,

Setahun Kementerian Agraria, Apa Penilaian Mereka?

Hampir setahun Presiden Joko Widodo, membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang, namun belum ada penyelesaian segera konflik pertanahan.

Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria dalam diskusi di Jakarta, Selasa (15/9/15) mengatakan, keberadaan kementerian itu, diharapkan bisa mempercepat penyelesaian berbagai konflik pertanahan. Dalam perjalanan, kementerian ini justru banyak berkutat dengan hal-hal teknis yang tak menyentuh permasalahan agraria.

“KPA dan lembaga masyarakat sipil lain selalu menginginkan negara ini memiliki Kementerian Agraria. Itu amanat UU Pokok Agraria. Kita senang ketika Presiden Jokowi mengumumkan kementerian ini. Seperti mimpi jadi kenyataan,” katanya.

Dengan ada Kementerian Agraria, diharapkan kebijakan tidak lagi terpisah-pisah. Namun, harapan tak seperti kenyataan. Dalam program redistribusi 9 juta hektar tanah, misal, ternyata terjemahan di Kementerian Agraria 4,5 juta hektar redistribusi tanah, dan 4,5 juta hektar legalisasi atau sertifikasi tanah.  “Ini berarti sudah berkurang setengahnya dari rencana sebelumnya.”

Dari 4,5 juta hektar, ternyata 4,1 juta hektar dari pelepasan kawasan hutan, 0,4 juta HGU dan tanah terlantar. Jadi, katanya,  kementerian ini hanya menargetkan 400.000 hektar sebagai poin utama kerja mereka. Selebihnya, menunggu pelepasan kawasan hutan KLHK. Sedang legalisasi aset tanah transmigrasi yang belum bersertifikat 0,6 juta hektar, 3,9 hektar legalisasi aset.

“Kita harus luruskan, reforma agraria dengan angka 9 juta hektar saja belum cukup. Bisa bayangkan ada 26 juta hektar HPH, 15 juta hektar kebun sawit dan lain-lain. Banyak sekali prioritas pada perusahaan besar. Prioritas pada rakyat hanya 400.000 hektar.”

Sampai sekarang, katanya,  rencana ini belum teralisasi. Rancangan Perpres Reforma Agraria juga belum selesai dan secara substansi mengandung banyak masalah.

“Kementerian ini hadir untuk menjawab betapa konflik agraria begitu luas, banyak.Penyelesaian belum jalan. Apalagi terkait aset pemerintah daerah dan perusahaan, hampir dipastikan penyelesaian konflik tidak berjalan. Padahal kementerian ini untuk selesaikan konflik.”

Dia menyebutkan, konflik agraria di Sumsel, telah resmi  dilaporkan. DPRD menolak perpanjangan HGU, namun kementerian ini justru mengeluarkan HGU perusahaan hingga penangkapan warga. “Ada plang mengatakan, masyarakat dilarang masuk kawasan setelah kementerian agraria menerbitkan SK perpanjangan HGU,” katanya.

Catatan KPA, sepanjang 2004-2014, ada 1.520 konflik dengan luas 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga dengan sebaran, konflik perkebunan (656), infrastruktur (467), kehutanan (156), pertambangan (92), pertanian (25) dan perairan (16). “Ini berarti tiap dua hari terjadi satu konflik. Satu hari 1.792 hektar tanah rakyat terampas, 267 terusir terusir.”

Spanduk penolakan warga atas eksekusi lahan berkonflik di Karawang, Juni 2014. Foto: Indra Nugraha

Catatan lain KPA, soal pembangunan kelembagaan yang belum selesai. Baru ada empat dirjen dilantik, yang lain masih pelaksana tugas.

Kementerian ini dinilai masih menerjemahkan diri sebagai Badan Pertanahan Nasional. Mereka membuka pendaftaran di mal, lalu digitalisasi sertifikat. “Seolah-olah masalah agraria itu adalah mal-administrasi. Bukan menjadi juru penyelesaian konflik pertanahan secara nasional. Lupa, masalah terbesar konflik adalah ketimpangan aset dan akses rakyat kepada tanah yang tak kunjung dibuka,” ucap Iwan.

