,

Janti Wignjopranoto: Vegan, Hidup Sehat dan Ramah Alam

Kicauan burung bersahut-sahutan di antara ranting pepohonan. Ada pare, pepaya, tomat, cabai, sorgum serta sayuran dan buah–buah lain tumbuh subur di halaman rumah. Udara segar. Suasana terasa begitu asri dari rumah Joglo di selatan Stadion Maguwoharjo, Sleman, ini. Di pinggir rumah kali begitu jernih.

Perempuan berkaca mata bulat menyambut saya di depan rumah. Rambut hitam, beralis tebal. Dia berbaju batik perpaduan hijau dan biru, serta celana panjang biru kotak-kotak.

“Saya Janti Wignjopranoto,” kata si empunya rumah. Perempuan kelahiran Tegal, Jawa Tengah, itu menyapa ramah sembari memberikan kartu nama.

Ya, sejak delapan tahun lalu, Janti, begitu biasa disapa,  memutuskan hidup sehat dan lebih ramah terhadap alam. Dia mulai vegetarian lima tahun lalu, tiga tahun terakhir menjadi vegan. Kini, sehari-hari dia sibuk dengan mengajar masak, yoga, kerkebun organik, pasar organik dan banyak lagi. Tentu, tak lupa menyiapkan menu makanan sendiri.

Saya berkesempatan berkunjung ke rumahnya, dan mewawancarai  seputar kehidupan praktisi vegan,  raw chef, dan  ayurveda coach ini. Berikut petikan wawancaranya.

Minuman sehat bikinan Janti Wignjopranoto. Foto: dari Facebook Janti  Wignjopranoto
Minuman sehat bikinan Janti Wignjopranoto. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto

Sejak kapan anda mulai hidup vegan dan aktivitas berkepedulian dengan alam ini?

Delapan tahun lalu saya memutuskan menjadi vegetarian. Selama lima tahun, saya jalani, lalu saya memilih menjadi vegan sejak tiga tahun terakhir. Yang membedakan, jika vegeratian masih mengkonsmsi telur, keju, ikan, susu dan lain-lain, namun tidak makan daging. Kalau vegan, tidak mengkonsumsi semua bahkan perabotan, alat kosmetik, sabun dan pakaian juga tidak boleh menggunakan berbahan satwa.

Mengapa memilih hidup vegan?

Ini diawali ketika saya 1997, terkena kanker, lalu pengobatan hampir setiap waktu. Waktu itu, saya merasa tidak mau menyelesaikan permasalahan dari sakit yang saya alami, hingga mengalihkan dengan makanan. Ternyata, dengan makan tidak menyelesaikan masalah, bahkan menambah masalah hingga berat badan saya mencapai 75 kilogram saat itu. Dari situlah, sadar, saya merasa tidak sehat karena pola makan tidak baik.

Akhirnya,  saya memutuskan perlahan-lahan melespaskan makanan berdaging, ayam, ikan, telur dan meninggalkan alkohol. Setelah beberapa tahun berjalan, berat badan belum juga normal walau sudah mengatur pola makan, hingga memutuskan menjadi vegan. Alhasil, berat badan menjadi lebih stabil, terutama kolesterol lebih baik. Memilih vegan, adalah atas dasar kesadaran saya sendiri, karena mendengarkan tubuh yang sudah berlebihan mengkonsumsi segala sesuatu tidak ramah lingkungan dan tidak sehat.

Bagi saya hidup vegan itu menjadi lifestsyle. Saya sudah tidak pakai lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hewan, mulai sepatu, tas, kosmetik dan lain-lain. Untuk perawataan kulit, tidak pakai body lotion dan parfum. Itu semua sudah lama saya lakukan. Untuk rambut sudah tidak pakai sampo berbahan kimia. Alternatif banyak, saya menggunakan tanaman lokal dari alam Indonesia, yakni lerak.  Ini tanaman asli Indonesia. Dijual dimana saja dan mudah dicari. Membuatnya mudah, cukup menggunakan air panas. Untuk konsumsi makanan, saya menggunakan minyak kelapa untuk memasak, tidak sawit.

Tidak hanya pola hidup yang sehat dan ramah lingkungan. Rumah pun ramah lingkungan, salah satu menggunakan kaca sebagai pencahayaan untuk meminimalisir penggunaan lampu. Foto: Tommy Apriando
Tidak hanya pola hidup yang sehat dan ramah lingkungan. Rumah pun ramah lingkungan, salah satu menggunakan kaca sebagai pencahayaan untuk meminimalisir penggunaan lampu. Foto: Tommy Apriando

Tak hanya hidup vegan, anda juga berkebun organik, sejak kapan dan mengapa?

