, , ,

Pemerintah Anggap Kriteria IPOP Terlalu Berat, Ini Komentar Pegiat Lingkungan dan Petani

Kata Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) belakangan menjadi mendadak mendapatkan perhatian di kalangan beberapa kementerian dan lembaga pemerintah. Betapa tidak, pemerintah tampak gusar dengan kesepakatan sukarela perusahaan-perusahaan raksasa yang baru berkomitmen untuk beroperasi bertanggung jawab terhadap lingkungan dan manusia. Komitmen ini dinilai tak masuk akal karena mencantumkan zero deforestation, dengan melarang membuka kebun sawit di hutan sekunder dan semak belukar tua. Apa kata para pegiat lingkungan menanggapi sikap ini?

Irwan Gunawan, Deputy Director Market Transformation WWF Indonesia mengatakan, WWF sejak awal mendorong IPOP sebagai lokomotif transformasi industri minyak sawit Indonesia menuju praktik berkelanjutan.

“Komitmen perusahaan ini konsisten dengan tantangan kondisi di lapangan. Dalam konteks keberlanjutan, tentu IPOP harus menunjukkan nilai lebih dibandingkan praktik perkebunan sawit konvensional,” katanya kepada Mongabay Sabtu (29/8/15).

Bahkan, jika melihat konteks keterwakilan pemerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menyaksikan penandatanganan IPOP di New York 2014.

Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit malah menyambut baik IPOP ini. Dia justru mendesak, lima perusahaan besar punya komitmen berkelanjutan ini.

Ini berbalik belakang, yang disebutkan beberapa kalangan dari pemerintahan yang membawa-bawa kata ‘rakyat dan petani’ sebagai alasan kekhawatiran.

“Petani justru diuntungkan kehadiran IPOP. Akan ada  akses pasar lebih luas  dan mendapatkan nilai lebih dari sekadar menjual tandan buah sawit. Asalkan petani berpartisipasi dalam komitmen ini.  Saya meyakini, jika komitmen berjalan akan membantu skema adil antara petani dan perusahaan.”

Saat ini, katanya, seluruh anggota IPOP menghendaki kerjasama dengan petani sawit swadaya seiring pendekatan intensifikasi untuk meminimalisir ekspansi. Dengan begitu, akan ada peningkatan kapasitas petani dalam sistem budidaya sawit.

“Komitmen bisnis ini sangat penting bagi petani karena peran negara sangat minim melaksanakan amanat UU Pemberdayaan dan Perlindungan Petani. Komitmen ini tidak saja menguntungkan petani, juga dapat meminimalisir konflik sosial dan menghormati hak-hak buruh perkebunan,” katanya.

Meski begitu, katanya, visi ini tidak mudah dijalankan karena beberapa tantangan di level nasional, seperti soliditas aktor dunia usaha sawit kurang antara yang mendorong keberlanjutan dan yang tidak.

“Para pihak cenderung defensif dan selalu menyalahkan bahwa keberlanjutan adalah konsep asing yang akan membatalkan segala inisiatif perubahan yang dicanangkan semua pihak.”

Dia meminta, perusahaan serius menjalankan komitmen ini hingga bermanfaat bagi petani dan konflik sosial masyarakat teratasi. Sebaliknya, jika perusahaan besar tidak serius menjalankan komitmen,  konsep keberlanjutan dan transformasi akan melemahkan partisipasi penuh dari masyarakat dan petani.

“Ini harus diantisipasi. Perusahaan harus serius. Pemerintah harus mendukung inisiatif ini dengan menciptakan regulasi memudahkan anggota IPOP menimplementasikan komitmen.”

Sawit produk andalan ekspor Indonesia tetapi bisnis ini penuh dengan masalah lingkungan dan sosial. Anehnya, ada apa dengan pemerintah, kala perusahaan berupaya berkomitmen tinggi kok malah dikhawatirkan melemahkan bisnis? Foto: Sapariah Saturi

Mengenai kriteria IPOP dinilai terlalu berat, kata Darto, itu tantangan bersama. Permasalahan saat ini karena stakeholder dalam negeri tidak solid, sebagian memandang “berkelanjutan” sebagai titipan asing.

“Mereka tidak lihat problem nyata di bawah. Bisnis berkelanjutan itu kebutuhan Indonesia. Kalau pemerintah takut sawit tidak dibuka pada APL, tingkatkan saja produktivitasnya.”

Perusahaan sawit harus mengejar target Kementerian Pertanian produksi 36 ton per hektar per tahun. Saat ini perusahaan rata-rata 24 ton. Masih ada 10 ton harus dikejar.

“Kalau pemerintah ingin buka terus izin-izin baru, kapan perusahaan pikir serius tingkatkan produktivitas? Saya ngerti, kalau pekerjaan meningkatkan produktivitas butuh kerja keras pemerintah. Pertanyaan, buat pemerintah, sudah bekerja belum untuk membuat roadmap peningkatan produktivitas sawit? Kan belum.”

Berlindung di balik petani

Menurut dia, jika menuding IPOP akan merugikan petani sawit, itu tidak benar. Pemerintah dan bisnis cenderung ingin berlindung di balik petani agar petani melawan. “Sedang, selama ini petani tidak pernah diberdayakan pemerintah dan menjadi korban unfair partnership dengan perusahaan,”katanya.

