,

Ruang Terbuka Hijau dan Pekarangan Ramah Burung

Indonesia tercatat sebagai negara kedua, setelah Malaysia, di Asia Tenggara dengan laju urbanisasi sekitar 51,4%. Akibat pertumbuhan tersebut, banyak ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan yang akhirnya tergusur oleh permukiman, perkantoran, hingga kawasan industri.

Jakarta, misalnya. Luas RTH Publik Jakarta baru sekitar 9,8 persen yang artinya jauh dari batas minimal tata ruang kota (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang) yaitu 20 persen untuk RTH Publik dan 10 persen untuk RTH Privat. Padahal, Jakarta masih menyimpan potensi ruang terbuka hijau sebesar 23,58 persen yang terdiri dari RTH Publik 4,84 persen dan RTH Privat 18,74 persen. Karena itu, Jakarta dan sejumlah kota di Indonesia, tengah giat melapangkan RTH nya.

“Namun, yang perlu diperhatikan, RTH seharusnya tidak sekadar hijau, tetapi juga mempertimbangkan fungsi ekologis,” tutur Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia dalam pameran lukisan burung “Birds of Our Nation” di Jakarta, belum lama ini.

Artinya, idealnya, RTH bukan hanya hijau dan nyaman bagi manusia tetapi juga ‘ramah’ bagi beragam hidupan liar, sebut saja beragam jenis burung.

Untuk Jakarta, kecilnya areal ruang terbuka hijau serta letaknya yang berjauhan tanpa jalur penghubung, membuat burung-burung yang hidup di dalamnya terisolasi. Di kawasan sempit dan terisolir tersebut, persaingan untuk mendapatkan makanan dan berbiak menjadi sangat tinggi. Akibatnya, burung-burung kota hanya memiliki dua pilihan: pindah ke tempat yang lebih hijau atau bertahan di lingkungan yang tidak lagi mendukung kehidupannya.

“Padahal, kehadiran burung di perkotaan penting karena burung merupakan indikator alami kualitas lingkungan,” tutur Dr. Biol Boedi Mranata, Dewan Pembina Burung Indonesia dalam obrolan santai pelestarian burung di perkotaan selama pameran  tersebut.

Boedi mencontohkan, jika di suatu area masih dijumpai burung sikatan maka di lokasi itu masih terdapat pepohonan yang rimbun. Sebab, burung ini menyukai naungan pohon yang sejuk. Contoh lainnya, kehadiran burung raja-udang di suatu wilayah akan menandakan perairan ataupun sungai di sekitarnya masih memungkinkan ikan untuk hidup. “Selain itu, burung juga cantik dan suara kicauannya memberikan nuansa alami yang menenangkan. Kehadiran burung liar di ruang publik dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap alam.”

Pemerintah dan masyarakat dapat lebih mengoptimalkan RTH yang ada untuk menghadirkan burung di lingkungannya, ketimbang memelihara dalam sangkar. “Tak hanya taman kota, pekarangan rumah pun berperan besar sebagai koridor hijau untuk melestarikan burung-burung di perkotaan.”

Apa yang dimaksud dengan pekarangan ramah burung? Menurut Agus, kita dapat menyiapkan pekarangan untuk dapat memikat kehadiran burung, baik untuk beristirahat, mencari makan, maupun bersarang. Caranya dengan menanam pohon buah dan bunga-bungaan seperti kenanga, kersen, pisang hias, soka, rambutan, dan jambu bol.

Selain sebagai sumber pakan, kerimbunan pohon buah akan menciptakan tempat yang nyaman bagi burung untuk bertengger dan bersarang. Betet biasa, misalnya, menyukai pohon-pohon besar yang memiliki tajuk luas. Demikian juga dengan tanaman bunga seperti pisang-pisangan dan bunga pacing. Nektar dan serangga yang terpikat tanaman ini merupakan santapan utama beberapa jenis burung seperti burung madu. “Inilah pekarangan ramah burung, tidak hanya indah tapi juga bermanfaat bagi hidupan liar,” paparnya.

Sebagian lukisan paruh bengkok yang dipajang dalam pameran "Birds of Our Nation" di Jakarta. Foto: Burung Indonesia
Sebagian lukisan paruh bengkok yang dipajang dalam pameran “Birds of Our Nation” di Jakarta. Foto: Burung Indonesia

Motret burung di pekarangan

Riza Marlon, fotografer satwa liar terkemuka di Indonesia, menuturkan ia kerap memotret burung di pekarangan rumahnya. Menurut Riza, dengan menanam tanaman yang disukai satwa maka dengan sendirinya burung akan datang. “Saya mendapati ada 16 jenis burung yang datang ke rumah. Dan saya, cukup menunggu di pekarangan saja.”

Caca, yang biasa disapa menuturkan, burung yang di potret di rumahnya itu, merupakan pengunjung setia yang biasanya datang setiap jam 7.00 WIB untuk menghisap madu atau mencari buah-buahan. “Siklus burung itu biasanya sama, kalau dia datang pagi maka esok hari akan datang juga di waktu yang sama. Tempat yang dituju juga tidak berbeda, di sekitar pohon yang sudah dikunjungi sebelumnya. Jadi, kita tinggal standbye, kalau ingin motret.”

Menurut Caca, pekarangan dan ruang hijau sekitar memang bisa dijadikan tempat latihan awal untuk memotret burung. Ini penting dilakukan, terlebih para fotografer satwa liar pemula. Karena yang ditekankan adalah proses dan ketertarikan terlebih dahulu, disamping dapat mempelajari karakter burung yang kita lihat keseharian. “Jadi, gak perlu buru-buru ke hutan,” ujarnya saat pameran foto dan talkshowWildlife Photography” di Bogor, penghujung Agustus lalu.

Keuntungan lain, dikarenakan burung yang hidup di perkotaan sudah terbiasa bersentuhan dengan manusia, pastinya akan memiliki sifat lebih “berani” ketimbang burung yang ada di belantara yang sulit didekati. Dengan begitu, peralatan untuk memotret pun lebih praktis. Tidak harus lensa panjang, kamera saku juga bisa digunakan untuk memotret burung yang biasa datang ke pekarangan dan ruang terbuka.

Burung apa saja yang bisa kita jepret melalui lensa? Pastinya jenis tekukur, cucak kutilang, burung-madu sriganti, bondol, terlebih burung gereja masih bertebaran di sekitar kita.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,