,

Rencana Aksi Nasional Ditengah Jumlah Tangkapan Hiu yang Kian Susut

Seperti geliat hari-hari lainnya di pelabuhan Tanjung Luar Lombok, pagi itu suasana pelabuhan tampak sibuk. Tanjung Luar adalah pelabuhan perikanan rakyat terbesar (nomor dua setelah Cilacap di Jawa Tengah). Beberapa ibu dengan masker kunyit putih di mukanya dan berbungkus sarung setinggi pinggang menjajakan dagangan mereka. “Itu adanya di gudang yang paling jauh,” seru seorang ibu ketika ditanya dimana tempat pelelangan hiu dilakukan.

Hari itu terdapat 51 ekor hiu yang dilelang, termasuk 21 yang disebut dengan hiu karet (kulitnya bertekstur seperti karet) yang dijual Rp350.000 per kg dan 30 ekor hiu sutra. Total pendapatan lelang hari itu adalah Rp5.400.000.

“Dulu banyak hiu martil besar dijual di pasar ini, tapi sekarang semakin langka”, jelas Prof. Khairuddin, pengajar biologi di Universitas Mataram dalam penjelasannya pada saya. Pagi itu seperti sudah jadi kebiasaannya dalam lima belas tahun terakhir, Prof. Khairuddin datang ke Tanjung Luar bersama mahasiswanya untuk mengumpulkan spesimen untuk kelas taksonomi.

Sinyalemen Khairuddin tentang hiu yang semakin langka benar adanya. Sebuah jurnal ilmiah Perikanan yang dilakukan oleh sekelompok peneliti internasional. Jurnal itu menyatakan 38,5 persen dari 582 sirip hiu yang terkumpul sebagai sampel berasal dari spesies yang dikategorikan oleh IUCN sebagai spesies terancam punah atau rentan.

Setengah dari sampel tersebut berasal dari hanya lima spesies hiu: hiu martil (Sphyrna lewini) yang terancam punah, pelagic thresher (Alopias superciliosus) dan bigeye thresher (Alopias pelagicus) yang rentan, serta hiu sutra (Carcharhinus falciformis) dan hiu biru (Prionace glauca) yang masuk dalam status terancam.

Seorang mahasiswa Prof Khairuddin (bertopi di belakang), sedang menunjukkan spesimen ikan yang ditangkap oleh nelayan Tanjung Luar. Foto: Melati Kaye

Tidak hanya di Indonesia, namun secara global populasi hiu pun menyusut. Di beberapa wilayah seperti pesisir timur (Atlantik) Amerika Serikat, populasi hiu telah berkurang 80 persen selama tiga dekade terakhir ini. Sebagai top predator dalam rantai puncak makanan, hiu tergantung kepada bagaimana ekosistem tempat mereka tinggal. Populasi hiu tergantung pada ukuran spesies lain yang ada dalam rantai makanannya.

Untuk urusan hiu, Indonesia menempati posisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, Indonesia memiliki keragaman hiu tertinggi di dunia, 118 spesies, sebaliknya sesuai data KKP (2012) setidaknya terdapat 50.730 ton hiu yang ditangkap. Suatu jumlah angka terbesar untuk penangkapan hiu seluruh dunia. Meskipun upaya pengurangan angka penangkapan ini telah dilakukan oleh LSM Internasional, namun tetap sulit karena masih banyak nelayan lokal yang hidupnya tergantung pada tangkapan hiu, hanya untuk sekedar bertahan hidup.

Fakta tersebut dapat terlihat nyata di Tanjung Luar. Setiap paginya di pusat pelelangan ikan pasti terdapat kapal penangkap hiu yang bersandar di pelabuhan.

Menurut Zainuddin, lelaki berumur sekitar dua puluhan yang telah menjadi kelasi di kapal penangkap hiu sejak usia 15 tahun, bekerja di kapal penangkap adalah nafkah untuk mencari pendapatan. Sebuah kapal berukuran 6-8 longliners-gross ton yang mengangkut hiu dapat berlayar sampai lepas pantai timur Pulau Rote di NTT.

Kapal penangkap hiu yang bersandar di Tanjung Luar. Dalam tiga setengah minggu pelayarannya ke bagian timur Indonesia, kapal ini menangkap 51 hiu. Foto: Melati Kaye

“Ya, hasilnya lumayan, Ada cukup uang yang bisa didapat kalau kita berlayar, sekaligus bisa juga sekalian sambil tangkap ikan karang dan lobster,” jelasnya.

Ryan Apriando, seorang penjual daging hiu, menyebutkan pasar lokal untuk daging hiu semakin meningkat, selain tentunya pasar ekspor tradisional ke Hong Kong dan Tiongkok untuk sirip dan minyak hati hiu. “Ini ikan bagus, [dagingnya] bisa disate atau digoreng,” jelasnya. Meski dia juga mengakui tidak semua orang suka dan memiliki selera yang sama untuk daging hiu.