Secara politis, hal ini adalah tantangan buat petani. Dia yakin, petani pasti bisa menerapkan konsep berkelanjutan. Jika perusahaan gagal, petani akan menang dan jadi subyek dalam transformasi pasar saat ini.

Dia menilai keberatan pemerintah karena belum terbiasa menjalankan praktik baik. “Kami mengerti betul bahwa daya kelola pemerintah masih buruk baik pusat maupun daerah. Visi IPOP itu konsen pada peningkatan produktivitas. Pemerintah yang mengurus tata kelola perizinan belum terbiasa dengan tata kelola baik. Ini akan mengerucut pada audit perizinan, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Karena itu tidak mau kehilangan kekuasaan dalam mengurus perizinan.”

Dia juga menyikapi konstelasi stakeholders dalam negeri yang tidak solid. Banyak asosiasi pengusaha tidak tegas pada pendirian mau menolak atau menerima bisnis berkelanjutan. “Mereka bicara tidak mewakili perusahaan tapi mewakili asosiasi. Padahal perusahaan komitmen sustainability. Ketika mereka bicara mewakili asosiasi bisnis, mereka menolak.”  Setali tiga uang dengan pemerintah. Ada aparatur menolak dan menerima.

Nyoman Suryadiputra dari Weatlands Indonesia mengatakan, IPOP harus dilihat dari sisi positif. Ini sejalan dengan Inpres Moratorium dan PP Gambut 71. “Demi keberlanjutan usaha sawit Indonesia, sebaiknya optimalkan produktivitas sawit di semua lahan yang sudah dibuka.”

Dia juga mendesak, PP gambut segera dibuat aturan turunan, antara lain pemerintah buat aturan lahan kebun sawit yang sering kebanjiran. “Cekal agar tidak kabur dari tanggung jawab untuk memperbaiki.”

Dia juga menyarankan, pengusaha kebun wajib membina pekebun swadaya dan menolak TBS dengan cara tidak ramah lingkungan.Tempatkan aparat desa dan Dinas Perkebunan di lapangan memantau budidaya sawit, baik petani swadaya, petani berdasi dan perusahaan.

Bustar Maitar dari  Greenpeace mengatakan, kekhawatiran berlebihan terhadap IPOP perlu diluruskan. Sejatinya, inisiatif IPOP yang dimotori beberapa perusahaan perkebunan besar bertujuan membantu pemerintah menekan angka deforestasi.

“Juga meningkatkan produktivitas perkebunan sawit termasuk milik rakyat. Tentu, memproteksi akses pasar produksi sawit global. Kami sangat yakin inisiatif ini berguna melindungi lingkungan juga kepentingan bangsa ke depan.”

Bustar mengatakan, kalau pemerintah mau produk sawit kompetitif di pasar internasional, harus bebas konflik dan deforestasi. Dengan meletakkan petani kecil sebagai tameng juga tak bijak. “Sebenarnya,  yang tetap ingin deforestasi adalah perusahaan besar. Yang tetap ingin membuka hutan terutama di Papua,” katanya.

Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, sejak lama lima grup bisnis anggota IPOP menguasai perdagangan sawit, setuju atau tidak dengan komitmen itu,  mereka tetap akan menguasi rantai perdagangan sawit.

“Nah, ketika mereka berkomitmen lebih baik kenapa tidak di dukung? Kekhawatiran itu tak berdasar karena IPOP mengusulkan penggunaan metode high conservation value untuk hutan sekunder dan belukar tua. Ini jalan tengah terbaik bagi pemerintah dan industri untuk melihat lahan mana yang masih bisa diusahakan dan mana yang harus dilindungi.”

Menurut dia, reaksi pemerintah terhadap IPOP ini langkah mundur dalam menyelamatkan lingkungan terutama hutan dan gambut yang tersisa.

“Saya khawatir penolakan IPOP ini dimotori kelompok bisnis yang masih nyaman dengan perilaku merusak hutan dan gambut.Tentu tidak boleh diamini karena kita telah merasakan betapa hebat dampak kerusakan hutan dan gambut. Seperti kebakaran hutan, asap, kekeringan, dan lain-lain.”

IPOP, katanya, sebenarnya sangat sejalan dengan semangat konstitusional. Dalam UUD 1945, sangat jelas dan tegas dikatakatan hak atas lingkungan hidup bersih dan sehat adalah hak asasi manusia. “Bahkan diperkuat oleh UU HAM dan UU lingkungan hidup. Jadi kebenaran mana lagi yang hendak didustakan?”

Warga Mamuju Utara menjadikan mata pencarian sehari-hari dengan mengumpulkan sisa-sisa sawit yang berjatuhan, yang disebut berondolan. Kadang mereka harus kejar-kejaran dengan Brimob yang menjaga perkebunan sawit miliki swasta. Apakah pemerintah khawatir dengan nasib warga-warga ini? Apakah ada upaya serius agar warga tak hanya jadi penonton di antara pebisnis besar yang beroperasi di lokasi sekitar mereka? Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,