,

Setahun Korsup KPK, 337 Izin Tambang Non-CnC Tetap Melenggang di Kalimantan Barat

Sektor pertambangan di Kalimantan Barat memasuki episode baru pasca-koordinasi dan supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi bidang mineral dan batubara sejak Mei 2014. Setahun berjalan, ada kemajuan. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah guna memastikan rekomendasi Korsup Minerba dapat berjalan dengan baik.

Salah satu contoh paling gamblang adalah penciutan dan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) yang bebal terhadap regulasi. Hingga kini, jumlah total perizinan tambang di Kalimantan Barat tersisa 636 IUP. Angka ini sudah mangalami penyusutan dari sebelum Korsup KPK yang mencapai 813 IUP.

Dari sisi administrasi, begitulah fakta pertambangan di Kalimantan Barat. Ada upaya penciutan/pencabutan izin. Namun, dari 636 total IUP, ternyata masih ada 337 atau 52 persen IUP non-CnC yang bercokol dalam lembaran administrasi pemerintah.

Hal ini terungkap dalam diskusi Satu Tahun Pelaksanaan Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara di Kalimantan Barat yang dihelat Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, Kamis (3/9/15), di Sekretariat Walhi Kalbar.

Melalui paparannya, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Fajrin Nailus Subchi mengatakan, suatu izin dinyatakan Clean and Clear (CnC) apabila lokasi izin tidak tumpang tindih dengan izin lainnya.

Selain itu, sambung Fajrin, perusahaan dapat menjalankan pembayaran keuangan dalam bentuk land rent dan royalti, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan hal lain yang terkait dengan data administrasi. “Capaian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengurangan signifikan untuk jumlah izin non-CnC, bahkan mengalami peningkatan,” katanya.

Dalam kertas posisi yang menyoroti satu tahun pelaksanaan rekomendasi antara KPK dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota se-Kalimantan Barat, berbagai persoalan pengelolaan pertambangan disikapi. Kertas posisi ini fokus menyoroti pelaksanaan rekomendasi Korsup Minerba, khususnya penataan izin pertambangan dan pengawasan produksi pertambangan mineral dan batubara.

Pencabutan IUP Non-CnC berjalan lambat

Terkait pencabutan dan penciutan IUP, jelas Fajrin, data yang berhasil dikumpulkan telah mencapai 177 IUP dengan total luasan yang dicabut mencapai lebih satu juta hektar. Angka ini berkurang dari jumlah pencabutan/penciutan IUP pada Februari sebanyak 190 IUP. Pengurangan dilatarbelakangi oleh adanya penambahan IUP yang dikeluarkan pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

Fajrin menjelaskan, pencabutan/penciutan ini didasari pada beberapa faktor seperti, kemampuan perusahaan pemegang IUP dalam melakukan produksi, masa berlaku izin yang telah mati, surat permintaan pencabutan dari perusahaan kepada pemerintah, syarat administrasi yang tidak lengkap, dan tidak melakukan kewajiban pembayaran keuangan.

Dari kacamata Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, progres ini terkesan lambat. “Harusnya pemerintah mencabut 337 IUP yang hingga saat ini masih berstatus non-CnC,” pinta Fajrin.

Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian dan pecemaran udara tanpa ada upaya mereklamasi bekas tambangnya. Foto: Andi Fachrizal
Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian dan pecemaran udara tanpa ada upaya mereklamasi bekas tambangnya. Foto: Andi Fachrizal

Hal lain yang tak luput dari sorotan adalah temuan 13 perusahaan yang terindikasi berada di kawasan konservasi. Ternyata, hanya tiga perusahaan yang diciutkan/dicabut izinnya. Begitu pula dengan temuan 125 perusahaan di hutan lindung, hanya 18 IUP yang dicabut/diciutkan. “Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak IUP yang berada di kawasan konservasi dan hutan lindung yang belum dicabut oleh pemerintah,” jelas Fajrin.

Sementara pembayaran dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang, koalisi juga menilai langkah pemerintah berjalan sangat lamban. Dari data yang ada hingga September 2015, penambahan jumlah IUP yang sudah melakukan kewajiban pembayaran hanya di level provinsi.

Penambahan satu IUP yang sudah melakukan pembayaran pun hanya sebatas pembayaran dana jaminan reklamasi. Tidak ada penambahan untuk IUP yang sudah membayarkan dana jaminan pascatambang.

Padahal, urai Fajrin, pembayaran dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan pertambangan sebelum memperoleh persetujuan izin usaha eksplorasi maupun operasi produksi yang telah diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 dan PP 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.

Lebih jauh Fajrin mengatakan, obral perizinan dan minimnya partisipasi masyarakat dalam proses perizinan memicu telah terjadinya tumpang-tindih lahan antara izin tambang dengan wilayah kelola masyarakat.

“Bahkan, temuan kita ada izin perusahaan yang berada di areal permukiman maupun hutan adat masyarakat. Hal ini yang membuat maraknya konflik berbasis klaim tenurial,” urai Fajrin.

Sementara Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Anton P Wijaya mengatakan dari sejumlah persoalan tata kelola pertambangan yang sudah terungkap, sejatinya pemerintah bekerja lebih ekstra. “Korsup KPK di tahun pertama memang lebih terkonsentrasi pada tataran administrasi. Tetapi tak menutup kemungkinan levelnya ditingkatkan ke arah yang lebih teknis,” katanya.

Anton juga menyoroti lokasi pertambangan yang izinnya sudah dicabut, serta mendesak pemerintah untuk menyerahkan pengakuan terhadap wilayah kelola masyarakat. “Ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019 yang akan memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat seluas 12,7 juta hektar,” katanya.

Khusus di Kalimantan Barat, jelas Anton, pemerintah akan memberikan hak kelola hutan seluas 3.614.801 hektar. Rinciannya, hutan lindung (1.624.074 hektar), hutan produksi (699.521 hektar), hutan produksi konversi (9.386 hektar), hutan produksi terbatas (827.758 hektar), dan hutan konservasi (454.062 hektar).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,