,

Derita Warga Desa Perigi Talang Nangka yang tidak Memiliki Lahan dan Dicap Perambah

Desa Perigi Talang Nangka merupakan satu dari 19 desa yang masuk di Kecamatan Pangkalan Lampan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Seperti umumnya warga di kecamatan tersebut, di masa lalu sebagian besar warga bekerja sebagai pencari kayu di hutan. “Saat ini orang menyebut pekerjaan tersebut sebagai perambah. Saya akui  hingga hari ini ada warga di desa kami yang tetap mencari kayu di hutan yang tersisa,” kata kata Eddy Saputra, Ketua Gabungan Kelompok Tani Perigi Bersatu Makmur, Selasa (01/09/15).

“Itu dilakukan warga karena mereka tidak punya kebun. Menjadi buruh kebun milik warga lain jelas pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga, yang saat ini terus meningkat, terutama untuk biaya pendidikan anak dan kebutuhan listrik,” kata Eddy.

Hampir setengah dari sekitar 5.000 jiwa warga Desa Perigi Talang Nangka tidak memiliki lahan untuk berkebun.

Bahkan, dikatakan Eddy, sebagian warga dari Pangkalan Lampam merantau ke Riau, Jambi, atau Kalimantan, untuk mencari kayu di hutan.

Kenapa mereka tidak memiliki lahan? “Lahan kebun yang merupakan peninggalan para leluhur kami diambil pemerintah untuk lahan konsensi perkebunan sawit. Dijadikan kawasan hutan milik negara, dan sebagian memang dijual warga dengan perusahaan perkebunan sawit,” katanya.

Karena tidak memiliki lahan, maka warga yang ingin menanam padi akhirnya membakar lahan gambut milik negara, yang pada umumnya sudah tidak ada lagi hutannya. “Setelah terbakar, lahan ini kemudian ditanami padi oleh warga,” ujarnya.

Penyebab kedua, kenapa masih ada warga membakar, karena mereka tidak memiliki pengetahuan mengelola lahan tanpa membakar. “Lahan gambut kalau tidak dibakar tidak subur. Itu yang kami mengerti. Mudah-mudahan pemerintah punya solusi membuka lahan tanpa membakar, dan biayanya murah.”

Kebun karet milik warga di Desa Perigi Talang Nangka Kabupaten OKI, Sumsel. Sebagian besar warga tidak memili lahan untuk berkebun. Foto: Taufik Wijaya
Kebun karet milik warga di Desa Perigi Talang Nangka Kabupaten OKI, Sumsel. Sebagian besar warga tidak memili lahan untuk berkebun. Foto: Taufik Wijaya

Butuh 10.000 Hektar

Merasa malu dicap sebagai perambah hutan dan lahan gambut, Eddy dipercaya  1.600 warga Desa Perigi Talang Nangka yang merupakan anggota 60 kelompok tani, yang tidak memiliki lahan untuk bertani dan berkebun, memperjuangkan lahan seluas 10.000 hektar.

Lahan ini di masa lalu merupakan hutan adat masyarakat, tapi saat ini ditetapkan pemerintah sebagai hutan produksi dan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan Sebokor.

“Lahan ini selain ditanami padi, sayuran, juga akan dibuat kebun khas tanaman rawa gambut seperti jelutung, manggis, serta dibuat hutan desa yang berisi tanaman pohon kayu dan buahan-buahan. Sebagian dijadikan kebun karet dan pemukiman warga,” kata Deddy saat berada di lokasi.

Guna mendapatkan lahan tersebut, Deddy sudah mengusulkan dengan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Lahan ini murni akan diusahakan, tidak akan diperjualbelikan. Sebab warga memang butuh lahan, sehingga tidak merambah lagi,” ujarnya.

“Saat ini kami sudah mengelola hutan produksi ini. Misalnya secara swadaya kami membuat kanal. Fungsinya selain sebagai sarana transportasi juga sebagai penyedia air bagi lahan pertanian, yang umumnya berupa gambut dengan kedalaman setengah hingga dua meter,” ujar Deddy sambil menunjuk kanal yang mereka buat.

Kenapa membutuhkan lahan di kawasan SM Padang Sugihan Sebokor? Deddy menjelaskan. Selain alasan hutan tersebut di masa lalu merupakan hutan adat masyarakatnya, juga lahan yang mereka butuhkan tidak mengganggu koridor gajah di SM Padang Sugihan Sebokor.

“Gajah liar yang masih ada di sana sekitar 11 individu. Mereka beraktivitas selalu di dekat sungai. Jaraknya dengan lokasi kami sekitar 7 kilometer. Kawanan gajah tersebut tidak pernah masuk ke lokasi yang kami butuhkan tersebut,” jelasnya.

Hutan produksi berupa semak ini akan dimanfaatkan warga sebagai lahan untuk menanam padi, sayuran, dan perkebunan. Foto: Taufik Wijaya
Hutan produksi berupa semak ini akan dimanfaatkan warga sebagai lahan untuk menanam padi, sayuran, dan perkebunan. Foto: Taufik Wijaya

Potensi gula aren dan tikar purun

Jon, warga Desa Perigi Talang Nangka, menjelaskan, sebenarnya banyak potensi ekonomi bagi masyarakat yang dapat dikembangkan di desanya. Misalnya gula merah dari pohon aren dan pembuatan tikar purun. Jika potensi ini dikembangkan, bukan tidak mungkin warga di desanya tidak lagi melakukan perambahan di wilayah pesisir timur Kabupaten OKI.

“Tapi potensi ini tidak pernah mendapatkan dukungan dari pemerintah. Khususnya dalam pengembangan pemasarannya, sehingga masyarakat tidak mampu menjadikannya sebagai potensi ekonomi keluarga,” katanya.

Tikar purun, misalnya, hampir setiap perempuan di desanya mampu membuatnya. Tapi lantaran rendahnya permintaan, pembuatan tikar purun hanya sebagai pemenuhan keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.

“Tahun 1970-an hingga 1990-an, tikar purun sempat menjadi penompang ekonomi keluarga di sini. Khususnya pemasukan bagi kaum perempuan. Sejalan berkembangnya tikar plastik atau karpet, permintaan tikar purun menurun. Masyarakat pun tidak lagi memproduksi tikar purun,” kata Jon.

Menurut Jon, dengan adanya kecenderungan masyarakat pada saat ini membutuhkan barang-barang rumah tangga yang ramah lingkungan, tikar purun dapat dijadikan pilihan. “Pemerintah yang katanya ingin mengembangkan ekonomi kreatif, seharusnya mendorong potensi ini,” ujarnya.

Sementara gula aren yang selalu dibutuhkan masyarakat di Palembang, sebagai bahan pembuat cuka makanan pempek, menghadapi kendala pemasaran. “Harga jual kami selalu murah. Padahal harga eceran cukup tinggi. Di pasaran Palembang gula aren mencapai Rp25 ribu per kilogram, sementara harga dari kami hanya Rp8-9 ribu. Kami sulit mendapatkan agen yang membeli dengan harga yang lebih tinggi,” katanya.

“Intinya kami tidak pernah dibina dalam mengembangkan ekonomi oleh pemerintah. Jadi sangat wajar jika masih banyak warga kami merambah hutan dan lahan gambut,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,