional di Sumatera,” tutur Lappan. Pada tahun 2002, sebuah survei populasi siamang di TN Bukit Barisan Selatan, salah satu kawasan konservasi terbesar di Sumatera bagian selatan, memperkirakan wilayah tersebut adalah tempat bagi sekitar 22 ribu individu spesies ini.

“[Sumatera mungkin harapan terakhir] saat sebagian besar Semenanjung Malaysia saat ini telah gundul. Ada kekhawatiran besar tentang status siamang di Malaysia dan Thailand selatan,” jelas Lappan melanjutkan.

Lembaga konservasi internasional, IUCN bahkan mulai memberi peringatan tentang turunnya jumlah populasi siamang di dunia. “Setidaknya populasi siamang telah berkurang 50 persen selama 40 tahun terakhir (tiga generasi) akibat perburuan, perdagangan satwa peliharaan dan hilangnya habitat tempat hidup.”  Laporan jumlah populasi terakhir dilakukan tujuh tahun terakhir, padahal banyak wilayah yang telah kehilangan kawasan hutannya sejak saat itu.

Mungkin siamang termasuk spesies yang kurang beruntung tinggal di negara yang termasuk dua peringkat terbesar deforestasi tercepat di dunia. Indonesia adalah penggundul hutan terbesar di dunia, melebihi Brasil, sementara Malaysia pun sama saja. Lebih buruk lagi, Sumatera adalah pulau yang paling banyak kehilangan hutan di seluruh Asia. Sumatera telah kehilangan 85 persen hutan dalam 50 tahun terakhir, dan itu terus berlangsung.

Pada tahun 2008, seperti perkiraan IUCN, siamang telah kehilangan 70-80 persen habitat utamanya di Indonesia, Malaysia dan Thailand.

Siamang, jagoan berayun dari dahan ke dahan. Foto: Brent Moore, Creative Commons 2.0

Satu-satunya kabar baik adalah siamang merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi dari hilangnya habitat dibandingkan dengan berbagai spesies hutan hujan lainnya, termasuk jenis-jenis owa lainnya. Siamang masih mampu hidup di hutan sekunder, yang memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan hutan hujan primer. Namun para saintis tidak percaya bahwa siamang dapat tetap bertahan hidup di area monokultur seperti sawit, kopi, HTI akasia yang telah menggantikan secara cepat hutan tempat mereka hidup dalam beberapa dekade terakhir ini.

“Siamang dan jenis owa lainnya hidup di pepohonan dan memerlukan dahan di kanopi pohon untuk bergerak,” jelas O’Brien. “Kalau hutan ditebang, petak yang tersisa menjadi terisolasi dan menjadi terlalu kecil untuk mendukung populasi siamang yang layak.”

Siamang pun menghadapi ancaman tambahan, yaitu perdagangan satwa peliharaan ilegal. Menurut sebuah laporan tahun 2009 tentang perdagangan owa di Sumatera, siamang jarang diperjualbelikan secara terbuka, namun dapat dengan mudah diperoleh di pasar ilegal.

“Para pedagang satwa di pasar dapat mengatur penjualan mamalia besar seperti orangutan, siamang, harimau sumatera, beruang madu dan satwa lainnya jika ada permintaan,” jelas laporan tersebut. Siamang pun menjadi satwa peliharaan populer di kalangan PNS maupun aparat militer baik di Sumatera maupun Jawa, pulau yang tidak memiliki populasi siamang asli.

Di Jawa, siamang adalah jenis primata yang paling umum diperdagangkan. Laporan ini pun mengungkap bahwa banyak kebun binatang di Indonesia dan di Asia yang bergantung pada para pedagang untuk memperoleh siamang mereka. Padahal perburuan dan perdagangan satwa peliharaan umumnya bermodus membunuh ibu satwa dan menculik bayi satwa tersebut.

Siamang jantan memiliki suara yang nyaring. Seekor siamang yang sedang berada di atas pohon. Foto: Kevin Schofield, Creative Commons 2.0.

Dengar suara siamang di video tautan di bawah ini:

Di Indonesia, satu organisasi yang bekerja untuk menghentikan perdagangan ilegal owa adalah Kalaweit. Berfokus pada jenis-jenis owa, Kalaweit membantu merehabilitasi jenis kera ini di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Namun sayangnya sebagian besar jenis owa yang mereka selamatkan tidak dapat lagi dikembalikan ke alam liar karena telah terjangkit penyakit yang ditularkan oleh manusia. Namun, owa yang dirawat secara benar, kadang-kadang masih dapat kembali ke rumah hutan mereka.

Sebagai spesies satwa yang sangat terpukul karena deforestasi, perdagangan satwa dan kurangnya perhatian dunia konservasi, kedepannya siamang dapat menjadi kandidat primata Asia Tenggara yang berakhir dengan status critically endangered jika tidak mendapat perhatian serius.

“Siamang adalah mahluk ciptaan yang sangat luar biasa. Saya masih berharap masih diberi kesempatan untuk menghabiskan banyak waktu bersama mereka,” tutur Lappan.  Diterjemahkan oleh: Ridzki R. Sigit

Artikel Asli:

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,