, ,

Jika Diberi Tanah, Petani Sumsel Siap Jaga Lahan Gambut dan Hutan dari Kebakaran

Selama 18 tahun terakhir, hampir setiap tahun lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, mengalami kebakaran.

Dengan fakta terebut, para petani di Sumatera Selatan yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Selatan menyatakan siap menjaga lahan gambut dan hutan dari kebakaran. Namun, mereka minta tanah untuk hidup.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam sebuah spanduk sepanjang 50 meter dengan tulisan “Kami siap menjaga lahan gambut dan hutan dari kebakaran tapi beri kami tanah untuk hidup.” Spanduk ini mereka bentangkan di sejumlah lokasi perkebunan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Ilir (OI) yang mengalami kebakaran tahun ini maupun sebelumnya pada 22-23 September 2015.

Spanduk ini kali pertama dibentangkan di lokasi kebakaran milik perusahaan perkebunan sawit di Sepucuk, Kabupaten OKI, yang beberapa waktu lalu dikunjungi Presiden Jokowi.

Rabu (23/09/15), spanduk tersebut dibentangkan di lahan gambut di Desa Bangsal, Jembatan Desa Kuro, lokasi perkebunan sawit yang terbakar di Desa Manggeris, serta di lokasi perkebunan tebu di Ogan Ilir.

“Kami bersyukur, Pemerintahan Jokowi-JK berani mengungkapkan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas bencana kebakaran hutan dan lahan gambut selama ini. Biasanya, setiap kali terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut selalu masyarakat yang disalahkan. Dengan sikap ini, jelas sekali jutaan hektar lahan gambut dan hutan yang dititipkan negara kepada para pelaku usaha gagal dijaga. Sebagai apresiasi terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK kami menyatakan siap menjaga hutan dan lahan gambut dari kebakaran,” kata Ahmad Fitriyadi Munginsidi, ketua DPW Serikat Petani (SPI) Sumatera Selatan, Rabu (23/09/15).

Namun, untuk mengemban tugas tersebut, kata Ahmad, para petani di Indonesia, seperti di Sumatera Selatan, hidupnya  miskin. Hidup miskin ini karena mereka tidak memiliki tanah untuk dijadikan lahan pertanian maupun perkebunan. Sementara menjadi buruh perkebunan, pendapatannya sangat rendah.

“Jika kami diberi tanah, sehingga kami dapat bertani dan berkebun, jelas kami akan menjaga lahan gambut dan hutan dari kebakaran.  Tidak perlu diupah dan diberi seragam sebagai tenaga pemadam kebakaran. Kami menjaga karena kami merasa memiliki,” katanya.

Ahmad mengatakan memang benar ada petani di wilayah lahan gambut melakukan pembakaran saat akan membuka sawah padi, “Itu karena mereka tidak memiliki tanah. Sebab, tanah yang mereka kelola merupakan milik negara, sehingga tidak mungkin membuka lahan secara benar karena akan dilarang pemerintah. Satu-satunya cara dengan membakar, sehingga mereka mudah untuk menanam padi,” katanya.

Begitu pula adanya sejumlah petani yang melakukan perambahan di hutan untuk mencari kayu. “Itu juga karena mereka tidak punya tanah. Kalau mereka punya tanah untuk bertani dan berkebun, jelas hal tersebut tidak akan dilakukan,” jelasnya.

Ahmad juga menjelaskan jika permintaan akan tanah ini merupakan janji dari Jokowi-JK kepada para petani di Indonesia, sebelum mereka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia beberapa waktu lalu.

Di depan lahan perkebunan tebu milik PTPN Cinta Manis Ogan Ilir, spanduk besar dibentangkan. Foto: Taufik Wijaya
Di depan lahan perkebunan tebu milik PTPN Cinta Manis Ogan Ilir, spanduk besar dibentangkan. Foto: Taufik Wijaya

Cap pemalas

Ada stigma di kalangan pejabat pemerintahan di Sumatera Selatan, jika masyarakat lokal atau yang menetap di sekitar lahan gambut itu pemalas. Artinya mereka percuma diberi tanah, sebab tanah tersebut tidak akan dikelola secara benar. Justru akan diperjualbelikan.

“Stigma itu tidak benar. Kenapa? Sistem pertanian atau perkebunan yang selama ini ditawarkan pemerintah sama sekali tidak sesuai dengan karakter petani lokal. Misalnya, petani di lahan gambut sejak dahulu tidak akrab dengan persawahan padi seperti di Jawa. Jadi, ketika disuruh melakukan hal tersebut, jelas mereka tidak tahu sehingga tidak tertarik.

Di lahan gambut menanam padi dengan cara sawah ladang. Selain itu padi yang ditanam juga bukan untuk dijadikan sumber pendapatan, melainkan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga. Ini juga termasuk menanam sayuran dan buahan,” jelas Hasan, kepala Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Sebagai sumber pendapatan, para petani akan berkebun karet, menjual ikan, membuat terasi, betambak udang, atau ikan asin. “Nah, jika tanah adat diambil, termasuk sungai dan rawanya, bagaimana mereka akan mendapatkan penghasilan. Apalagi pendapatan bersawah padi jauh lebih kecil dari aktivitas berkebun dan menjual ikan,” kata Hasan.

“Solusinya jelas, berikan tanah atau lahan untuk kami. Biarkan kami kembali berkebun dan bertani sesuai dengan kebiasaan kami,” jelasnya.

Hasan pun menyakinkan para petani di lahan gambut tidak akan berkebun sawit. “Mereka sudah tahu dan paham jika tanaman sawit sangat merusak lahan gambut. Lahan gambut begitu mudah kering, dan saat musim kemarau begitu mudah terbakar, seperti yang dialami lahan gambut di Kabupaten OKI ini,” ujarnya.

Gita Rolis dari organisasi massa Seknas Jokowi menilai apa yang dituntut para petani di Sumatera Selatan sangatlah wajar dan sesuai dengan cita-cita Jokowi sebagai Presiden Indonesia.

“Hanya, jika para petani yang tidak memiliki tanah nantinya diberi tanah untuk hidup, mereka benar-benar memanfaatkannya menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Jangan diperjualanbelikan. Oleh karena itu, harus ada aturan yang menyatakan lahan tersebut hanya dapat dikelola petani tapi tidak dapat diperjualbelikan,” katanya di Palembang, Rabu.

“Yang lebih penting, janji mereka untuk menjaga lahan gambut dan hutan dari kebakaran, benar-benar dibuktikan. Perlu juga diberi sanksi berupa pengambilan kembali lahan oleh negara, jika petani tidak mampu menjaga lahannya dari kebakaran,” kata Gita.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,