,

Pemerintah Diminta Serius Lindungi Harimau Sumatera Beserta Penegakan Hukumnya

Pemerintah diminta lebih serius melindungi harimau sumatera termasuk penegakan sanksi hukum bagi mereka yang melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Keprihatinan ini menguat terkait matinya seekor harimau sumatera akibat ditembak aparat keamanan di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan (Sumsel) beberapa waktu lalu, yang dinilai Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan (Sumsel) tidak prosedural.

Sunarto, peneliti harimau dari WWF Indonesia mengatakan, perlindungan harimau sumatera memang memerlukan keterlibatan banyak pihak. Bahkan, pihak yang berada di luar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus dirangkul, karena ini terkait dengan tata guna lahan yang notabene banyak kementerian di dalamnya. “Ini dari segi global,” ungkapnya, Senin (21/09/15).

Namun, dari segi teknis, kewenangan dan kompetensi sebagian besar memang ada di KLHK dalam hal ini Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Karena itu, penyelamatan harimau sumatera memang harus dimulai dari penyelamatan habitatnya yang cukup luas. Dan ini, tidak bisa dilakukan hanya di kawasan konservasi, tapi juga di kawasan hutan produksi. “Bahkan, bila kita bicara konektivitas antara satu blok hutan dengan blok lainnya yang harus dijaga, ini mengisyaratkan bahwa kawasan multi guna lain seperti perkebunan, bahkan perkebunan rakyat pun perlu diperhatikan. Karena, daerah tersebut merupakan lintasan harimau.”

Menurut Sunarto, hal lain yang harus diperhatikan terkait perlindungan harimau sumatera adalah maraknya perburuan yang tidak mudah dilihat namun nyata adanya. Lalu, konflik yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan dan pertambahan penduduk. “Konflik tidak mungkin dihilangkan. Untuk itu, pencegahan harus dilakukan untuk meminimalisir korban.”

Terkait penembakan harimau yang masuk perangkap babi hutan, Kamis (10/09/15) lalu, Sunarto berpendapat, berdasarkan prinsip penanganan konflik harusnya keselamatan manusia dan harimau sama-sama dipertimbangkan. Namun, semua itu harus dicermati secara detil terkait posisi dan kondisi yang terjadi di lokasi. “Bila dilihat dari keadaan harimau yang sudah tidak berkutik, seharusnya bisa dilakukan upaya penyelamatan meskipun saat itu tidak tersedia obat bius.”

Menurut Sunarto, agar konflik manusia dengan harimau tidak berulang ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, tata guna lahan harus diperhatikan. Bila suatu kawasan memang diperuntukkan sebagai habitat harimau sudah sepatutnya tidak diganggu. Kedua, pencegahan harus dilakukan termasuk meningkatkan pengetahuan masyarakat lokal. “Dari catatan kami, masyarakat generasi dahulu yang hidup secara tradisional di wilayah habitat harimau jarang sekali berkonflik. Saat ini, yang bertikai justru pendatang yang tidak paham akan situasi sekitar.”

Ketiga, harus ada tim yang selalu siap di wilayah yang dianggap rawan konflik. Ini harus dipikirkan, sehingga kita tidak harus menunggu sampai korban berjatuhan. Termasuk di sini perlengkapan obat bius. “Dengan begitu, bila terjadi konflik tidak akan ada lagi kepanikan. Karena, selain terlatih, tim juga paham prosedural penanganannya.”

Harimau Sumatera yang mati di lokasi konsesi perkebunan di Riau. Lagi-lagi habitat harimau yang terganggu menyebabkan konflik terjadi. Foto: WWF-Indonesia

Zulvan Setiawan, pegiat konservasi di Palembang, berharap pemerintah serius memberikan pemahaman kepada aparat keamanan, militer, pelaksana pemerintahan hingga aparat desa, serta masyarakat, dalam menangani konflik manusia dengan satwa liar dilindungi seperti harimau sumatera. Termasuk penegakan hukum sesuai UU Nomor 5 Tahun 1990 bagi yang melanggar.

Menurut Zulvan ada dua hal yang menjadi alasan. Pertama, hutan atau habitat harimau sumatera, maupun satwa dilindungi lainnya, kian hari kian rusak, baik oleh aktivitas perkebunan, penambangan, maupun perambahan.

Aksi perambahan, termasuk peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut, justru banyak terjadi di wilayah habitat harimau sumatera. Seperti, Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, perbatasan Sumsel dengan Bengkulu dan Jambi, di Benakat Muara Enim, serta Taman Nasional Sembilang.

Kedua, akibat perburuan liar jumlah satwa dilindungi kian berkurang. “Padahal ancaman bagi yang melanggar UU No 5 Tahun 1990 adalah kurungan dan denda maksimal Rp200 juta,” katanya.

Tidak prosedural

Sebelumnya BKSDA Sumsel menilai tewasnya harimau sumatera di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Pendopo, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan (Sumsel), akibat ditembak aparat keamanan dinilai tidak prosedural. Apalagi tindakan penembakan tersebut dilakukan tanpa berkoordinasi dengan BKSDA Sumsel. Mereka melapor ke BKSDA setelah harimau jantan tersebut ditembak hingga tewas.

“Penembakan tersebut tidak prosedural. Pihak kepolisian tidak berkoordinasi dengan BKSDA sebelum mengambil tindakan pembunuhan tersebut. Kami diberi tahu setelah harimau mati,” kata Nunu Anugrah, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, kepada wartawan, pekan lalu.

Menurut Nunu, harimau sumatera tersebut sebenarnya masih dapat diselamatkan. Apalagi saat ditemukan, tengah terjerat perangkap babi. Perwakilan BKSDA Sumsel terdekat berada di Kabupaten Lahat, yang waktu tempuhnya sekitar empat jam atau BKSDA Bengkulu yang jaraknya lebih dekat ke lokasi kejadian.

Setelah tewas, para petugas BKSDA yang diberi tahu langsung ke lokasi, dan melakukan visum terhadap bangkai harimau sumatera jantan tersebut.

Lalu, apa tindakan BKSDA Sumsel? Karena pelaku penembakan adalah oknum aparat, yang bertindak karena permintaan warga, maka BKSDA Sumsel hanya berkoordinasi dengan Propam. Sebab tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1990.

Harimau sumatera jantan yang memang diburu para pelaku di Aceh Tamiang, Aceh,untuk dijual beberapa waktu lalu. Perburuan merupakan ancaman nyata selain persoalan tata guna lahan yang sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,