Tidak ada bagian hiu yang terbuang. “Bahkan ada pasar khusus untuk jeroan hiu seperti minyak ikan hiu,” jelas Raka Siwi, seorang pejabat dari kantor perikanan setempat menjelakan kepada mongabay.

Spine tail devil ray (Mobula japonica), sejenis pari yang sering tertukar dengan pari manta, tertangkap di Tanjung Luar. Foto: Melati Kaye

Tanjung Luar pun merupakan pelabuhan awal untuk berlayar hingga ke lepas pantai Australia. “Jika Australia menangkap kapal Indonesia, kapalnya dibakar dan nelayannya dikirim balik,” tutur seorang laki-laki.

Di ujung tempat pelelangan, tampak ikan seperti jenis pari manta (Manta sp.), satwa yang dilindungi. Namun Raka Siwi buru-buru menjelaskan bahwa ini bukanlah sejenis pari manta yang disebut oleh banyak orang, karena ikan yang dijual ini adalah spine-tail devil ray (Mobula japanica), yang terdaftar dalam status hampir terancam.

“Kadang-kadang wisatawan datang kesini untuk memotret ikan dan mengekspos seolah-olah ini pari manta, tapi mereka salah,” jelas Siwi mengklarifikasi.

Pemerintah Indonesia sendiri bukannya berdiam diri. Pada bulan Februari 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan aturan tentang larangan memancing semua jenis pari manta di seluruh perairan Indonesia. Bahkan mendirikan suaka perlindungan laut bagi pari manta, yang merupakan suaka terbesar di dunia.

Pada Juni 2015, KKP bersama WWF terlibat dalam pembahasan Rencana Aksi Nasional untuk hiu dan pari. Indonesia memiliki lima jenis hiu yang tunduk pada pembatasan Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yaitu hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu paus (Rhincodon typus), dan tiga spesies Sphyrna, yaitu hiu martil, martil besar (Sphyrna mokarran), dan martil halus (S. zygaena).

Seorang petugas sedang mengukur panjang hiu yang tertangkap. Foto: Melati Kaye

Menurut Direktur Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan KKP Agus Dermawan, saat ini pihaknya sedang membahas status berbagai jenis hiu dan pari, tidak saja yang terdaftar dalam daftar CITES.

“Kami memiliki komitmen yang kuat untuk melestarikan spesies yang terancam punah, namun juga sedang bekerja untuk mengidentifikasi jenis-jenis hiu yang dapat ditangkap dan diperdagangkan.”

Andrianus Sembiring, seorang peneliti dari Universitas Udayana Bali, merekomendasikan agar Kementrian dapat memfokuskan dana untuk penelitian lebih lanjut, termasuk meneliti berapa signifikan spesies hiu terancam yang ditangkap di perairan Indonesia.

“Masalahnya ada pada sisi konsumen. Ketika kami bertanya pada nelayan mengapa mereka menargetkan menangkap hiu martil bergigi? Mereka bilang karena harga jenis hiu itu lumayan tinggi,” jelas Sembiring. “Indonesia sendiri memiliki banyak spesies hiu yang tidak masuk daftar CITES,” tambahnya.

Hasil penelitian Sembiring dan tim berhasil mengidentifikasi sekitar 40 spesies sampel hiu yang berbeda, dengan setengah dari total jumlah sampel berasal dari hanya lima spesies hiu, dimana tiga diantaranya masuk dalam status terancam punah dan rentan.

Hiu sutra adalah jenis hiu yang paling sering dijual di Indonesia, dan ketiga yang paling umum dijual di dunia setelah hiu biru dan hiu martil bergigi. Daftar IUCN mengidentifikasi hiu sutra dalam status “kurang dikenal.” Agak riskan sebenarnya, mengingat perikanan tidak dapat dikelola dengan baik, jika dasar status satwa dan lokasi dimana mereka dapat dijumpai tidak diketahui.

Sajian kuliner lokal, sate hiu. Tidak semua orang menyukai makanan ini. Foto: Melati Kaye

Sembiring dan timnya saat ini sedang meneliti hiu martil bergigi di seluruh perairan Indonesia. “Jika kita menemukan data adanya keterhubungan genetik hiu martil sebagai spesies migrasi, maka aturan di Aceh, Jawa hingga Papua harus sinkron,” jelas Sembiring. “Di Papua, sudah ada larangan penangkapan hiu, tapi jika ikan ini bermigrasi ke tempat lain, maka aturan ini tidak cukup untuk melindungi populasinya.”

Di sisi lain, Dermawan berjanji bahwa tiga dari sembilan strategi utama dari Rencana Aksi Nasional baru untuk jenis-jenis hiu dan pari akan melibatkan tim penelitian, termasuk review dari daftar spesies hiu nasional, meningkatkan jumlah data yang dikumpulkan untuk hiu, dan membangun kapasitas pengumpulan berbasis data lapangan. -Diterjemahkan oleh: Ridzki R. Sigit

Artikel Asli:

Referensi:

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,