, , ,

Riau, Kebakaran Hutan Lagi, Asap Lagi…

SATU September 2015. Asap tebal menyelimuti Pekanbaru, hari itu. Sepanjang Jalan Soekarno Hatta-Nangka-Jalan Balam, jarak pandang tak sampai 300 meter. Indeks standar pencemar udara (ISPU) menunjukkan warna biru atau sedang.

Pagi hari, Dudi Chandra, meliburkan kedua anaknya  di SD Teladan Sail, Tenayan Raya. “Saya langsung mendatangi ke wali kelas minta izin libur karena kabut asap. Saya sempat tanya kok belum diliburkan. Menurut wali kelas belum ada instruksi Dinas Pendidikan Pekanbaru,” katanya. Dia tinggal di Hang Tuah, Kulim.  “Asap masuk rumah saya tiga hari ini. Saya nyuruh anak tidak main keluar rumah.”

Tahun lalu, kala asap menyelimuti Pekanbaru, dia bersama istri dan anak-anak mengungsi  ke Sumatera Barat. “Selama tiga hari, saya mengeluarkan uang Rp2 juta untuk transportasi, penginapan dan konsumsi,” katanya.  “Jika terjadi lagi tahun ini kami akan ngungsi. Tidak mungkin anak dikurung di kamar. Saya tutup pintu rumah, asap tetap masuk.”

Di sosial media, Frida Prabu, di Facebook, menulis, “tenggorokan ku sakit banget, udah minum Lasegar berbotol-botol  kirain sariawan eh gak juga sembuh …. hadeh. kemana pemerintah Riau, kasian anak-anak ni …”

Frida, bernama lengkap Frida Kustini. Kondisi dia dan anak batuk-batuk serta tenggorokan perih saat menelan makanan. Kedua mata juga perih. “Kami mengurung diri di rumah mengurangi aktivitas bermain anak-anak d luar rumah,” katanya kepada saya dalam percakapan via FB.

Dia minum obat batuk, vitamin, dan memperbanyak air putih. ”Anak-anak ditambahin minum susu supaya daya tahan tubuh gak makin ngedrop.”

Sore hari asap kian menebal. Jarak pandang kurang 200 meter. Asap masuk rumah. Saya bersama istri terpaksa menginap di hotel. ISPU menunjukkan warna kuning alias ”tidak sehat.”

pekanbaru2-Hotpsot per 31 agus-2 sep 15

Setiap Senin-Jumat,  saya dan istri,  Yofika Pratiwi, mengendarai sepeda menerobos kabut asap ke tempat kerja berjarak tujuh km. Bau asap menusuk hidung meski pakai masker. Malam hari di rumah, dua kipas angin mengusir asap tak mempan. Akhirnya, kami memutuskan menginap di hotel, kala kepala saya pusing menghirup asap. Tenggorokan sakit saat menelan air liur. Mata perih. Begitu juga istri saya.

Rabu, (2/9/15), dari hotel, tampak asap kian menebal. ISPU warna kuning. Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, parameter kualitas udara PM 10, SO2, CO, O3 dan NO2. Jika ISPU sudah “tidak sehat” sampai “berbahaya” berarti udara tercemar. KLHK menyarankan memakai masker saat keluar rumah.

Kamis (3/9/15), pukul 17.00, ISPU di Jalan Nangka dan Jalan Sudirman (depan kantor Walikota Pekanbaru) berwarna hitam atau berbahaya. Jarak pandang cuma 100 meter. Bangunan-bangunan tinggi sepanjang jalan tertutup kabut.

Koalisi Penyelamat Sumber Daya Alam (PSDA) Riau, menyebut data hotspot Jikalahari sepanjang Januari-Agustus 2015 menunjukkan, total 5.869 titik api di lahan HTI, sawit dan hutan lindung. Semua itu, di lahan gambut.  Dari 5.860 hotspot 4057 di gambut.

“Artinya karhutla di konsesi HTI dan sawit serta di kawasan konservasi yang dirambah dan diokupasi cukong sawit,” kata Woro Supartinah dari Jikalahari. Hari itu, Koalisi merilis laporan berjudul “Menuntaskan Asap Riau, Melalui GN-PSDA KPK” di sebuah hotel. Saat acara, asap masuk ke lobi hotel.

Menurut Koalisi, kala deforestasi-degradasi terstruktur, sistematis dan masif di Riau melalui produk hukum menguntungkan korporasi, (KPK) berupaya menghentikan praktik-praktik ini melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA).

Dalam GN-PSDA, Pemda Riau harus menyelesaikan pengukuhan: kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi, penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, dan perluasan wilayah kelola masyarakat. Lalu, penyelesaian konflik kawasan hutan, penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.

Lahan gambut terbakar sepanjang Juli 2015 di dalam konsesi PT Arara Abadi (APP Grup) di Siak. Foto diambil pada 3 Agustus 2015. Foto: Made Ali
Lahan gambut terbakar sepanjang Juli 2015 di dalam konsesi PT Arara Abadi (APP Grup) di Siak. Foto diambil pada 3 Agustus 2015. Foto: Made Ali

Persoalan karhutla Riau, segera berakhir, bila kemarau berakhir pemerintah tidak berleha-leha dan serius menjalankan GN-PSDA.”Pantauan kami pemerintah kelihatan bekerja saat Riau darurat asap. Seolah-olah dengan memadamkan api pemerintah sudah menyelesaikan persoalan tata kelola kehutanan yang terindikasi korupsi,” kata Muslim Rasyid, Dinamisator Koalisi PSDA Riau.

“Persoalan karhutla Riau bukan sekadar  menabur uang Rp40 miliar untuk memadamkan api. Lebih dari itu. Riau butuh perbaikan tata kelola kehutanan yang diabaikan pemerintah.” “Pendekatan GN-PSDA jalan cepat memperbaiki buruknya tata kelola kehutanan.”

***

Merujuk hasil penelitian ahli karhutla Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis dalam perkara karhutla di gambut menyebutkan, terbakarnya lahan sama sekali tidak menimbulkan kerugian perusahaan, justru memberikan keuntungan ekonomis. Dengan lahan terbakar, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya membeli kapur untuk meningkatkan PH gambut dan biaya pengadaan pupuk dan pemupukan. Karena sudah digantikan dengan abu dan arang bekas kebakaran, serta biaya pengadaan/pembelian pestisida untuk mencegah ancaman serangan hama dan penyakit. Perusahaan juga diuntungkan karena akan memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta biaya-biaya lain.

“Merujuk itu, lahan gambut dibakar bermotif ekonomi tertentu dengan keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli pelestarian lingkungan hidup,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau.

ISPU di jalan Sudirman Pekanbaru kategori berbahaya. Foto: Made Ali
ISPU di jalan Sudirman Pekanbaru kategori berbahaya. Foto: Made Ali

pekanbaru3-Konsesi karhutla

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,