Ini sejak saya berhenti kerja di korporasi. Lalu memutuskan mulai belajar dan mengejar banyak hal terutama menanam makanan yang saya konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk kebun organik di rumah sejak 2014, ketika memutuskan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Memang tidak bisa dikatakan apa yang saya tanam 100% organik. Karena tidak mengetahui asal kondisi tanah sebelumnya, namun treatment saya dengan cara-cara organik, salah satu tidak pernah pakai pestisida dan tidak pakai pupuk kimia. Rumah ini,  saya menyebutnya “rumah tumbuh”. Selain karena banyak tanaman tumbuh, juga banyak kegiatan kami lakukan terutama dengan masyarakat disini. Ini untuk menumbuhkan pengetahuan mereka tentang hidup sehat, ramah lingkungan dan berbagai hal untuk belajar besama.

Saya berkebun organik juga adalah ilmu yang saya dapat ketika belajar di India. Semua yang saya pelajari seperti pengobatan dan makanan dari alam sebenarnya juga dimiliki di Indonesia. Untuk pengobatan, budaya kita mengenal jamu, namun sudah mulai banyak ditinggalkan. Sayang, sekali ketika masyarakat dan pemerintah sangat mengabaikan hal-hal ini.

Masalahnya, memang banyak masyarakat di negeri ini ingin jadi orang kota, global dan berkelakuan mainstream. Satu contoh kebijakan pemerintah impor beras. Ini membuat saya miris.

Indonesia punya banyak pangan lokal, lebih sehat, sebenarnya tak perlu tergantung beras, seperti sorgum, jagung dan segala macam. Dari situlah saya memutuskan untuk berkebun, menanam. Karena di Jogja belum semua ada tanaman lokal, yang lebih sehat dan mulai ditinggalkan. Berkebun saya mulai di atap, lalu di bawah rumah dan di lereng sungai. Banyak tanaman, ada pare, cabai, jamur, paprika, tomat, pepaya, durian, jagung, sorgum dan obat-obatan. Untuk harian, ada sawi, Seledri, ketumbar, pakcoy, bayam dan sayuran lain.

Cupcake raw racikan Janti W. Foto: dari Facebook Janti Wignyopranoto
Cupcake raw racikan Janti W. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto

Anda juga menggelar pasar organik setiap Kamis. Apa yang melatarbelakangi? Apa saja yang dijualbelikan?

Setiap Kamis, ada pasar sehat dan organik. Sudah satu tahun berjalan. Ada juga kedai  yang akan buka tiap hari. Di Pasar Kamis, kami menjual berbagai makanan dan barang-barang dari petanian organik. Sudah ada para penjual yang rutin ikut. Sebenaranya, pasar organik ini sudah berlangsung lama, sekitar dua tahun lalu di Warung Milas, Jalan Paringtritis. Karena beberapa warga di Utara Jogja, merasa tidak ada lokasi pasar organik jadi dibuatlah di halaman rumah saya. Makanan yang dijual ada jajanan pasar, tempe dan tahu organik, tepung lokal, ganyong, kacang hijau dan aneka beras.

Setiap Kamis juga ada kelas kamisan untuk belajar kilat selama dua jam, mulai dari buat roti vegan, tempe dan tahu organik, natural skin care dan lagi. Tujuan kelas ini sederhana, untuk berbagi apa saja,  supaya setiap orang tidak harus menjadi mainstream. Mereka tidak harus ke rumah sakit, tidak harus mengkonsumsi obat kimia, namun ada cara lain yang bisa dilakukan, terutama dari tumbuhan-tumbuhan lokal di Indonesia. Menjadi sehat dan menularkan hidup ramah terhadap alam.

Janti memanen sendiri tanaman organik yang  ditanam untuk  menu sajian makanan dan minuman sehari-hari. Foto: Tommy Apriando
Janti memanen sendiri tanaman organik yang ditanam untuk menu sajian makanan dan minuman sehari-hari. Foto: Tommy Apriando

Bagaimana pendapat anda terkait mulai banyak klaim makanan organik di Indonesia?

Saya kira kita sendiri sebagai konsumen harus lebih cerdas, bisa baca informasi di internet apakah benar barang yang akan dibeli dan konsumsi benar-benar organik. Makanan organik mahal?  Kita seharusnya membeli sesuatu dengan harga pantas untuk makanan. Karena dijajah industri, hingga sesuatu yang harusnya mahal menjadi murah, namun tidak serta merta sehat. Saya bisa bantah, ketika berkebun baik di ladang maupun di rumah sendiri, kita menanam sendiri, akan menjadi murah sekali. Hingga harus jadi konsumen cerdas. Jangan mengikuti pasar.

Anda memilih minyak kelapa untuk konsumsi, padahal ada sawit dengan harga lebih murah di pasaran. Mengapa memilih kelapa?

