,

Sudah 8 Bulan, Bagaimana Proses Hukum Dosen Pengunggah Foto Pemburu Satwa Dilindungi?

Masih ingat foto yaki (Macaca nigra) dan kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis) hasil buruan yang diunggah oleh pemilik akun Facebook bernama Devy Sondakh? Sejak Desember 2014, BKSDA Sulawesi Utara telah melaporkan pemilik akun pada Polda Sulut. Sayangnya, hingga delapan bulan berselang, publik belum juga mengetahui perkembangan kasus dan mulai mempertanyakan kejelasan proses hukumnya.

Belakangan, kasus yang pelakunya diduga berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas di Manado, telah masuk di meja Polda Sulut.  Wilson Damanik, Kabag Humas Polda Sulut, ketika ditemui Mongabay mengatakan, pihaknya akan berusaha menyelesaikan semua kasus yang dilaporkan ke Polda Sulut. Menurut dia, pelaku sedang diproses sesuai UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Tetapi ia belum bersedia menjelaskan perkembangan hasil tahap pemeriksaan dan status hukum pelaku, karena kasus sedang dikoordinasikan dengan instansi terkait. “Secara teknis, kami perlu berkoordinasi dengan Bareskrim soal teknis penerapan peraturan. Yang jelas, semua kasus yang masuk di Polda Sulut akan ditangani. Kasus ini, sekarang sedang dalam proses. Pelaku akan diproses sesuai UU Konservasi,” ujar Wilson, pada Rabu (12/08/2015).

Sedangkan aktivis menyayangkan lambannya penanganan dan menilai penegak hukum belum terlampau serius menyelesaikan kasus ini.

“Saya menyayangkan, karena sudah sekian lama jalan di tempat. Ada indikasi tidak fokusnya penegak hukum pada isu perburuan satwa,” kata Yunita Siwi, Education Officer Yayasan Selamatkan Yaki.

Ia menghimbau, para aktivis dan pecinta satwa untuk kembali merespon kasus ini. Yunita khawatir, jika tidak disikapi, pelaku bisa lepas dari jerat hukum.

“Saya kira, perlu gerakan bersama para pegiat konservasi untuk kembali membicarakan kasus ini. Kita jelas tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. Mungkin, karena kesibukan masing-masing, sehingga dalam waktu delapan bulan ini kasus perburuan yaki belum menemukan kejelasan hukum.”

Sedangkan Stephan Miloyski Lentey, Field Station Manager Macaca Nigra Projects tetap optimis dengan penangnan hukum, daen mengajak berbagai pihak bekerja sama untuk mengangkat kembali kasus tersebut.

“Ini kasus berat dan sudah 8 bulan belum ada kejelasan. Kalau tidak ditangani, ada kemungkinan perburuan yaki akan semakin meningkat, sebab pelakunya adalah doktor hukum. Ini jadi semacam contoh terbaik untuk hal buruk. Jangan lupakan kasus ini.”

19 Desember 2014 pelaku mengunggah foto tersebut dengan keterangan “Hasil berburu kemarin: Para kembaranku, Natalan bersama”. Di dalamnya terdapat dua jenis satwa dilindungi, seperti yaki dan kuskus kerdil.Tindakan ini memicu respon masyarakat luas.

Sebelumnya, pemilik akun Facebook Devy Sondakh, dalam komentarnya sempat menyatakan dirinya dosen filsafat dan logika. Lalu, menghubungkan keterangan di foto itu dengan berbagai faktor, seperti tradisi, agama, ekonomi dan hama bagi petani. Akibat komentar-komentar tadi, banyak pengguna jejaring sosial menghujat pemilik akun dan menyebar foto hasil buruan satwa dilindungi tersebut.

Penegak Hukum Harus Jeli

John Tasirin, pakar Biodiversitas asal Universitas Sam Ratulangi Manado, menilai, peraturan perlindungan satwa sebenarnya sudah cukup jelas, namun seakan belum menjadi prioritas para penegak hukum. Tetapi ia belum pernah dimintai  pendapat sesuai displin ilmu untuk membahas kasus yang kini sudah dilaporkan ke Polda Sulut.

“Kalau kita berandai-andai, kenapa kasusnya belum diproses, mungkin karena perburuan satwa belum menjadi prioritas, tidak prioritas, salah prioritas atau memandang hukum secara parsial. Harusnya hukum tetaplah hukum. Jadi biarpun ringan atau berat, hukum tetaplah hukum,” ujarnya ketika ditemui Mongabay, Kamis (13/8/2015).

