, ,

AMAN Sumsel: Ingin Bebas Kabut Asap? Kembalikan Lahan Gambut kepada Masyarakat

Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera Selatan selama 18 tahun ini menyebabkan sekitar 1 juta dari 1,4 juta lahan gambut rusak. Ini membuktikan jika perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) gagal menjaganya. Sebab, aktivitas perusahaan dengan mengedepankan tanaman sawit dan akasia, terbukti menurunkan kualitas lahan gambut, sehingga mudah terbakar.

“Satu-satunya solusi mencegah kebakaran adalah dengan membebaskan lahan gambut dari aktivitas perusahaan sawit dan HTI. Lahan tersebut, dikembalikan menjadi hutan, serta sebagian diberikan kepada masyarakat, sebagai jaminan mereka untuk menjaga lahan gambut kembali menjadi hutan,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua BPH (Badan Pengurus Harian) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, Jumat (04/09/15).

Dijelaskan Rustandi, perkebunan sawit dan HTI yang menanam akasia, terbukti gagal menjaga kualitas air di lahan gambut. Baik karena lemahnya sistem kelola air maupun karakter dari tanaman yang lemah mengontrol air. Tidak seperti tanaman khas gambut, seperti jelutung, aren, dan tanaman kayu lainnya, yang selama berabad menjaga lahan gambut. Sayang, semua tanaman tersebut sudah habis di lahan gambut di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, akibat eksplorasi perkayuan di masa Orde Baru, maupun saat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI.

Dengan kualitas lahan gambut yang tidak baik tersebut, kemarau bersama El Nino hanya menjadi pendorongnya. “Satu puntung rokok pun akan mampu menghanguskan ribuan hektar gambut. Kan tidak mungkin kita mampu mengontrol  percikan api di lahan gambut,” kata Rustandi.

Jika aktivitas warga membakar lahan untuk bertani dan berkebun sebagai faktor pemicunya, itu hanya pengalihan tanggung jawab. “Dulu, sebelum adanya perkebunan sawit dan HTI, dan hutan gambut dihabisi, masyarakat melakukan pembukaan lahan untuk kebun dan pertanian dengan cara membakar. Tapi tidak pernah terjadi peristiwa seperti saat ini. Kenapa? Sebab saat itu kualitas lahan gambut masih baik. Tidak seperti sekarang,” kata Rustandi.

Dengan kondisi lahan gambut yang tidak baik ini, “Mau seribu pakar dari seluruh dunia pun tidak akan mampu mencari jalan keluarnya, kecuali mengembalikan kualitas lahan gambut dengan membebaskannya dari kegiatan perkebunan sawit dan akasia (HTI). “

Rustandi kecewa dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah maupun pihak lainnya dalam mengatasi persoalan lahan gambut. “Mereka melihat sepertinya masyarakat yang miskin sebagai pemicu. Sehingga, mereka menciptakan berbagai peluang ekonomi bagi masyarakat, yang sebetulnya mengajak masyarakat melakukan perusakan yang sama terhadap gambut seperti yang dilakukan perusahaan.”

Contohnya, apa yang akan dilakukan pemerintah Sumatera Selatan dengan program kawasan hijau yang katanya didukung pemerintah Belanda, Jerman, Inggris, Norwegia, dan konsultan Mcksec dari Amerika Serikat. Sepintas, orang pikir sebuah proyek konservasi, tapi ternyata justru mengajak masyarakat menanam kopi, sawit dan akasia, yang terbukti menurunkan kualitas lahan, terutama lahan gambut,” kata Rustandi.

Jika sudah dibebaskan dari perusahaan, lalu siapa yang menjaga lahan tersebut? Tentu saja masyarakat yang didukung pemerintah. “Kembalikan kepercayaan kepada masyarakat adat dalam menjaga lahan. Selama puluhan abad, mereka terbukti berhasil menjaga lingkungan. Memang, agar tidak terjadi kerusakan di lahan yang akan dikonservasi, masyarakat tetap diberi lahan untuk pertanian dan perkebunan.”

Api yang muncul dari dalam tanah dan terus membakar ranting kering. Foto: Taufik Wijaya
Api yang muncul dari dalam tanah dan terus membakar ranting kering. Foto: Taufik Wijaya

Lahan gambut punya Indonesia

Jika lahan gambut dibebaskan dari penguasaan perusahaan, negara tidak rugi, “Justru yang merasa rugi itu para pemilik modal. Memang pendapatan negara menjadi berkurang, tapi perenomian masyarakat di pedesaan akan berjalan lagi karena mereka memiliki lahan,” kata Tarech Rasyid dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang, Jumat (04/09/15).

“Memang sulit dilakukan mendadak. Tapi, demi menjaga masa depan lingkungan, sebab ancaman kerusakan lingkungan jauh lebih berbahaya dibandingkan krisis energi, langkah tersebut dapat dilakukan bertahap,” katanya.

Caranya, kata Tarech, mencabut izin konsensi atau mengambil kembali lahan yang terbukti gagal dikelola perusahaan, termasuk pula lahan-lahan yang terbengkalai. Juga, tidak memberikan izin baru terhadap pengelolaan lahan gambut, meskipun dikatakan sudah rusak. “Kalau rusak bukan diserahkan ke perusahaan, tapi diperbaiki,” kata Tarech.

Berikutnya, kurangi tanaman yang merusak kualitas gambut, seperti sawit dan akasia. “Masih banyak tanaman lain yang baik bagi lahan gambut yang dapat digunakan sebagai bahan baku kertas atau minyak makan,” katanya.

Terakhir, merupakan kewajiban perusahaan untuk menciptakan lahan gambut agar tetap terjaga kualitasnya. Misalnya, menanam pohon khas gambut atau yang sangat dibutuhkan lahan gambut, dengan perbandingan 50-50 persen.

“Mereka harus mau. Toh, mereka tetap untung, tapi bedanya mereka mengurangi keuntungan. Apalagi lahan gambut ini kan punya negara Indonesia bukan punya perusahaan. Pemerintah tinggal bersikap saja. Sederhana kok. Dasarnya UUD 1945 dan Pancasila,” jelasnya.

Kemarau dan El Nino

Sebelumnya, Ahmad Taufik, Kepala Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, mengatakan akibat kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun menyebabkan lahan gambut di Sumatera Selatan yang luasnya mencapai 1,4 juta hektar mengalami kerusakan hingga satu juta hektar.

Selain rusak, kebakaran lahan gambut tersebut juga menyebabkan bencana kabut asap, seperti yang dialami saat ini.

Apa sebabnya? Musim kemarau dengan El Nino menyebabkan kekeringan, yang menjadi salah satu faktor seringnya terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut.

Dijelaskan Taufik, sejak Juni 2015 hingga saat ini, kebakaran lahan gambut di empat kabupaten yakni Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Banyuasin, dan Musi Banyuasin (Muba), ditemukan rata-rata 100 titik api.

Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Sumatera Selatan guna mencegah kebakaran hingga bencana kabut asap, yang didukung berbagai pihak. Baik pemantauan darat dan udara, juga langkah pemadaman darat dan udara.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,