Menurut saya, kelapa buah ajaib dan disebut super food. Makanan yang bisa membuat kita sustainable. Sehat dan selalu ada dimana saja. Jadi mulai daun, batang, buah, hasil benar-benar bagus. Perlu sekali edukasi tentang pentingnya kelapa dan meninggalkan sawit. Kelapa mulai ditinggalkan karena korporasi besar-besaran menggunakan sawit untuk menjadi minyak. Saya tahu sekali baik dan buruk suatu korporasi. Saya dulu di seberang dari apa yang saya lakukan kini. Saya puluhan tahun kerja di korporasi. Kelapa lebih ramah lingkungan dan baik untuk kesehatan, dibandingkan sawit.

Menu vegan hasil racikan Janti W. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Menu vegan hasil racikan Janti W. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto

Dengan pola hidup seperti ini, apa perbedaan dan anda rasakan dibandingkan sebelumnya?

Banyak hal didapat dari hidup sehat, yakni kesenangan.  Dulu saya banyak mengkonsumsi segala sesuatu yang tidak natural atau alami, mulai dari sabun, sabun cuci, shampoo, body lotion dan makanan. Jika semua tidak sehat dan tidak ramah lingkungan untuk tubuh kita, dampaknya pada sendiri terutama kesehatan. Pada lingkungan, jika menggunakan segala sesuatu tidak ramah lingkungan, akan merusak alam. Lebih bijak memilih makanan, terutama berhati-hati dengan gula. Bagi saya,  untuk kesehatan lebih jahat dari narkoba itu gula, karena lebih adiktif.

Selain hidup sehat dalam konsumsi, rumah yang saya tempat ini sebisa mungkin ramah lingkungan. Saya meminimalisir penggunaan semen, menggunakan kayu bekas, mengoptimalkan kaca di bagian atap hingga menghemat lampu dan untuk pemanas air menggunakan energi tenaga matahari. Kami juga menanam banyak tanaman. Ketika membangun rumah, kami tidak memotong pohon yang sudah ternanam. Saya bilang ke kontraktor untuk tidak memotong pohon. Rumah tetap dibangun mengikuti kondisi alam. Interaksi kita dengan alam itu harus lebih bijak dan cerdas. Karena alam sudah ada lebih dulu daripada kita, hingga harus peduli dan menghargai alam.

Jamur di kebun rumahnya, untuk konsumsi sehari-hari. Foto: Tommy Apriando
Jamur di kebun rumahnya, untuk konsumsi sehari-hari. Foto: Tommy Apriando

Soal pasar organik, tampaknya pemerintah belum memberikan respon yang baik. Apa masukan dan saran anda kepada pemerintah?

Pemerintah Indonesia harus belajar dari India soal pemanfaatan produk lokal, terutama pengobatan dari tanaman lokal. Namun juga harus dipahami, pemerintah manapun punya kepentingan, yakni uang. Datang uang salah satu dari korporasi besar. Sekarang tinggal pemerintah punya konsen, pemikiran dan kesadaran atau tidak atas kebijakan terhadap masyarakat dan lingkungan untuk saat itu dan masa depan. Saya tidak lagi menggunakan makanan atau obat berbahan kimia.  Saya tidak percaya obat kimia apalagi atas saran dokter. Saya percaya dokter untuk analisa namun tidak percaya dokter untuk pengobatan. Pengobatan destruktif dan di-guide pabrik obat. Pemerintah sudah seharusnya memberdayakan kekayaan alam di negara sendiri.

Apa pesan untuk masyarakat yang ingin memulai seperti gaya hidup seperti anda?

Saya kira mudah, masyarakat harus lebih sadar memulai hidup sehat dan ramah lingkungan karena kesadaran tinggi. Hidup sehat itu dimulai dari bangun tidur hingga kita istirahat tidur kembali. Ketika kita mengkonsumsi makanan, obat dan membeli barang untuk keperluan juga harus lebih bijak. Yakinlah berkebun sendiri akan berdampak pada pola hidup lebih baik. Hemat dan sehat. Kalian boleh belajar ilmu apa saja, muai dari kedokteran, akutansi, hukum atau teknik, namun praktik kehidupan itu adalah bertani dan berkebun.

Racikan makanan dan minuman sehat bagi tubuh dan alam. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Racikan makanan dan minuman sehat bagi tubuh dan alam. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Minuman sehat dan menyegarkan. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Minuman sehat dan menyegarkan. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Pasokan pangan lokal, banyak tak harus beras. Ini menu sehat: nasi jagung, urap pare, daun pepaya, dan wortel. Buatlah makananmu sendiri, masaklah makananmu sendiri. You are what you eat," Itu yang biasa dikatakan Janti.  Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Pasokan pangan lokal, banyak tak harus beras. Ini menu sehat: nasi jagung, urap pare, daun pepaya, dan wortel. Buatlah makananmu sendiri. “You are what you eat,” Itu yang biasa dikatakan Janti. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Menu vegan racikan Janti. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Menu vegan racikan Janti. Foto: dari Facebook Janti Wignjopranoto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,