, , ,

Tindak Tegas dan Cepat Para Pembakar Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap hingga menyebabkan berbagai masalah, terus terulang. Pemerintah seharusnya tegas dan cepat dalam menindak hukum pelaku. Kebakaran jadi bencana tahunan juga menunjukkan lemahnya aspek pencegahan, pemadaman, penindakan, dan penanganan pasca kebakaran.

Mas Achmad Santosa, mantan Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bidang Penegakan Hukum, mengatakan, dalam penegakan hukum, kalau sudah diketahui titik panas, verifikasi  lapangan, tentu ketahuan kebakaran di lahan siapa. “Harusnya kalau sudah tahu, tidak perlu kompromi, harus dipanggil, dicabut izin, proses pidana cepat,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (10/9/15).

Upaya pemerintah dengan menyegel lahan terbakar, hingga sanksi, katanya, merupakan langkah bagus. Namun, harus dibarengi proses hukum baik pidana dan perdata guna menutupi kerugian.

“Setelah pidana, penyitaan aset bisa dilakukan, kalau tidak, bisa kabur keluar negeri pelaku. Karena itu, intelijen kriminal harus berjalan mengidentifikasi aset-aset perusahaan, jadi kalau ada putusan hukum bersalah, penyitaan aset langsung berjalan,” ucap Ota, panggilan akrabnya.

Lanjut audit kepatuhan

Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagiyo, menyatakan, Presiden Joko Widodo,  sebaiknya audit kinerja beberapa institusi terkait Inpres 16/2011 tentang peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Inpres ini mewajibkan setidaknya 15 pejabat, baik kementerian maupun daerah melakukan langkah pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran hutan dan lahan.

“Salah satu inisiatif pemerintah dan patut ditindaklanjuti, misal, audit kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah seperti Riau 2014,” katanya.

Ota menimpali. Menurut dia, audit kepatuhan Riau bersama tim koalisi, menyimpulkan, perusahaan HTI maupun sawit tak patuh. “Dari audit kepatuhan muncul berbagai rekomendasi. Di Riau, diaplikasikan dalam Peraturan Gubernur No. 5/2015. Ini langkah pencegahan.”

Dia mengusulkan, audit kepatuhan lanjut ke provinsi lain seperti  Sumsel, Jambi, Kalteng, Kalbar, dan lain-lain. Sebenarnya,  sejak 2014, audit kepatuhan rencana ke Jambi dan Sumsel. “Tapi sampai sekarang belum jalan. Mengapa? Saya mengusulkan, apa yang baik 2014, dilakukan saat ini, harus diperkuat.”

Bicara akses lokasi kebakaran, seperti sulit ditempuh kendaraan, maka perlu pengerahan masyarakat peduli api. “Pengerahan ini harusnya beberapa bulan lalu, sebelum kebakaran. Kalau terbentur dana, pemerintah harus benahi manajemen pengelolaan, terutama pencairan dana yang masih bermasalah.”

Laode Muhammad Syarif, ahli hukum lingkungan dari Universitas Hasanuddin, Makassar, bicara soal hukum internasional. “Asap terjadi selama 18 tahun. Tiga presiden terdahulu, Soeharto, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, ucapkan maaf kepada negara tetangga, Singapura dan Malaysia, yang terdampak asap. Dalam hukum internasional, permintaan maaf sama dengan mengakui bersalah.”

Dia mengatakan, bahaya terus terbakar dari mata hukum internasional, katanya, negara korban bisa menggugat negara pencemar. “Kalau dibawa ke Mahkamah Internasional, Indonesia pasti kalah. Karena beberapa kali minta maaf. Minta maaf pasti salah.”

Laode menyarankan, pemerintah harus menjalankan masukan berbagai pihak. “Indonesia harus menegakkan hukum bagi pembakar hutan dan lahan.”

Ota dan Laode mengatakan, instrumen hukum Indonesia sudah baik. “UU lingkungan hidup sudah memudahkan pembuktian. Tidak hanya mengenal tindak pidana commision (sengaja membakar lahan), tapi tidak do something-pun kena. Itu namanya delik ommision (pembakaran lahan melalui cara pembiaran).”

Lobi-lobi belakang layar

Ota mengatakan, penegakan hukum kadang lemah karena sering ada intervensi perusahaan terduga pembakar lahan. “Ini sangat mengganggu. Intervensi berbagai cara. Bisa oleh orang bukan pemilik perusahaan, tapi berpengaruh, kepada pimpinan penegak hukum. Bisa diam-diam, ini agak sulit dibuktikan. Lobi-lobi baik dari pengacara, maupun langsung pimpinan perusahaan. Bahkan ada yang ditawari uang.”

“Proses pidana PT Bumi Mekar Hijau, misal, perusahaan di Sumsel yang jelas membuka lahan dengan membakar, pidana apa kabar sekarang? Itu harus ditindak lanjuti. Kasus itu menjadi simbol baik pemerintah Indonesia. KLHK memilih upaya perdata dulu, itu bagus, tidak apa-apa. Jalur pidana juga harus agar efek jera muncul.”

Dia ingin mengatakan, kalau bicara penegakan hukum, harus dipelihara koordinasi dan koalisi agar intervensi tidak tembus. “Lobi-lobi halus sulit diketahui. Biasa bisa dilihat, kalau tahap penyidikan dan penuntutan, kasus solid dan kuat, namun di pengadilan, putusan aneh dan ringan, tak sesuai tuntutan jaksa. Itu kecurigaan kuat ada proses lobi-lobi di belakang.”

Pola koordinasi koalisi permanen, katanya, bisa mengurangi praktik-praktik buruk ini. Sebaliknya, kalau koordinasi lemah bisa cerai berai. Dia melihat, kini koordinasi lemah, tidak ada leadership kuat. “Harus ada yang mengumpulkan semua pihak bekerja bersama, memimpin koalisi. Jangan sampai ada intervensi luar. UKP4 sudah tidak ada, saat ini leader harusnya dipegang KLHK. Ibu Siti Nurbaya harus jadi leader, memimpin semua pihak dalam penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan.”

Sejak Juli  2015, kebakaran hutan dan lahan meningkat, terutama di daerah-daerah rawan seperti Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar dan Kalteng. Kabut asap pekat menyebabkan kualitas udara, tidak sehat maupun berbahaya. Penerbangan di beberapa provinsi seperti Riau, dan Jambi, sempat mengalami gangguan karena jarak pandang rendah.

Hutan yang terbakar di Distrik Walelagama.Kebakaran hutan tak hanya terjadi di Kalimantan dan Sumatera, juga di Papua. Bahkan, di Papua ini, kebakaran sudah meludeskan rumah, kebun dan ternak warga. Foto: Asrida Elisabeth
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,