Salah satu ikon penting dalam perlindungan primata di Indonesia, tapi siapa yang tahu di Indonesia? Foto:
Salah satu ikon penting dalam perlindungan primata di Indonesia, tapi siapa yang tahu di Indonesia? Foto:

Menurutnya penting untuk menerapkan kurikulum tentang lingkungan hidup di sekolah-sekolah polisi, untuk memberikan pemahaman jenis-jenis satwa dilindungi.

“Karena, dengan diratifikasinya Convention on Biological Diversity (CBD) maka pemerintah Indonesia terikat pada kesepakatan internasional, misalnya oleh IUCN soal status kelangkaan atau dengan CITES terkait transportasi dan perdagangan.”

John mengingatkan kepolisian untuk jeli dalam menangani kasus, khususnya terkait yaki. Sebab, jika tidak cermat menafsirkan PP No 7 tahun 1999 berpotensi melahirkan pemaknaan berbeda.

Ia menjelaskan, ilmu pengetahuan khususnya tentang yaki telah berkembang lebih cepat ketimbang kebijakan pemerintah. Banyak perkembangan yang telah terjadi selama 15 tahun terakhir ini yang menuntut agar PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa ini perlu direvisi.

“Yaki hanyalah salah satu contoh urgensi perbaikan PP tersebut. Dalam penyusunan kebijakan publik, aturan ini cukup memadai, tapi tidak dalam ketegasan keputusan hukum.”

Menurut dia, untuk memperoleh pengetahuan lebih dalam terkait PP No 7 tahun 1999, perlu diketahui latar historis klasifikasi pembagian jenis Macaca di Sulawesi.

John menjelaskan beberapa abad lampau para saudagar dan petualang Eropa mengidentifikasi yaki dengan sebutan Sulawesi Black Apes atau kera hitam Sulawesi. Padahal, dalam sistematika hewan, kera (apes) berbeda dari monyet (monkeys).

JIka mereka bisa bicara, mereka akan bertanya: Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2012? Mana bukti cintamu, Indonesia.....?
JIka mereka bisa bicara, mereka akan bertanya: Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2012? Mana bukti cintamu, Indonesia…..?

Doktor lulusan University of Tasmania Australia menjelaskan kera bertubuh besar, tidak berekor dan banyak menghabiskan waktunya di tanah. Sedangkan monyet bertubuh kecil, memiliki ekor dan lebih banyak menghabiskan waktunya di pohon.

“Para petualang menarik kesimpulan, yaki adalah kera berdasarkan bentuk morfologi satwa liar, tidak seperti monyet yang mereka kenal.”

Saat sistematika jenis pertama ini direvisi pada tahun 1969, lanjut John, spesimen dari Sulut ini digolongkan dalam marga Cynopithecus niger, yang masih digunakan di banyak publikasi ilmiah sampai tahun 1993. Sehingga, jenis yang ada di Gorontalo dianggap satu jenis dengan yang ada di Minahasa. Walaupun, dalam buku The Ecology of Sulawesi  tahun 1987, dua jenis tadi sudah disebut sub-spesies Macaca nigra nigra dan Macaca nigra nigrescens.

Dalam buku Primate Taxonomy tahun 2001, dipisahkan Macaca nigra (Minahasa-Mongondow) dan Macaca nigrescens (Mongondow-Gorontalo). Jadi, sejak saat itu, Macaca yang disebut dengan nama ilmiah C. niger dipisah menjadi 2 jenis, yakni M. Nigra dan M. Nigrescens. Yang pertama dinamakan Sulawesi crested-black macaques dan yang satunya lagi dinamakan Sulawesi Black Macaques.

“Di buku itu juga, M. hecki dipisahkan dari M. tonkena dan M. ochreata dipisahkan dari M. brunnescens. Dengan demikian, saat ini ada 7 jenis Macaca di Sulawesi, yakni nigra, nigrescens, hecki, tonkena, maura, ochreata dan brunnescens. Semuanya itu, oleh orang Manado disebut yaki,” tulis John dalam tulisan Panasnya Daging Yaki.

Sementara itu, daftar jenis flora dan fauna yang dilindungi di Indonesia dalam PP No.7/1999 mencantumkan jenis Cynopithecus niger, Macaca brunnescens, Macaca maura dan Macaca tonkena.

“Maka, yang dimaksud dengan Cynopithecus niger yang ditemukan di Minahasa, Bolaang Mongondow dan Gorontalo saat ini adalah Macaca nigra dan Macaca nigrescens, yang sama-sama diberi status kelangkaan kritis oleh IUCN.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,