, ,

Nyegara Gunung, Konsep Satu Kesatuan Hulu Hilir Di Bali

Bali berlimpah filosofi tentang pelestarian alam. Apakah norma dan perilaku berjalan beriring?

Selama sekitar satu bulan, warga sebuah dusun di Kabupaten Karangasem, Bali, bergotong royong naik turun gunung. Sebenarnya lebih tepat disebut bukit, ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Namun warga setempat terbiasa menyebut gunung.

Jalur menuju bukit ini cukup terjal, menerabas semak dan menanjak. Ratusan warga bergiliran membawa 1-3 batako per orang untuk merenovasi sebuah pura yang disakralkan warga setempat. Pura ini dianggap memberikan sejumlah anugerah, menjaga warga dan lingkungan di bawahnya.

Perjalanan mendaki sekitar 50 menit sampai lebih satu jam tergantung kemampuan fisiknya. Namun yang lebih menuntun warga adalah kekuatan psikis. Terutama ketika musim ritual, rangkaian upacara agama untuk menyucikan pura ini berlangsung selama sekitar 2 pekan. Sesaat setelah renovasi fisik serta persiapan upacara. Warga hampir tiap hari harus naik turun gunung.

Bayangkan, warga membawa sesajen mengenakan kain (kamen), kebaya untuk perempuan sambil mendaki gunung. Misalnya dalam sebuah bagian ritual pada akhir Agustus lalu. Ini adalah penyucian ke sumber air. Dusun ini memilih ke pantai Buitan, sekitar 3 km dari titik mulai dan berkumpul. Ratusan warga termasuk anak-anak sudah bersiap sejak dini hari.

Hampir semuanya membawa sesajen, berpakaian dominan putih sebagai atasan. Ada yang menjunjung simbol-simbol dewa-dewi di kepala. Ada yang membawa payung ritual (pajeng), umbul-umbul warna-warni, dan lainnya. Mereka akan menyucikan semua itu termasuk penyucian diri ke laut. Semuanya berjalan kaki melewati jalan desa, jalan raya, hingga sampai ke pantai.

Anak-anak bermain di pantai Buitan Kabupaten Karangasem, Bali setelah melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani
Anak-anak bermain di pantai Buitan Kabupaten Karangasem, Bali setelah melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani

Pantai Buitan terlihat abrasi, sama dengan sebagian besar pesisir di Bali. Pembangunan makin dekat ke laut sehingga mengubah jalur ombak dan arusnya. Seperti dampak reklamasi Pulau Serangan di Selatan Bali yang berdampak abrasi di Sanur, pesisir Gianyar, dan lainnya. Satu sisi ditimbun maka arus laut akan menghantam sisi lainnya.

Untuk menahan ombak, pemerintah memasang krib. Terutama di pesisir kawasan wisata. Di Pantai Kuta dan Sanur, pemerintah memilih dengan memasang pemecah ombak dan pengisian pasir pantai yang biayanya sangat tinggi.

Upacara digelar dengan hening. Pendeta pemimpin upacara memanjatkan doa dan membunyikan genta. Sekelompok perempuan menyanyikan kidung ke hadapan semesta.

Usai sembahyang bersama, warga membawa sebagian sesaji ke perahu untuk dilarung di laut. Dua perahu tradisional berjalan beriringan menuju lokasi diantar kidung dari pesisir.

Sekitar satu jam di pantai, parade ritual ini kembali ke pusat desa berjalan kaki. Kemudian langsung melanjutkan pendakian ke Pucak Sari. Keringat terlihat bercucur dan membasahi pakaian. Namun tak ada yang menghentikan langkah kaki yang pasti sangat lelah dipacu selama lebih dari 5 jam ini.

Hubungan vertikal dengan Yang Maha Kuasa membuat manusia melupakan lelah. Nyaris tiap hari ada ritual-ritual lainnya di ribuan dusun dan desa lain di Bali.

Nyegara Gunung adalah filosofi Bali bahwa antara laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Oleh karena itu, setiap tindakan di gunung akan berdampak pada laut. Demikian pula sebaliknya.

Abrasi yang terjadi di pantai Lebih, Gianyar, Bali menggerus bangunan. Foto : Luh De Suriyani
Abrasi yang terjadi di pantai Lebih, Gianyar, Bali menggerus bangunan. Foto : Luh De Suriyani

Ketut Wiana, tokoh agama pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dan penulis buku agama ini mengingatkan esensi ritual adalah pelestarian lingkungan.

Sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain Pattram (daun-daunan), Puspam (bunga-bungaan), Phalam (buah-buahan), dan Toyam (air suci) atau tirtha.  Penggunaan flora dan fauna menurutnya untuk mengingatkan bahwa apa yang kita persembahkan harus dari alam dan dikembalikan ke alam.

Namun kenyataannya makin banyak yang menyalahi konsep dasar ini. Misalnya menggunakan sesajen dengan tambahan unsur anorganik seperti plastik, minuman kaleng, dan lainnya. Selain itu, perilaku buruk yang merusak alam adalah membuang sampah sisa makanan sembarangan seperti di pinggir pantai usai sembahyang dan gunung.

“Bahkan dalam Weda Smrti disebut berludah pun tak boleh ke sungai. Yang bisa dibuang abu (seperti sisa kremasi) karena sudah bersih secara simbolik dan ikan-ikan bisa memakannya,” contoh Wiana.

Kesatuan hulu dan hilir ini sangat mudah dicerna. Misalnya matahari menyerap air laut, menurunkan menjadi hujan. Diserap lebih awal oleh pepohonan dan tanah di pegunungan yang mengolah jadi air bersih dan dialirkan ke sungai. Tumbuhan berbuah, padi tumbuh di sawah ketika alam bekerja sama.

Namun filosofi memang lebih indah ketika diucapkan atau dalam ritual. “Nanti kan sampahnya ada yang menyapu,” salah seorang warga usai makan dan buang sampah minuman gelas plastiknya begitu saja di pinggir pantai.

Ketika musim angin, sejumlah pantai di Bali diserbu sampah. Walau petugas kebersihan tiap hari membersihkan pantai Kuta, namun sampah tak pernah habis. Sebuah foto pernah tersebar secara viral di media sosial, seorang peselancar dikepung gulungan ombak berisi sampah plastik.

Made Iwan Dewantama dari Conservation International Indonesia sedang mengadopsi konsep Nyegara Gunung dalam konteks pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). “Agar warga merasakan bagaimana keterkaitan hulu dan hilir ini. Pesisir mereka terdampak dari apa yang dibawa sungai, danau,” ujarnya. Ia berhasrat Nyegara Gunung tak hanya dibicarakan dalam konteks ritual saja.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,