,

ProFauna Conference: Tata Kelola Hutan yang Lebih Baik dan Transparan harus Dilakukan

Cepatnya laju deforestasi serta alih fungsi hutan dan lahan produktif menjadi kawasan industri dan perkebunan menjadi perhatian serius aktifis lingkungan di Indonesia pada ProFauna Conference 2015 yang berlangsung di Malang, Jawa Timur, pertengahan Agustus lalu.

Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid mengungkapkan, perlu upaya bersama yang melibatkan masyarakat adat untuk menahan cepatnya laju deforestasi. Data terakhir menyebutkan, hutan di Indonesia terisisa sekitar 82,5 juta hektar, meski pemerintah mengakui masih ada 120 juta hektar.

Pangkal persoalan, menurut Rosek, adalah tumpang tindihnya tata kelola hutan serta tidak transparannya perizinan yang membuat pengelolaan hutan kita kacau. Kondisi ini makin lengkap dengan tidak adanya satu peta acuan, sehingga memungkinkan industri tambang dan perkebunan tumbuh pesat di Indonesia dengan menabrak fungsi dan peruntukan lahan yang sebenarnya.

Rosek juga mengungkapkan pemerintah perlu melakukan moratorium izin pemanfaatan hutan, sebagai upaya mendukung penataan tata kelola hutan yang baik. Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah harus mendukung moratorium izin yang disertai pengawasan lebih ketat.

“Seperti di Kutai Timur, Kalimantan Timur, masih ada perusahaan sawit yang membuka hutan yang berbatasan dengan kawasan konservasi, sehingga koridor hutan tempat habitat orangutan menjadi rusak. Intinya di level daerah juga banyak masalah.”

Rosek juga menegaskan, masyarakat adat di seluruh Indonesia harus bersatu dan meningkatkan pemahaman mengenai persoalan-persoalan lingkungan, karena hanya melalui pendekatan kekuatan masyarakat adat laju deforestasi dapat ditekan. “Ketika pemerintah tidak mau bergerak, salah satu pendekatannya adalah dengan kekuatan masyarakat adat, karena mereka ini yang terabaikan dan terancam masa depannya. Pemerintah harus hati-hati, jangan mudah mengeluarkan izin terhadap perusahaan tambang maupun sawit.”

Darmawan Liswanto, Program Director Fauna dan Flora Internasional menuturkan, terkait alih fungsi lahan harus disikapi dengan mengubah tata ruang di Indonesia. Semua pihak harus memahami mana saja batasan atau area yang tidak boleh diganggu karena memiliki tingkat kerentanan yang tinggi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan institusi yang memiliki kewenangan menentukan batasan kawasan, termasuk kawasan lindung dan konservasi yang tidak boleh diganggu oleh pembangunan maupun aktivitas manusia.

Darmawan mengatakan bahwa hampir seluruh kawasan hutan di dataran rendah sudah dikuasai pengusaha melalui perizinan pemanfaatan hutan, sehingga kawasan hutan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, sudah rentan secara ekologis. “Di Sumatera tinggal beberapa persen saja hutannya, di Jawa tinggal di pesisir selatan dan itu kecil-kecil hampir semua habis untuk pemukuman dan industri,” tukasnya.

Ancaman kepunahan satwa liar

Persoalan pemantapan kawasan yang berdampak pada konflik kawasan hutan di Indonesia, dinilai akan berdampak pada ancaman kepunahan satwa liar di kawasan itu. Rustam, pakar ekologi satwa liar dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, menuturkan, berkurangnya lahan atau hilangnya hutan dipastikan akan mengancam keberadaan satwa liar yang ada.

Berkurangnya lahan lanjut Rustam, otomatis akan mengurangi ruang gerak satwa liar. Bagi mamalia kecil akan sangat rentan punah kalau lahan terbuka luas, yang akan mengurangi teritori satwa liar jenis mamalia kecil. Sedangkan untuk mamalia besar yang dapat berpindah ke lokasi lain, hal itu juga dapat menimbulkan masalah berupa konflik dengan mamalia besar lainnya.

“Orangutan misalnya, ada yang cepat beradaptasi dan tidak. Di daerah dekat Taman Nasional Kutai yang sekarang ada batubara, dulunya habitat orangutan namun sekarang sudah habis karena sumber makanan tidak ada lagi.”

Alih fungsi lahan dan hilangnya hutan, sangat mempengaruhi tingkat kecepatan punahnya satwa liar di suatau kawasan. Bila kawasan hutan yang luas telah terbuka lebar, Rustam memastikan satwa liar yang ada akan punah.

Penetapan kawasan yang tidak mantap serta adanya penyalahgunaan izin pemanfaatan lahan, merupakan pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan secara serius. Pemerintah, masyarakat, pegiat lingkungan, dan peneliti harus duduk bersama mencari solusi permasalahan ini,” usul Rustam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,