, ,

Terkait Kebakaran Lahan, Masyarakat hanya Dimarahi dan Dijadikan Tukang Padam Api. Maksudnya?

Sampai pertengahan Agustus 2015 ini, Sumatera Selatan bebas dari bencana kabut asap. Setiap titik api terus dipadamkan. Namun begitu, mampukah upaya ini berhasil dilakukan hingga badai El Nino berlalu?

“Kemungkinan tetap mampu. Tapi biayanya pastilah sangat besar, yang kemungkinan besar dana tersebut diambil dari dana pajak masyarakat. Namun, hal tersebut tidak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat di sekitar lahan gambut atau hutan. Mereka hanya dimarahi dan dijadikan tukang padam api,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, Rabu (19/08/15).

Pola pencegahan kebakaran tersebut, kata Hadi, sangat tidak masuk akal. “Orang numpang mencari makan di tanah kita. Kemudian tanah kita terbakar, kok kita yang memperbaikinya. Lalu kita marah-marah dengan saudara kita, dan menyuruhnya turut memadamkan,” kata Hadi beranalogi.

Padahal ada upaya yang lebih murah dan berpihak pada masyarakat. Pertama, kembali mempertimbangkan izin terhadap mereka yang menyewa atau meminjam lahan. Pertimbangan izin tersebut diteruskan atau dihentikan, yakni apakah lokasi itu penting sebagai penjaga emisi karbon sehingga tidak boleh digunakan untuk usaha apa pun atau tidak.

Indikator berikutnya, apakah lahan tersebut gagal dijaga dari kebakaran atau kerusakan oleh pihak yang dipinjami. Terakhir, apakah peminjaman lahan tersebut membuat masyarakat sekitarnya menjadi makmur atau justru tersingkirkan. “Nah, jika lebih banyak merugikan, ya, cabut izinnya. Gampang saja, sebab kita yang punya lahan,” kata Hadi.

Kedua, berikan pengelolaan lahan kepada masyarakat. “Selama ratusan tahun masyarakat arif terhadap lahan. Mereka tahu mana lahan yang dapat dikelola menjadi pertanian, dan mana yang tidak. Saat ini saja, dari penemuan titik api, lahan yang dikelola masyarakat jumlah jauh lebih sedikit dibandingkan dikelola masyarakat,” ujarnya.

Ketiga, penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan pembakaran lahan. “Sampai saat ini kami belum melihat adanya police line di lahan dikelola perusahaan yang terbakar, seperti yang dilakukan di Riau. Padahal banyak lahan yang dikelola perusahaan yang terbakar meskipun apinya berhasil dipadamkan. Itu artinya mereka gagal mencegah kebakaran,” kata Hadi.

Transparansi anggaran

Sri Lestari Kadariah, mantan Direktur Walhi Sumsel yang kini menjadi advokat, mengatakan pemerintah maupun perusahaan harus transparans dalam pengunaan anggaran pemadaman kebakaran.

“Masyarakat harus tahu anggaran yang digunakan tersebut berapa besar yang dikeluarkan negara, dan berapa besar yang dikeluarkan perusahaan atau pelaku usaha. Jika ternyata negara yang lebih banyak mengeluarkan anggaran, wah, itu repot,” kata Sri.

“Masak kita sudah meminjamkan lahan, mereka dapat untung, lalu saat ada persoalan seperti kebakaran hutan justru kita yang membayarnya. Ini kan logika yang tidak masuk diakal,” katanya.

Namun, guna mendapatkan fakta yang benar terkait hal tersebut, selama proses upaya pemadaman kebakaran lahan, khususnya lahan gambut, pemerintah maupun perusahaan harus mengumumkan besaran dana yang digunakan, termasuk peruntukan penggunaan dana tersebut.

Soal transparansi anggaran ini juga disampaikan Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan Rustandi Adriansyah. “Itu penting untuk dijelaskan. Jika ternyata negara yang lebih banyak mengeluarkan anggaran, sungguh memalukan negara ini. Kita hidup benar-benar belum merdeka,” katanya.

Sama seperti Hadi, Rustandi juga sepakat pencegahan kebakaran atau kerusakan hutan dan lahan gambut, dengan cara memberikan kepercayaan yang lebih terhadap masyarakat dalam mengelolanya. “Puluhan abad rakyat yang mengurusnya, dan terjaga. Baru beberapa tahun dikelola perusahaan, sudah pada rusak, dan rakyat pun hidup miskin,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,