,

Bersiap Menyambut Pengelana Angkasa Di Kepulauan Sangihe

Mengamati burung (birdwatching) langsung dari alam, merupakan kegiatan yang menarik sekaligus menambah pengetahuan. Di Indonesia, Burung Indonesia mencatat bahwa pemantauan migrasi burung pemangsa (raptor) telah dilakukan untuk keseluruhan jenis burung pemangsa yang dipantau sejak tahun 2001 meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan.

Namun demikian untuk wilayah Sulawesi hingga Papua masih terbatas informasinya, kecuali di Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. Pergerakan burung pemangsa tersebut diperkirakan pada September-November dan Maret-Mei.

Salah satu tempat favorit untuk pengamatan burung bagi masyarakat di Kepulauan Sangihe adalah Pusunge di Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, karena tepat berada di atas kota yang dapat ditempuh kurang lebih 15-20 menit dengan kendaraan darat.

Puncak Pusunge menjadi merupakan lokasi strategis bagi pengamat burung, karena tempat yang sangat pas mengamati migrasi ribuan burung dari jauh yang datang dua kali dalam setahun.  Selain itu, pemandangan indah bisa dilihat dari puncak Pusunge, seperti Kota Tahuna, Teluk Tahuna, Gunung Awu dan beberapa pulau sekitarnya.

Dengan ketinggian sekitar 500-an meter diatas permukaan laut (mdpl), memberikan suasana sejuk.  Tempat tersebut juga digunakan untuk kegiatan olah raga paralayang bagi sebagian pecinta olah raga terbang ini.

Catatan tahun 2007 di Pulau Sangihe dari peneliti Italia mendapatkan lebih dari 350 ribu raptor migran masuk ke Indonesia dari Filipina melalui Kepulauan Sangihe. Sementara itu pada tahun 2011, terpantau sebanyak 1673 ekor yang didominasi oleh jenis elang alap cina (Accipiter soloensis) dan elang alap nipon (Accipiter gularis).

Stenly Pontolawokang, salah satu pemerhati burung di Sulawesi Utara sedang memotret migrasi raptor di Puncak Pusunge, Kota Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Puncak Pusunge menjadi tempat favorit untuk pemangamatan burung migran di Sangihe. Foto : Agustinus Wijayanto
Stenly Pontolawokang, salah satu pemerhati burung di Sulawesi Utara sedang memotret migrasi raptor di Puncak Pusunge, Kota Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Puncak Pusunge menjadi tempat favorit untuk pemangamatan burung migran di Sangihe. Foto : Agustinus Wijayanto

Mongabay yang didampingi Stenly Pontolawokang, salah satu fotografer dan pemerhati satwa liar di Sangihe berkesempatan melakukan pengamatan di Pusunge pada akhir September 2015 ini dan tercatat sekitar 30 ekor melintas elang alap cina.

“Pusunge menjadi salah satu tempat favorit dan tempat yang stategis untuk pengamatan migrasi raptor”, ungkap Stenly.  “Sudah ada sekitar 1000 ekor yang melintas, paling banyak dari jenis Accipiter soloensis dan Pernis ptilorhynchus, selain itu, teramati juga pergerakan dari elang alap sapi Falco moluccensis”, tambah Stenly.

Asman Adi Purwanto sebagai salah satu pemerhati raptor di Indonesia menyampaikan bahwa data terbaru dari Sangihe belum ada, sehingga akan lebih lengkap jika pemerhati migrasi raptor bisa saling berbagi informasi terkini.  “Bisa jadi tahun ini di Sangihe ramai dilintasi raptor.  Jalur timur pada tahun 2012 hanya dapat informasi dari Filipina. Sementara dari wilayah Sulawesi Utara, secara khusus dari Sangihe belum mendapatkan data terbaru,”  ungkap Asman.

Migrasi burung pemangsa merupakan fenomena yang terjadi dan jika masyarakat dapat terlibat dalam pemantauan maka akan didapatkan data yang lebih lengkap dan lebih banyak informasi dapat tersebarkan. Harapan tersebut bukanlah tanpa alasan karena komunitas yang ada di masyarakat perlu lebih paham terkait dengan keberadaan satwa liar tersebut, termasuk menjaga habitat yang menjadi tempat ‘singgah’ para tamu dari jauh tersebut.

Burung elang alap cina (Accipiter soloensis) melintas di atas Puncak Pusunge Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara pada akhir September 2015. Foto : Agustinus Wijayanto
Burung elang alap cina (Accipiter soloensis) melintas di atas Puncak Pusunge Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara pada akhir September 2015. Foto : Agustinus Wijayanto

Migrasi burung pemangsa di Indonesia umumnya karena migrasi balik (return migration). Migrasi balik inilah yang paling populer yaitu burung yang berada di belahan bumi utara kala musim dingin datang akan berangkat ke bumi belahan selatan yang sedang musim panas. Tujuannya jelas untuk mencari makan. Ketika musim dingin di tempat asalnya, barulah ia akan kembali lagi.

Burung pemangsa, misalnya. Untuk mencapai Indonesia yang berada di ujung selatan Jalur Asia Timur (Eastern Asia Flyway), mereka akan bermigrasi melalui dua koridor. Koridor pertama adalah Koridor Daratan Timur (Eastern Inland Corridor) yang melalui jalur ini para raptor akan terbang dari tenggara Siberia melalui timur Tiongkok menuju semenanjung Malaysia, lalu mendarat di Indonesia yaitu Jawa, Bali, dan Lombok. Sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus) maupun elang-alap nipon (Accipiter gularis) selalu menggunakan jalur ini saban tahunnya.

Burung elang-alap cina (Accipiter soloensis) yang biasanya menggunakan jalur  Koridor Pasifik untuk bermigrasi ke wilayah selatan ke Indonesia. Foto : sjl.csie.chu.edu.tw
Burung elang-alap cina (Accipiter soloensis) yang biasanya menggunakan jalur
Koridor Pasifik untuk bermigrasi ke wilayah selatan ke Indonesia. Foto : sjl.csie.chu.edu.tw

Sementara Koridor Pasifik (Pacific Corridor) akan dilalui oleh burung-burung dari timur Rusia yang melewati Kepulauan Jepang dan Taiwan, lalu ke selatan Filipina dan menepi di wilayah Sunda Besar, termasuk Sulawesi. Burung yang biasa menggunakan jalur dengan panjangnya sekitar lima ribu kilometer ini adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis) maupun elang buteo (Buteo buteo).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,