Gunawan Wiradi, pakar Agraria sekaligus anggota Badan Pembina Sajogjo Institute mengatakan, redistribusi lahan 9 juta hektar niat bagus tetapi keliru jika diklaim sebagai bagian reforma agraria. Sebab, reforma agraria, seharusnya obyek dan penerima tanah dalam wilayah sama.

“Program ini tidak mengubah keseluruhan struktur penguasaan sumber-sumber daya agraria secara nasional. Sebab pihak yang berada di luar 9 juta hektar tak diapa-apakan.”

Politisi PDIP Arif Wibowo mengatakan, kementerian ATR/BPN tidak memiliki parameter program, dan strategi pencapaian dalam RPJMN 2015-2019.

Jika merujuk RPJMN, program cakupan peta dasar kementerian ini meliputi 60% wilayah nasional bukan hutan. Jika luas daratan Indonesia 190 juta hektar, KLHK mengelola 120 juta hektar, kementerian ATR 70 juta hektar, 60% berarti 42 juta hektar. Target yang harus dipetakan per tahun 8,4 juta hektar.

“Dalam laporan 11 September 2015, target pemetaan skala 1:2.500 adalah 350.000 hektar. Yang terealisasi baru 10.000 hektar.”

Kementerian ini juga tidak pernah menjelaskan berapa luas peta dasar pertanahan yang telah disusun sebelum 2015.

Dia menyoroti, soal inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T). Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II, Kementerian ATR menyebut target 3.275.000 bidang. Namun realiasi baru 7.523 bidang (0,0023%).

“Problemnya karena regulasi yang mengatur soal ini hanya setingkat peraturan bersama empat menteri. Kelembagaan dan kewenangan KLHK dalam pelepasan kawasan hutan. IP4T tergantung pemda. Penerbitan juknis kementerian ATR juga menimbulkan gesekan ego sektoral dengan KLHK.”

Selain itu, soal tanah terlantar hasil inventarisasi ada 4.801.875 hektar. Namun dalam rapat 8 juni 2015, identifikasi tanah terlantar dikosongkan. Tak ada realisasi hingga kini.

“Sebaiknya kementerian ini mengubah prioritas program. Lebih baik merealisasikan 4,8 juta hektar tanah terlantar lebih dari seribu HGU, HGP, HP dan izin-izin lokasi. Data sudah ada di kantong kementerian sejak 2012,” katanya.  Dia menyarankan,  Kementerian ATRmengubah regulasi redistribusi tanah terlantar 4,8 juta hektar.

Menanggapi ini, Supardi Marbun, Direktur Penanganan Masalah Agraria dan Tata Ruang Kementerian ATR/BPN mengatakan, waktu satu tahun kalau diibaratkan bayi, baru berjalan tertatih. Belum banyak capaian di tengah banyak harapan.

“Konsep peningkatan program prorakyat masih dilanjutkan. Seperti legalisasi aset maupun redistribusi tanah. Di beberapa tempat, terakhir Senin Menteri menyerahkan legaliasi aset di Kaltim, Manado, Jambi, dan Bengkulu.”

Untuk legalisasi aset, menjadi perhatian serius kementerian ini agar target BPN lalu bisa sampai kepada sasaran.

Mengenai penerbitan Permen 9 tahun 2015 tentang hak komunal untuk pengejawantahan ketentuan Pasal 3 UUPA. “Kami menghargai eksistensi masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia. Kalau melihat ketentuan pasal tiga dan empat permen itu, ada kewajiban kepala daerah membentuk perda tentang ada atau tidaknya hak ulayat. Sejak 1999 sampai hari ini, hanya enam kepala daerah membentuk perda.”

Dia menyadari, konflik hak ulayat belum terselesaikan. Dia menyadari, konflik pertanahan harus diselesaikan. Pada 2015, katanya, ada 4.800 kasus, selesai baru 30%.

Dari tahun-tahun sebelumnya ATR  berusaha menyelesaikan dengan pola-pola yang ada dan belum menjawab kebutuhan masyarakat. Untuk itu, ATR berencana merevisi berbagai peraturan. “Kini masih penggodokan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,