,

Niat Pulihkan Lahan Gambut, APP “Pensiunkan” Kebun, Seperti Apa?

KLHK menanggapi positif inisiatif APP dan jika efektif bisa berkontribusi pada penurunan emisi karbon signifikan. Namun, pejabat kementerian ini mengingatkan, komitmen ini jangan cuma jadi ajang pencitraan. Wetlands juga menyambut baik, tetapi ini baru langkah kecil dari mengatasi masalah besar.

Perusahaan raksasa kehutanan, Asia Pulp & Paper Group (APP) akan merestorasi 7.000 hektar dari kebun kayu komersial mereka, menjadi hutan gambut kembali.  Inisiatif baru bernama program pengelolaan praktik terbaik gambut (Peatland Best Practice Management Programme) ini diumumkan di Jakarta, Kamis (13/8/15).

Komitmen ini merupakan hasil dari protes panjang dari beberapa organisasi lingkungan kepada perusahaan ini dan merupakan bagian dari komitmen pengelolaan hutan berkelanjutan yang dimulai 2013. Kelola gambut best practice ini,  bisa menjadi contoh bagi pemerintah dan sektor swasta lain dalam memperbaiki gambut-gambut yang rusak di Kalimantan, Sumatera sampai Papua.

“Keputusan APP menyetop perkebunan komersial merupakan tonggak penting dalam pelaksanaan kebijakan konservasi hutan kami. Ini komitmen belum pernah terjadi sebelumnya,” kata  Aida Greenbury, Managing Director Sustainability APP, dalam pernyataan kepada media.

Namun, katanya, melindungi lansekap gambut seluas ini tidak bisa dilakukan sendiri hanya oleh APP. Upaya mendukung konservasi lansekap hutan dan gambut,  perlu menjadi tujuan bersama, baik pemerintah maupun perusahaan perkebunan lain.  “Ini harus bisa mengatasi hambatan sistemik bagi perlindungan hutan dan lahan gambut, mendukung restorasi dan memastikan peluang pengembangan bagi masyarakat.”

Program ini akan menggunakan pendekatan bertahap, yang dikepalai Deltares, konsultan Belanda dengan spesialisasi lahan basah dan yang terkait dengan itu.

Langkah awal program ini akan melibatkan pemetaan lahan gambut luas di Kalimantan Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, wilayah-wilayah konsesi perusahaan berada.

Deltares menggunakan pesawat LiDAR, teknologi penginderaan jarak jauh yang memanfaatkan laser untuk membangun tiga dimensi yang sangat akurat dari gambaran di bawah termasuk stuktur vegetasi, elevasi, dan tinggi air kanal untik mengerti  tingkat kedalaman lahan gambut, sebaik melihat tutupan hutan.

Lana gambit sensitive ankara konsesi APP di lansekap Berbak-Sembilang. Peta: Deltares
Lahan gambut sensitif antara konsesi APP di lansekap Berbak-Sembilang. Peta: Deltares

Dikutip dari Mongabay.com, pesawat terbang di ketinggian 11.000 kilometer dari transek, untuk menghasilkan model gambut komprehensif dari 4,5 juta hektar lahan, di konsesi APP dan sekitar.

Meskipun pemetaan tak selesai sampai tahun depan, namun temuan dasar sudah signifikan. Satu contoh, survei menemukan kawasan hutan utama yang tersisa di sepanjang pantai timur Sumatera semua merupakan gambut dalam. Dari lima hutan kubah gambut—merupakan gambut sangat dalam—empat di Riau, tak resmi dilindungi. Empat lainnya, berada di Berbak dan Taman Nasional Sembilang di Jambi dan Sumatera Selatan.

Menurut Deltares, dari hasil LiDAR, menunjukkan, konsesi-konsei APP berada di lima kubah gambut ini. Deltares pun merekomendasikan APP ‘mempensiunkan’ perkebunan mereka, terutama di daerah-daerah sensitif, seperti drainase dan gambut rusak yang memberikan dampak penting bagi hutan kubah gambut. APP pun mendengarkan rekomendasi itu, lantas mengumumkan inisiatif ini dengan menghentikan kebun-kebun di  Kerumutan, Riau dan empat area di lansekap Berbak-Sembilang di Jambi maupun di Sumatera Selatan.

