,

Restorasi Ekosistem, Skema “Sembuhkan” Hutan Indonesia yang Makin Diminati

Sejak 2004, Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Sebuah upaya mengembalikan areal hutan produksi yang telah rusak menjadi seimbang keadaan hayatinya.

Melalui kebijakan ini, hutan produksi dapat dikelola untuk dimanfaaatkan hasilnya mulai dari hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, serta pemanfaatan kawasan dan hasil hutan kayu setelah keseimbangan hayati dan ekosistemnya tercapai. IUPHHK-RE ini pula membuka peluang investasi baru di sektor kehutanan mengingat akan potensi ekonominya bagi pelaku usaha maupun masyarakat sekitar.

Melalui pengelolaan Restorasi Ekosistem (RE), beberapa  aspek  lingkungan hidup dan kehutanan yang dapat diwujudkan. Sebut saja, membangun Indonesia dari pinggiran yang saat ini terdapat lebih dari 33.000 desa hutan atau mewujudkan kemandirian ekonomi serta ketahanan pangan dan energi. Hal lainnya adalah menunjukkan kehadiran negara dalam sistem reformasi dan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, serta melindungi keragaman hayati, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Hal penting lainnya adalah pengelolaan hutan yang lestari penting bagi kelestarian keragaman hayati juga sebagai mitigasi perubahan iklim.

Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menuturkan KLHK telah memasukkan RE sebagai bagian dari rencana strategis dalam sektor lingkungan dan kehutanan. Menurutnya, saat ini, sekitar 558,185 ribu hektar hutan produksi telah dikelola melalui IUPHHK-RE. “Pemerintah juga telah mengalokasikan sekitar 1,79 juta hektar kawasan hutan produksi untuk kegiatan Restorasi Ekosistem.”

Bambang menjelaskan, terkait luasan tersebut pemerintah telah mengeluarkan 14 izin IUPHHK-RE  yang termasuk di dalamnya Hutan Harapan, izin konsesi pertama RE di Indonesia yang diberikan kepada PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) pada 2008. Hutan seluas 98.554 hektar ini terbentang di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan yang merupakan inisiasi bersama antara Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) dan Birdlife International. “Diharapkan, dengan luasan yang sudah dialokasikan tersebut totalitas RE dapat dilakukan oleh para pemegang izin,” ujarnya.

Bambang menuturkan, RE merupakan upaya luar biasa para pihak yang memiliki kepedulian tinggi dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Melalui izin ini, para pemegang izin diberikan peluang untuk mengelola areal hutan produksi dengan prinsip ecosystem based forest management. “Tentunya, untuk menerapkan skema ini perlu komitmen yang kuat dan dukungan yang besar dari pemerintah pusat dan daerah serta review regulasi dan kebijakan yang mempermudah pelaksanaan RE.”

Dukungan dari pemerintah pusat, menurut Bambang, yang akan diwujudkan dalam waktu dekat adalah review regulasi RE. Ini dikarenakan kebijakan RE sejalan dengan arahan Nawacita pemerintahan sekarang yang menekankan pada aktivitas pembangunan yang berpihak pada rakyat, tidak merusak, serta tidak menurunkan daya dukung lingkungan dan keseimbangan ekosistem. “Otomatis, KLHK mendukung penuh kepada para pihak yang melakukan kegiatan restorasi hutan. Kami juga sedang memikirkan insentif baik itu fiskal, pengelolaan, maupun kemudahan pemberian izin untuk skema RE ini.“

Kontribusi nyata

Kepala Badan Litbang dan Inovasi, KLHK,  Henry Bastaman, menyatakan bahwa  pengelolaan hutan produksi melalui RE diyakini dapat memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan produktivitas hutan dan pendapatan. Hal lain yang tercapai adalah adanya upaya mitigasi perubahan iklim dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan, maupun penyelamatkan keragaman hayati guna memperkuat ketahanan pangan dan sumber energi. “Tujuan ini akan terwujud bila pengelolaan RE dapat terintegrasi dalam pengelolaan bentang alam produktif yang berkelanjutan sehingga memberikan manfaat yang tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional dan internasional.”

Senada, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, Agus Budi Utomo, menjelaskan kebijakan pemanfaatan hutan produksi melalui RE telah mendorong perubahan cara pandang terhadap hutan dan pengelolaannya. Hutan yang semula dianggap sebagai pepohonan dan penghasil kayu kini diperhitungkan sebagai satu kesatuan ekosistem dengan hasil hutan beragam sesuai tipe ekosistem dan karakteristiknya.

Namun begitu menurut Agus, keberhasilan implementasi RE sebagaimana yang diidamkan perlu dukungan publik dan para pihak. Pengalaman RE, di Indonesia dan negara lain, menunjukkan bahwa upaya restorasi ekosistem bukan hanya terfokus pada persoalan teknis seperti penanaman. Akan tetapi, diperlukan terobosan baru dalam hal investasi inovatif, kerja lintas batas yang menembus sekat administrasi, juga komitmen nyata dalam pelibatan masyarakat.

Apa yang membuat RE istimewa? Ani Mardiastuti, Ketua Dewan Perhimpunan Burung Indonesia, mengatakan Izin RE berbeda dengan model pengelolaan konsesi industri kayu yang lebih terfokus pada eksploitasi dan pemanfaatan kayu. Melalui RE, pemegang izin diberikan kewenangan untuk mengelola arealnya untuk mengelola dan melindungi habitat, juga memulihkan ekosistem hutan. “Restorasi harus dibedakan dengan Rehabilitasi ataupun Reboisasi. Ini penting,” ujarnya.

Apa sajakah yang dapat dilakukan pada kawasan RE? Ani yang merupakan Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mencontohkan, untuk jasa lingkungan ada pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air, perlindungan keanekaragaman hayati, wisata alam, hingga penyimpanan dan penyerapan karbon. Sedangkan untuk hasil hutan bukan kayu, kegiatan yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan rotan, sagu, nipah, dan bambu yang meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, hingga pemasaran hasil. “Untuk pemanfaatan kawasan, dapat dilakukan budidaya tanaman obat, tanaman hias, hingga lebah,” tuturnya.

Sempur hujan darat, keberadaan burung kecil ini nyaris terancam seiring hilangnya habitat berupa hutan. Foto: Asep Ayat/Burung Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,