“Mempensiunkan perkebunan aktif bukan keputusan mudah bagi setiap bisnis. Namun, mereka percaya langkah-langkah melindungi,  mengurangi dan menghindari emisi iklim dari lahan gambut, mendesak dan harus menjadi prioritas,” kata Aida. Meskipun dia sadar, perjalanan masih panjang.  “Kami harus banyak belajar, pengumuman hari ini terobosan besar.”

Menurut dia, upaya ini tak semudah menyekat kanal atau membiarkan ketinggian level air maupun mengembalikan tutupan hutan. Pertama, katanya, APP akan menjalankan proses persetujuan awal tanpa paksaan (Free and Prior Informed Consent (FPIC) dengan masyarakat lokal. Kemungkinan, kata Aida, ada beberapa masyarakat menolak penyekatan kanal yang mereka gunakan sebagai akses dan sarana transportasi.

Kedua, beberapa wilayah sudah sangat terdegradasi, yang berarti bahwa, perlu  perencanaan berhati-hati dan proses  restorasi yang mungkin difasilitasi dengan penanaman kembali. Upaya ini bisa menjadi contoh. Di beberapa lokasi, APP akan menggunakan pohon-pohon rawa lokal. Di bagian lain, akan membiarkan alam bekerja alias tanpa intervensi selain menebang pohon-pohon akasia.

Aljosja Hooijer, Kepala Program Deltares mengatakan, APP memiliki kesempatan unik untuk mendukung konservasi hutan gambut dan pengurangan emisi. “Pengumuman hari ini adalah langkah awal dari proses model baru pembangunan ke depan yang menerapkan praktik-praktik terbaik dalam pengelolaan gambut,” katanya.

Greenpeace, organisasi lingkungan yang keras mengkritik APP kini menjadi mitra kunci dan medukung upaya ini. “Proyek ini sangat penting bagi Indonesia,” kata Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Internasional di Indonesia kepada Mongabay.com.

Menurut dia, lahan gambut merupakan satu peluang terbesar dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, sejauh ini belum ada satupun ide bagus dalam mengelola gambut.

“Ini akan menjadi sorotan tajam tentang bagaimana mengatasi emisi lahan gambut dan bagaimana menangani perkebunan di lahan gambut.”

Dia berharap, upaya ini menjadi jalan  bagi pemerintah untuk membangun kebijakan lebih kuas di dalam pengelolaan gambut.

Lana gambit dal am di ankara konsesi APP di lansekap Berbak-Sembilang. Peta: Deltares
Lahan gambut dalam di antara konsesi APP di lansekap Berbak-Sembilang. Peta: Deltares

Melibatkan pemerintah sangat penting, melihat aturan soal gambut di Indonesia, termasuk PP 71 yang terbit 2014, cukup membingungkan dan membuka kemungkinan interpretasi. Ke depan, aturan ini mungkin menjadi lebih buruk. Sebab, ada makalah akademis yang terbit awal bulan ini oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengusulkan ekspansi signifikan drainase lahan gambut di Indonesia.

Terpenting implementasi 

Ida Bagus Putera, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK  menyambut baik komitmen ini. Kala berjalan efektif, katanya, bisa menurunkan emisi karbon signifikan. Ia sekaligus mendukung komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon 26% hingga 2020.

Namun, katanya, terpenting komitmen ini bisa benar-benar terimplementasi di lapangan, bukan hanya pencitraan. Inisiatif ini juga dapat menjadi wawasan bagaimana meningkatkan produktivitas kayu tanpa memperluas kebun.

Menurut Putera,  lahan bukan sumber daya melimpah di Indonesia. Jadi, dalam pengelolaan sumber daya atau pembangunan, harus memikirikan intensifikasi. “Yang paling penting itu intensifikasi, bukan ekspansi,” katanya kepada Mongabay.

Tanggapan tak jauh beda dari Nur Masripatin, Dirjen Perubahan Iklim, KLHK. “Ini niatan baik untuk melindungi. Berikutnya, bagaimana mengimplementasi komitmen ini. Ini niatan yang harus dilihat sisi positif dan dipantau terus pelaksanaannya.”

Menurut Nur, lahan gambut kalau rusak jelas melepas emisi besar. Dengan komitmen ini, katanya, jika dilaksanakan dengan benar akan berkontribusi signifikan.

Seiring dengan itu, pemerintah sedang menyusun one map (satu peta), inisiatif perusahaan ini bisa menjadi informasi tambahan atau pelengkap. “Kalau ada pemetaan itu bisa jadi input tambahan dalam one map. Memang, inisiatif satu dan dua wilayah, tak bisa masuk sini tetapi tetap bisa digunakan. Saling dimanfaatkan,” ucap Nur.

One map, katanya,  menggunakan basis sama dan lintas kementerian. Ia bertujuan memberikan alat untuk perencanaan lebih baik, dan mengurangi konflik lahan.

Tampilan LiDAR yang memperlihatkan wilayah pantai timur Sumatera. Sumber: Deltares
Tampilan LiDAR yang memperlihatkan wilayah pantai timur Sumatera. Sumber: Deltares

Wetlands International juga menanggapi insiatif APP ini. Marcel Silvius, Wetlands International’s Programme Head on Climate-Smart Land-Use mengatakan, mendukung upaya APP yang berkomitmen mempensiunkan 7.000 hektar kebun mereka. “Ini baru langkah awal dalam prses panjang. Bagaimanapun, ini baru langkah kecil dalam mengatasi masalah besar,” katanya.

APP dan anak perusahaan,  saat ini memiliki luas tanah kepemilikan di lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan, lebih 600.000 hektar. Banyak dari konsesi mereka dikembangkan pada hutan rawa gambut primer. Selama dekade terakhir, sangat jelas konversi lahan gambut yang membutuhkan drainase menyebabkan kerusakan lingkungan serius, termasuk keragaman hayati hilang, emisi gas rumah kaca tinggi, gangguan regulasi air sekitar dan bertahap penurunan tanah.

Sebagian besar lahan gambut didominasi lansekap APP berada di dataran rendah. Akirnya, penurunan tanah mengakibatkan banjir pada skala belum pernah terjadi sebelumnya.

“Kami mendesak APP mengambil tindakan lebih ke seluruh lanskap lahan gambut guna menghentikan emisi gas rumah kaca dan mencegah bencana banjir besar.”

Wetlands International menyerukan, APP mengembangkan rencana phasing-out drainage-based plantations dari semua lahan gambut termasuk rencana pembasahan dan rehabilitasi, agar manajemen benar-benar berkelanjutan. Hal ini, katanya, bisa mencakup pengembangan ekonomi alternatif penggunaan lahan, baik perkebunan untuk produksi pulp dan kertas dengan menanam pohon alternatif yang sesuai lahan gambut basah.

APP juga harus memberikan kejelasan tentang bagaimana kebun “pensiun’ akan dikelola. Wetlands mendorong APP bekerja dengan masyarakat dan perusahaan lain yang beroperasi di lahan gambut sama, dengan sistem hidrologi bersama.

Dia menyadari, memiliki lahan gambut luas seperti APP memerlukan usaha besar. Namun, penting menghentikan bencana lanjutan dari penurunan tanah yang akan menenggelamkan lansekap gambut luas dari Sumatera dan Kalimantan. “Langkah berani dan signifikan perlu untuk mempertahankan produktivitas lahan, baik untuk APP maupun generasi mendatang.”

Basil analysis Deltares’ thread wilayah-wilayah gambit sensitive di ankara konsesi APP. Sumber: Deltares
Hasil analisis Deltares di wilayah-wilayah gambut sensitif di antara konsesi APP. Sumber: Deltares
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,